Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berlatih Minum, Mandi, dan Menyetel TV

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tenang saja, stroke bukan akhir dari segalanya. Hidup masih bisa dinikmati, meskipun stroke mewariskan cacat sementara atau permanen. Begitulah keyakinan yang selalu ditanamkan kepada pasien stroke. Soalnya, para pasien memerlukan terapi khusus untuk merehabilitasi organ tubuh yang cacat.

Biasanya rumah sakit yang mempunyai unit neurologi atau saraf juga menyediakan layanan terapi stroke. Tapi, seperti dikatakan Sitti Airiza Ahmad, Kepala Unit Stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), pelayanan stroke yang komplet masih belum merata. Hanya beberapa rumah sakit pemerintah di kota besar—seperti RSCM, RS dr. Soetomo (Surabaya), dan RS dr. Sardjito (Yogyakarta)—yang menyediakan terapi stroke terpadu.

Menurut Airiza, pendekatan yang terpadu—melibatkan dokter, terapis, dan keluarga pasien—membuat pasien bersikap positif terhadap cacat akibat stroke. Sejak 1994, terapi terpadu membuat Unit Stroke RSCM berhasil memangkas angka kematian sampai 28 persen. "Itu angka yang cukup berarti," Airiza menekankan.

Secara garis besar, terapi stroke terbagi empat, yakni terapi fisik, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi elektrik. Terapi wicara melatih pasien yang saraf bicaranya rusak. Terapi fisik untuk melancarkan fungsi organ motorik seperti kaki dan tangan. Terapi okupasi berfungsi melatih pasien melakukan kegiatan sehari-hari seperti minum, makan, mandi, dan menyetel TV. Latihan okupasi ini juga untuk memulihkan kemampuan khusus pasien—misalnya mengetik, mencukur, atau menggunting. Sedangkan terapi elektrik bertujuan mengembalikan kepekaan rangsang pada saraf yang rusak.

Yang cukup menarik adalah pendekatan yang dilakukan Klinik Wijaya, Jakarta. Krishna Mahatmi, salah satu pimpinannya, mengungkapkan bahwa Wijaya menerima pasien yang pengobatan medisnya selesai dan tinggal menjalani proses rehabilitasi. Untuk membuat pasien bersemangat, klinik swasta yang baru beroperasi tiga bulan ini didesain dengan suasana kekeluargaan. Pada latihan makan, misalnya, pasien boleh mengundang keluarganya ke klinik. Beberapa dokter ikut menemani pasien dan keluarganya makan siang bersama. "Kami tertawa dan bermain bareng," kata Rosiana Pradanasari Wirawan, seorang dokter klinik.

Tentu saja tugas dokter bukan cuma bermain dan tertawa. Sambil makan, dokter mengamati gerakan pasien. Usai makan, tim dokter mendiskusikan kemajuan pasien dan menentukan terapi berikutnya. Dengan pendekatan ini, Rosiana menjamin, rehabilitasi stroke bisa berjalan cepat.

Viktor Marpaung, 59 tahun, pasien Klinik Wijaya, sudah menampakkan kemajuan berarti selama mengikuti terapi. Pertengahan Mei lalu, Viktor memulai terapi wicara. Kendati kebolehannya berbicara belum meyakinkan, kegesitan gerak kaki wartawan sebuah harian Ibu Kota ini sungguh mengesankan. Padahal, semula Viktor lumpuh dan harus berkursi roda. Kini, berkat terapi yang pas, ia bisa berjalan tanpa bantuan tongkat.

Mardiyah Chamim dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus