Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Secangkir Teh di Siberia

Tim dokter Jerman menemukan jejak racun dalam tubuh aktivis Rusia, Alexei Navalny. Pengkritik Vladimir Putin itu membongkar kasus korupsi di perusahaan negara sejak 2008.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Alexei Navalny dalam demontrasi di Moscow, Rusia, 29 Februari 2020. REUTERS/Shamil Zhumatov

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alexei Navalny yang dikenal kritis terhadap Presiden Putin kini dirawat di Berlin akibat keracunan.

  • Para penentang rezim Presiden Putin kerap mendapat tekanan besar, sebagian di antaranya tewas.

  • Pemerintah Rusia membantah terlibat di balik serangan terhadap Navalny.

KESIMPULAN tim dokter Charité - Universitätsmedizin Berlin, Jerman, menguak dugaan upaya peracunan terhadap aktivis Rusia, Alexei Navalny. Temuan klinis menunjukkan Navalny keracunan zat dari kelompok penghambat kolinesterase meski belum bisa dipastikan bahan racun yang spesifik. Kolinesterase adalah senyawa kimia yang digunakan dalam berbagai produk, dari pestisida, senjata kimia, hingga gas saraf. Enzim ini dapat meracuni sistem saraf manusia yang berujung pada menurunnya fungsi otot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pasien dirawat secara intensif dan dalam keadaan koma," kata Manuela Zingl, juru bicara korporat Charité, dalam pengumuman tertulisnya, Senin, 24 Agustus lalu. "Meski serius, kondisinya tidak mengancam nyawa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan itu berbanding terbalik dengan hasil pemeriksaan dokter Omsk Ambulance Hospital No. 1 di Omsk, Rusia, tempat pertama kali Navalny dirawat setelah sakit parah dalam penerbangan dari Siberia ke Moskow pada 20 Agustus lalu. Pria 44 tahun itu diketahui mulai sakit setelah minum secangkir teh di bandar udara Kota Tomsk, Siberia. Kepala tim dokter rumah sakit Omsk, Alexander Murakhovsky, menyebutkan Navalny hanya menderita gangguan metabolisme tubuh karena kadar gula darahnya turun. Pakar toksikologi di Omsk, Alexander Sabaev, mengklaim tak ada jejak enzim kolinesterase dalam darah pasien. "Hasilnya negatif," ucapnya seperti dilaporkan kantor berita Rusia, TASS.

Namun saat itu, Yulia Navalnaya, istri Navalny, dan koleganya mencurigai hasil pemeriksaan di Omsk. Apalagi Navalnaya tak diizinkan menengok suaminya. Navalnaya menuding dokter menyembunyikan sesuatu tentang kondisi suaminya dan menuntut rumah sakit segera melepaskannya. "Kami ingin membawanya kepada dokter yang bisa dipercaya," tuturnya kepada awak media.

Sementara Navalny dirawat, para koleganya berhasil mendapatkan bantuan tim medis dari Jerman. Tapi tim dokter Rusia tak mengizinkan Navalny keluar dari rumah sakit dengan alasan kondisinya belum stabil. Navalnaya akhirnya mengirim surat permohonan kepada Presiden Vladimir Putin agar mengizinkan suaminya dibawa ke Jerman. Setelah sekitar 44 jam dirawat di Omsk, Navalny diangkut dengan pesawat medis ke Berlin pada Sabtu pagi, 22 Agustus lalu.

Alexei Anatolievich Navalny lahir di Butyn, Oblast Moskwa, Uni Soviet, pada 4 Juni 1976. Orang tuanya, Anatoly Navalny dan Lyudmila Navalnaya, punya pabrik tenun di Desa Kobyakovo, Oblast Moskwa. Navalny meraih gelar sarjana hukum dari Peoples' Friendship University of Russia di Moskow pada 1998, kemudian belajar tentang sekuritas dan bursa saham di Financial University under the Government of the Russian Federation. Pada 2010, ia diterima Yale World Fellows di Yale University, Amerika Serikat, atas rekomendasi juara catur dunia, Garry Kasparov.

Saat itu Navalny sudah melejit di dunia politik Negeri Beruang Merah sejak aktif menulis di blog mengenai dugaan praktik korupsi di sejumlah perusahaan milik negara pada 2008. Salah satu taktiknya dalam menggali data kejanggalan laporan keuangan negara adalah dengan menjadi pemilik saham, meski dalam jumlah kecil, di berbagai perusahaan. Dia, misalnya, membeli saham senilai 300 ribu rubel (sekitar Rp 117 juta saat itu) dari perusahaan minyak dan gas Rosneft, Gazprom, Gazprom Neft, Lukoil, serta Surgutneftegaz.

Saat masih di Yale, Navalny menulis tentang para pemimpin perusahaan minyak negara, Transneft, yang diam-diam mencuri sekitar US$ 4 miliar dari proyek pembangunan jaringan pipa Siberia Timur-Laut Pasifik. Tulisan itu meraih penghargaan riset blog terbaik.

Petugas medis membawa masuk tokoh opsisi Rusia Alexei Navalny sesaat sebelum menuju Jerman di Omsk, Rusia, 22 Agustus 2020. Reuters/Alexey Malgavko

Navalny juga mengecam sistem feodal dan maraknya korupsi di pemerintah Rusia. Kampanye antikorupsinya menyasar partai berkuasa dan penyokong utama Presiden Putin, Rusia Bersatu. Menjelang pemilihan anggota parlemen pada 2011, Navalny menyindir Rusia Bersatu sebagai tempat para penjahat dan pencuri.

Dia juga menyebarkan perlawanan terhadap rezim Putin lewat Internet. Kampanyenya mendapat banyak dukungan, terutama dari kalangan anak muda. Sikap kritisnya membuat Navalny bolak-balik masuk penjara. Pada 2017, dia diadili atas dugaan penyelewengan dana dan dijatuhi hukuman percobaan selama lima tahun. Navalny, seperti dilaporkan BBC, menyatakan hukuman itu beraroma politis untuk menghalanginya maju sebagai calon presiden pada 2018.

Navalny sudah beberapa kali diduga menjadi korban peracunan. Tahun lalu, saat mendekam di penjara gara-gara memimpin unjuk rasa, Navalny dilarikan ke rumah sakit setelah wajahnya bengkak, penglihatannya terganggu, dan muncul ruam di sekujur tubuh. Dokter mengatakan Navalny hanya menderita alergi. "Saya tak punya alergi apa pun terhadap makanan, serbuk sari, atau lainnya," ujar Navalny dalam blognya. Dia menyatakan tak pernah menerima laporan medis apa pun tentang kondisinya.

Kubu oposisi menuding ada campur tangan pemerintah dalam kasus Navalny karena sebelumnya banyak penentang Putin yang juga diracun, bahkan sampai tewas. Mantan agen intelijen Rusia, Alexander Litvinenko, menemui ajal pada 2006 karena keracunan polonium. Pada Maret dua tahun lalu, Sergei Skripal dan putrinya, Yulia, ditemukan pingsan di pusat Kota Salisbury, Inggris. Skripal adalah mantan perwira intelijen militer Rusia yang kemudian membelot ke Inggris. Hasil pemeriksaan menunjukkan Skripal terpapar gas saraf dari era Uni Soviet, Novichok.

Serangan terhadap Navalny kini membuat Rusia dikecam. Kanselir Jerman Angela Merkel mendesak Rusia agar memulai investigasi secara saksama dan transparan. "Mereka yang terlibat harus diidentifikasi dan dimintai pertanggungjawaban," ucap Merkel seperti dilaporkan NDTV.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan 27 negara anggota organisasinya mengkritik keras tindakan yang mengancam nyawa Navalny. Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Norwegia juga mendukung investigasi menyeluruh terhadap kasus Navalny. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan siap memberikan dukungan penuh, termasuk menawarkan opsi pemberian suaka politik kepada Navalny.

Alexei Navalny di Moskow, Russia September 2019. REUTERS/Shamil Zhumatov/File Photo

Juergen Trittin, politikus Partai Hijau dari komite urusan luar negeri parlemen Jerman, menilai bahwa memang belum jelas siapa yang berada di balik peracunan Navalny, tapi hal itu jelas "memalukan" bagi Putin. "Dia (Putin) tidak mampu melindungi orang-orang yang tidak berada di barisannya," katanya kepada Deutsche Welle.

Departemen Transportasi Kementerian Dalam Negeri Wilayah Federal Siberia mulai menyelidiki kasus Navalny. Menurut laporan lembaga itu pada Kamis, 27 Agustus lalu, kamar hotel yang ditempati Navalny dan seluruh rute perjalanannya telah diperiksa. Setidaknya 100 benda dibawa untuk diteliti. Rekaman kamera pengawas juga dianalisis. Meski demikian, belum ada bukti atau substansi berbahaya yang ditemukan.

Rusia membantah tudingan bahwa pemerintah berada di balik serangan terhadap Navalny. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menyebut tudingan itu ibarat omong kosong yang tak perlu ditanggapi. Rusia, dia melanjutkan, justru tak ingin kondisi Navalny mempengaruhi relasinya dengan negara-negara Barat.

Menurut Peskov, harus ada alasan jelas untuk membuka penyelidikan suatu kasus. Dalam kasus Navalny, harus ditemukan dulu racunnya dan dipastikan penyebab aktivis itu sakit. “Kami justru ingin tahu apa yang membuat dia koma,” ujarnya seperti dilaporkan The Moscow Times.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, MEDIAZONA, NPR, INTERFAX, EURO NEWS, DEUTSCHE WELLE, RIA NOVOSTI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus