Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pemandangan yang kerap ditemui di Addis Ababa, Ethiopia. Seseorang yang sedang berjalan kaki akan berhenti, menghadap ke gereja yang dilaluinya, lalu membuat tanda salib. Setelah itu, ia akan melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti. Hal yang hampir sama saya temukan selama tujuh hari perjalanan mengelilingi Ethiopia, dari Omorate di selatan hingga Lalibela di utara. Wendy, sopir mobil sewaan, membuat tanda salib setiap kali melewati gereja yang dilaluinya sembari menyetir. “Kenapa kamu melakukan itu?” saya bertanya. Wendy hanya membalas dengan senyum.
Ethiopia dikenal dengan tradisi Kristen Ortodoks yang kuat. Ajaran Kristen sudah masuk ke Ethiopia pada abad pertama, setelah Yesus Kristus wafat. Beberapa literatur menyebutkan ada dua murid Yesus yang menyebarkan Kristen hingga ke Ethiopia, yakni Matius dan Filipus. Pada abad ke-4, Raja Ezana, yang memerintah Kerajaan Aksum, menjadikan Ortodoks sebagai agama resmi di seluruh wilayahnya.
Kristen Ortodoks Ethiopia punya beberapa perbedaan dengan denominasi Katolik dan Kristen lain. Ihwal makan daging babi misalnya. Bagi kebanyakan umat kristiani, memakan daging babi adalah hal biasa. Namun, bagi penganut Ortodoks, layaknya muslim, daging babi dianggap haram. “Karena ada kejadian dalam Kitab Suci bahwa Yesus mengusir setan dan masuk ke babi,” kata Genet Tesfaye, perempuan penganut Ortodoks.
Selain itu, umat Ortodoks di Ethiopia menjalankan puasa lebih dari 200 hari dalam setahun. Bandingkan dengan masa puasa atau pantang dalam Katolik, yang hanya 40 hari sebelum Paskah. Penganut Ortodoks puasa makan dan minum hingga pukul 3 sore. Setelah berbuka pun mereka tidak boleh memakan produk hewani, seperti daging, telur, dan susu.
Puasa tersebut antara lain selama masa Adven atau menjelang Natal dengan durasi 45 hari, masa Prapaskah selama 56 hari, peringatan para rasul Yesus menerima roh kudus setelah Pantekosta selama 42 hari pada Mei-Juli, dan peringatan Maria diangkat ke surga pada Agustus selama 16 hari.
“Selain periode-periode itu, ada puasa wajib setiap Rabu dan Jumat,” ujar Aregay Kidane, warga Addis Ababa pemeluk Ortodoks yang mengaku rutin dan taat menjalankan puasa. Juga ada puasa selama 42 hari pada September-November dalam rangka memperingati perginya keluarga Yosef, Maria, dan Yesus ke Mesir. “Tapi yang terakhir ini tidak wajib,” kata pria 68 tahun itu.
Menurut Kidane, setiap penganut Ortodoks berumur di atas 13 tahun akan taat menjalankan aturan agama, termasuk menunaikan ibadah puasa. Bahkan warga Ortodoks Ethiopia sedang berpuasa ketika umat kristiani lain merayakan Natal pada 25 Desember. Hal itu terkait dengan penanggalan Julius yang mereka gunakan.
Sejarawan dari Addis Ababa University, Abebaw Ayalew, menjelaskan bahwa Ortodoks Ethiopia punya sejarah panjang yang beririsan dengan budaya dan tradisi Yahudi. Misalnya berdoa sembari menyentuh dinding atau pagar gereja. “Umat Ortodoks percaya bahwa setiap bagian gereja adalah bagian yang suci,” ujar Ayalew.
Tata cara atau praktik ibadah tersebut, berdasarkan keyakinan mereka, sudah berjalan turun-temurun sejak masa kekristenan awal. Di antaranya pemisahan ruang bagi perempuan dan laki-laki di dalam gereja, kewajiban melepas alas kaki sebelum masuk ke gereja, dan kewajiban mengenakan tutup kepala ketika beribadah bagi perempuan. Juga pembedaan pintu masuk gereja bagi perempuan dan laki-laki.
Umumnya ada tiga pintu masuk ke gereja. Pintu pertama untuk petugas ibadah bersama imam, lalu untuk umat laki-laki, dan terakhir bagi jemaat perempuan. “(Uniknya) laki-laki boleh masuk lewat pintu perempuan, tapi perempuan tidak boleh masuk lewat pintu laki-laki,” ucap Ayalew.
Kewajiban mencopot alas kaki, Ayalew menerangkan, terkait dengan konsep bahwa hanya mereka yang bersih, baik secara fisik maupun spiritual, yang boleh berdoa di dalam gereja. Mereka yang baru berbuat dosa atau salah biasanya mengikuti ibadah dari luar gereja, bahkan dari luar pagar gereja. Soal “harus bersih” inilah yang melatari larangan masuk ke gereja bagi perempuan yang sedang dalam masa menstruasi.
Tito Sianipar
Lebih lanjut Ayalew menjabarkan empat ciri yang menandakan seorang penganut Ortodoks Ethiopia, sekaligus menjadi pembeda dengan pemeluk Katolik atau denominasi Kristen lain. Pertama adalah soal nama permandian. Dalam denominasi Kristen lain, biasanya nama baptis berasal dari orang tua bayi. Dalam tradisi Ortodoks, pemberian nama permandian merupakan hak prerogatif pendeta yang membaptis.
Sementara nama baptis dalam Katolik mengikuti nama-nama orang suci, pendeta Ortodoks biasanya memberikan nama seperti “Pengikut Setia Yesus”, “Pelayan Maria”, dan “Sahabat Yohanes”. Nama-nama itu tidak digunakan dalam keseharian, tapi hanya ketika berurusan dengan gereja dan praktik iman. Ketika hendak memberikan berkat, misalnya, pendeta biasanya akan menanyakan nama baptis untuk kemudian disebut dalam doanya.
Perihal pembaptisan ini Ortodoks juga punya aturan ketat dan berbeda. Laki-laki harus dibaptis pada hari ke-40 setelah kelahirannya, sementara perempuan pada hari ke-80.
Ciri kedua penganut Ortodoks adalah mengenakan kalung, biasanya ketika hendak ke gereja. “Kalau Anda bertemu dengan pendeta di gereja, dia akan bertanya, ‘Di mana kalungmu? Kenapa tidak dipakai?’,” kata Ayalew. Tidak ada aturan mengenai bahan kalung—logam, benang, atau lainnya. Begitu juga tentang mata kalung—harus salib atau lainnya.
Ciri ketiga penganut Ortodoks Ethiopia adalah hanya memiliki satu pendeta pengakuan dosa atau father confessor. Sementara pemeluk Katolik bisa mengaku dosa kepada imam siapa saja dan di gereja mana saja, penganut Ortodoks hanya kepada satu pendeta sepanjang hidupnya. Ketika harus pindah kota karena pekerjaan, misalnya, seorang penganut Ortodoks harus meminta father confessor melepas dia.
Ciri keempat adalah mencium salib yang selalu dibawa pendeta Ortodoks. Praktik ini banyak saya temui ketika mengunjungi gereja-gereja Ortodoks di Ethiopia, termasuk di Lalibela. Anggota umat yang bertemu dengan pendeta biasanya meminta berkat, lalu mencium salib yang selalu dibawa pendeta di balik jubahnya.
Hal lain yang menjadi ciri khas Ortodoks Ethiopia adalah maraknya imaji kisah-kisah dalam Kitab Suci. Gambar-gambar ini biasanya terletak di bagian terdalam gereja, di belakang altar, yang dianggap sebagai tempat paling suci dan bersih di gereja, persis setelah tempat untuk komuni. Mereka percaya bahwa gambar-gambar itu juga suci. “Sama seperti Kitab Suci, itu sebenarnya cuma tulisan. Namun isinya yang membuat kitab itu suci,” Ayalew menjelaskan. “Gambar juga demikian. Apa yang menjadi isi gambar itu yang menjadikannya sakral.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo