Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STROKE "naik pangkat". Dua dekade lalu, stroke menduduki posisi ke-11 dalam peringkat penyebab kematian di rumah sakit di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, pedang kematian stroke kian terasah tajam. Alhasil, saat ini kematian akibat stroke melonjak dari jenjang ke-11 ke jenjang pertama. Ini lompatan besar yang tentu saja memprihatinkan.
Selain itu, terjadi pergeseran trend yang cukup berarti. Menurut Zainal Muttaqien, ahli bedah saraf Universitas Diponegoro, Semarang, dulunya stroke banyak menyerang mereka yang berusia di atas setengah abad. Sekarang banyak dijumpai penderita stroke berusia muda, 30-40 tahun. "Ini berdampak merugikan produktivitas bangsa," kata Zainal kepada Adi Prasetya dari TEMPO.
Zainal yakin, irama kerja yang cepat dan kegiatan bisnis yang meletihkan memiliki andil besar dalam pergeseran trend stroke. Gaya hidup orang kota yang tidak sehatkebiasaan merokok, makanan berlimpah lemak, dan kurang olahragajuga sangat berperan. Pendapat ini disokong data bahwa stroke beraksi lebih dominan di perkotaan. Menurut perkiraan, 300 dari seratus ribu warga perkotaan terserang stroke. Sedangkan di pedesaan, stroke beraksi relatif lamban, menyerang 51 dari seratus ribu penduduk. Di tingkat nasional, Zainal mencatat epidemiologi stroke cukup tinggi, 150 sampai 200 per seratus ribu penduduk setiap tahun.
Kendati bahaya stroke melonjak, kesadaran masyarakat akan bahaya stroke masih rendah. Hal ini berakibat pada lambannya penanganan stroke. Buktinya, 15-30 persen penderita stroke meninggal dalam tempo satu bulan setelah serangan. Kemudian, 75 persen pasien stroke berakhir dengan berbagai cacat permanen. "Hanya seperempat pasien yang tertolong secara maksimal," kata Zainal. Padahal, angka kesembuhan bisa ditingkatkan bila masyarakat menyadari hal-ihwal stroke, sehingga sanggup memberi pertolongan pertama dengan tepat.
Sebenarnya, stroke bukanlah jenis penyakit. Lebih tepat bila stroke diartikan sebagai terminal berbagai penyakit. Rapuhnya dinding pembuluh darah arteri, cedera kepala, diabetes, kolesterol tinggi, dan terutama hipertensi adalah beberapa penyakit yang bermuara pada stroke. Kesemua penyakit ini berpotensi membuat pembuluh darah otak tidak berfungsi sempurna. Timbunan kolesterol, misalnya, membuat pembuluh darah makin sempit dan kaku. Bila berlarut-larut, kondisi ini bakal berujung pada penyumbatan (infarct) atau bahkan pecahnya pembuluh darah.
Dalam kondisi normal, sel-sel otak yang berat totalnya sekitar 1,5 kilogram itu membutuhkan suplai 1,5 liter darah per menit. Serangan stroke, baik sumbatan maupun pecahnya pembuluh darah, akan menyebabkan pasokan oksigen yang diangkut darah tidak memenuhi kebutuhan otak, tidak lancar, atau bahkan tersendat. Suplai oksigen yang terputus kontan mengakibatkan sel otak rusak atau mati. Padahal, sel otak yang sehat mutlak dibutuhkan untuk mengendalikan fungsi semua saraf tubuh. Alhasil, stroke meninggalkan bekas yang beragam, dari tak bisa bicara, lumpuh separuh badan, daya memori anjlok, sampai kematian.
Namun, itu bukan berarti stroke tak bisa disembuhkan secara total dan tak berbekas. Syaratnya, pasien ditangani pada masa golden period atau kurang dari tiga jam setelah serangan. Caranya, pasien disuntik dengan tissue plasminogen activator (TPA), yang bekerja mengencerkan darah. Dengan TPA, darah yang tersumbat bisa cair kembali. Jadi, "Fungsi otak tak sempat terganggu secara fatal," kata Sitti Airiza Ahmad, Kepala Pelaksana Unit Stroke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Neurolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini membahas peta stroke di Indonesia dalam acara Medika Award, pekan lalu di Jakarta.
Hanya, jarang pasien stroke yang datang ke rumah sakit pada masa golden period itu. Setidaknya, "Sampai kini belum pernah ada pasien RSCM yang membutuhkan TPA," kata Airiza. Akibatnya, usaha mengimpor TPA, yang berharga US$ 2.000 sekali pakai, sulit berkembang. Sebab, praktis tak ada konsumennya. Hal ini secara tak langsung menunjukkan bahwa penanganan pasien stroke di Indonesia memang benar-benar lamban.
Dalam pandangan Airiza, yang juga didukung Zainal Muttaqien, kelambanan ini terutama dipicu oleh rendahnya kesadaran masyarakat. Kelambanan makin komplet dengan adanya kemacetan lalu lintas, plus sulitnya transportasi (ambulansRed) menjangkau lokasi di berbagai pelosok. Apalagi, tak semua rumah sakit kabupaten memiliki peralatan dan dokter yang memadai untuk menangani stroke. Akibatnya, ketika sampai di rumah sakit, pasien stroke sudah menuju tahap akut, yang tak mungkin sembuh total.
Selain itu, Airiza mencatat adanya kelemahan paramedis dalam menegakkan diagnosis stroke. Selama ini, standar penegakan diagnosis memang punya nilai positif. Para dokter memeriksa dari ujung kaki sampai kepala, pendekatan ekstra-teliti yang lazim disebut blunderbuss approach. Tapi, untuk stroke yang harus berkejaran dengan waktu, model diagnosis semacam ini sudah pasti terlambat dalam mengejar tenggat golden period. Untuk itu, Airiza menyarankan perlunya pemerintah menggelar latihan khusus bagi dokter, agar mampu mendiagnosis stroke secara kilat.
Berkaitan dengan kelambanan diagnosis, para dokter sepakat untuk menggelar kampanye pengenalan dan pencegahan stroke. Langkah utama tentunya menghindari gaya hidup yang tak sehat. Airiza menekankan, orang-orang yang kebetulan punya riwayat keluarga terkena stroke sebaiknya waspada. Sikap ekstra-waspada juga dibutuhkan oleh mereka yang mengidap penyakit yang berpotensi terkena stroke. Penderita tekanan darah tinggi, misalnya, berisiko terkena stroke 10 kali lipat ketimbang mereka yang tekanan darahnya normal.
Untuk pengenalan, Zainal memberi beberapa indikasi stroke. Bila sering cegukan (hiccup), kesemutan, atau pusing-pusing, sebaiknya segera memeriksakan diri. Sebab, ini pertanda ada hal yang tidak beres pada sistem pembuluh darah. Menurut catatan Zainal, 30 persen pasien stroke pernah mengalami kesemutan selama bertahun-tahun. Supaya bisa ditangani secara dini, sebaiknya penderita jangan mengabaikan gejala ringan seperti kesemutan. "Check-up kesehatan secara rutin sangat berguna," kata Zainal.
Diakuinya, bagaimanapun kita telat jika baru sekarang bersikap serius dalam membahas masalah stroke dan penanggulangannya. Namun, karena stroke berdampak merugikan kualitas bangsa, tak ada istilah terlambat. Jadi, lawanlah dan perangilah stroke sedini mungkin.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo