Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin hanya seorang ibu dari keluarga yang pecah yang memahami pedihnya kehidupan keluarga disfungsional (dysfunctional family). Mungkin karena itu pula Sue Townsend mampu menampilkan emosi seorang remajadari keluarga yang pecahdengan begitu hidup tanpa harus jadi cengeng. Ia sendiri tiba-tiba saja menulis dengan begitu lancar, tepat setelah perkawinannya hancur. Dan serial buku harian Adrian Mole itu kemudian menjadi buah penanya yang menggebrak dunia.
Lahir di Leicester, 2 April, 1946, Townsend bukanlah seorang murid sekolah yang menjadi teladan. Bagi dia, sekolah tiada ubahnya neraka. "Aku yakin waktu itu ibuku tengah berusaha menjelaskan apa gunanya sekolah bagiku," katanya. Namun, penjelasan sang bunda belum sepenuhnya dimengerti oleh anak yang berusia lima tahun itu.
Namun, hal itu toh bisa dimaklumi. Seperti halnya anak-anak satu generasinya, dia memang banyak menghabiskan waktu bermain di lingkungannya yang terbuka, sehingga duduk tertib di dalam ruangan dan mengikuti banyak perintah dari guru tak ubahnya seperti sebuah mimpi buruk. Tak aneh jika ia baru membaca setelah berusia delapan tahun. Bahkan, saat duduk di SMP pun, Townsend sempat tinggal kelas.
Sekolah memang bukan tempat yang menyenangkannya. Saat menginjak usia 15, Townsend memutuskan untuk cabut dan menikmati masa remajanya. Tapi masa remajanya teramat singkat. Pada usia 18 tahun, Townsend menikah dengan seorang pekerja di pabrik metal. Setelah perkawinan itu membuahkan tiga anak, sang suami tertarik pada wanita lain. Pada usianya yang ke-25, Townsend hidup menjanda.
Kepedihannya akibat perceraian itu justru melahirkan sebuah keinginan besar untuk menulis. Ia baru menemukan bakatnya.
Naskah drama yang pertama ditulisnya, Woomerang, berhasil memenangi kompetisi penulisan drama yang diselenggarakan Thames Televisionsalah satu yang memproduksi serial Mr. Bean. Sejak itulah wanita yang sempat bergabung dengan kelompok penulis Phoenix Art Centre di Leicester itu mulai rajin menulis berbagai naskah drama. Antara lain The Ghost of Daniel Lambert (1981), Bazaar and Rummage (1982), The Great Celestial Cow (1984), dan Disneyland It Ain't (1989).
Namun, yang membuat namanya melambung ke jagat Inggris dan juga dunia adalah karyanya yang berjudul The Secret Diary of Adrian Mole Aged 13yang selanjutnya terbit sekuelnya: The Growing Pains of Adrian Mole. Sukses kedua buku itu menjadikannya novelis paling laku pada dekade 1980. Bagi pembaca Inggris, selain banyak menyajikan kelucuan, karya Townsend itu juga mengetengahkan kebenaran. Sosok rekaan Townsend yang bernama Mole ini menjadi begitu populer melebihi dirinya, salah satunya karena ia karakter yang begitu tragis dan konyolmeski amat baik hatitetapi terlalu memusatkan perhatian pada dirinya. Mole adalah perwakilan dari sosok produk keluarga yang pecah, sesuatu yang terjadi pada diri Townsend, sehingga emosi Mole terasa begitu nyata.
Pada 1991, wanita itu menikah lagi dengan Colin BRoaldway, pemilik perusahaan pembuat kano yang menerbitkan seri ketiganya, Adrian Mole from Minor to Major, dan kemudian dua tahun berikutnya disusul dengan judul Adrian Mole - The Wilderness Years.
Buku-bukunya itu telah terjual sekitar 8 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam 34 bahasa (tentu saja belum termasuk penerbit Indonesia). "Mole memang terkenal, tapi saya tidak seterkenal dia," kata Townsend merendah. Novelnya yang lain adalah Rebuilding Coventry (1988), The Queen and I (1992), dan Ghost Children (1998).
Selanjutnya, sosok Mole tidak hanya menclok dalam lembaran novel, tetapi juga diangkat ke dalam serial drama radio dan televisi pada tahun 1987. Bagi Townsend, tokoh Mole adalah sosok yang unik. "Adrian adalah orang baik. Tapi ia terlalu terobsesi pada dirinya sendiri sehingga sangat sulit hidup dengan dia. Saya tidak akan mau hidup bersama dia. Selain itu, dia kurang seksi dan tidak pintar bermain cinta," katanya.
Hingga kini, Townsend memilih untuk tetap tinggal di Leicester. Meski penglihatannya kini berkurang hingga 60 persen akibat diabetic retinopathy sehingga dia mulai mengalami gejala kebutaan, nenek dari lima cucu ini tetap aktif menulis berbagai kolom di surat kabar, termasuk catatan harian Adrian Mole, yang hingga kini masih dimuat secara rutin pada harian Independent.
"Banyak yang menganjurkan saya untuk mulai belajar Braille di komputer. Tapi saya tidak mau. Saya orang yang gagap teknologi," ujarnya. Selama ini dia memang jarang mempergunakan komputer dalam menulis. Biasanya karya-karyanya itu dituliskannya di atas kertas, lalu saudara perempuannya mengetikkan karya itu di komputer.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo