Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

‘Yerusalem Afrika’, Sebuah Ziarah

ETHIOPIA dikenal dengan tragedi kelaparan yang mengundang perhatian dunia pada medio 1980-an.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gereja Santo Georgius di Lalibela, Desember lalu. Tito Sianipar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negeri di Tanduk Afrika itu sejatinya menyimpan sejarah agung kekristenan. Di sanalah kekristenan awal—atau Kristen Ortodoks—bersemi sejak era Kerajaan Aksum pada abad ke-4.

Kontributor Tempo, Tito Sianipar, menelusuri sebagian Ethiopia. Ia bertandang ke Lalibela. Kota yang dikenal sebagai “Yerusalem Afrika” itu memiliki sebelas gereja dari batu utuh sisa kebesaran Kekristenan Ortodoks pada masa lampau. Ia melihat umat Kristen Ortodoks di Ethiopia memiliki tradisi dan tata cara yang berbeda dengan penganut Kristen lain, termasuk merayakan Natal pada 7 Januari, bukan 25 Desember.

Umat Kristen Ortodoks saat perayaan Medhane Alem di Lalibela. Tito Sianipar

PANAS terik matahari tak kuasa menguapkan niat segera bertandang ke tanah suci Lalibela, Ethiopia, yang juga dikenal sebagai “Yerusalem Afrika”. Tawaran pemandu wisata menuju hotel langsung saya tampik ketika baru mendarat di Lalibela pada Jumat pekan pertama Desember 2018.

Dari Bandar Udara Lalibela, saya diantar Fikru, pemandu 45 tahun, dengan mobil menuju kompleks situs gereja di Lalibela. Sebelas gereja yang ada di sana adalah bangunan yang dipahat atau diukir dari batu utuh. Bukannya berada di atas tanah seperti bangunan lain, gereja-gereja itu berdiri dari dalam tanah. Gereja di Lalibela tidak mencakar langit, tapi menggaruk tanah. Ini adalah satu-satunya di dunia.

Saya tiba di kota itu setelah menempuh penerbangan selama 25 menit dari Gondar, sebelah barat Lalibela. Keduanya berjarak 355 kilometer, yang sejatinya bisa ditempuh dengan perjalanan darat. “Bisa memakan waktu delapan jam,” kata -Fikru. Adapun Lalibela berada 645 kilometer sebelah utara Ibu Kota Addis Ababa.

Perjalanan dari bandara ke kompleks situs Lalibela memakan waktu setengah jam dengan jalanan berdebu dan kontur berbukit. Namun durasi itu tidak berarti karena, di sepanjang perjalanan, suguhan bentangan alam memanjakan mata. -Refleks tangan langsung memencat-mencet tombol kamera.

Umat Kristen Ortodoks saat perayaan Medhane Alem di Lalibela. Tito Sianipar

Dan pilihan untuk langsung menengok peninggalan sejarah Kristen Ortodoks itu berbuah manis. Kebetulan siang itu sedang ada peringatan Medhane Alem, atau Sang Penyelamat Dunia. Di Gereja Medhane Alem, satu di antara sebelas gereja di sana, sedang berlangsung ibadah dan perayaan memperingatinya. Umat gereja bernyanyi dan bersenandung dengan khidmat meski sejumlah turis, termasuk jurnalis dengan kamera videonya, menonton serta merekam pujian dan doa-doa yang mereka panjatkan di gereja batu berukuran 33 x 23 meter itu.

Tampak sekitar 200 penganut Kristen Ortodoks dipimpin seorang imam. Para laki-laki berdiri melingkar di antara pilar-pilar di tengah gereja yang kurang-lebih seluas lapangan voli itu. Mereka bernyanyi dan sesekali menggerakkan bagian tubuh dan tongkat Makomiya yang mereka pegang. Suara bunyi-bunyian ritmis mengikuti senandung mereka.

Adapun umat perempuan berada di sebelah kanan kumpulan lelaki. Mereka duduk di lantai sembari memanjatkan doa dan mengikuti perayaan yang sedang berlangsung. Di gereja itu, tidak ada barisan bangku seperti gereja pada umumnya. Ketika para lelaki berjoget sembari berjalan melingkar, para perempuan hanya diam dan khusyuk berdoa. Suasana syahdu terasa di antara mereka.

Umat Kristen Ortodoks saat perayaan Medhane Alem di Lalibela. Tito Sianipar

Pemisahan umat lelaki dan perempuan adalah hal lazim dalam perayaan serta tradisi umat Kristen Ortodoks, mirip dengan kebiasaan di masjid bagi umat Islam. Di dalam gereja, perempuan menempati sisi kanan ketika menghadap altar dan lelaki di sebelah kiri. Dalam tradisi Ortodoks, bahkan perempuan yang sedang mengalami menstruasi dilarang masuk ke gereja.

Bukan hanya pemisahan antara perempuan dan lelaki itu yang mirip dengan tradisi Islam. Hal lain adalah kewajiban melepaskan alas kaki setiap kali memasuki gereja. Semua orang, baik anggota umat yang hendak beribadah maupun pengunjung atau turis, harus melakukannya, termasuk saya.

 

LALIBELA adalah salah satu kota yang menyimpan sejarah panjang Kristen Ortodoks Ethiopia. Kota di Ethiopia utara itu berada di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut dan dihuni sekitar 40 ribu orang yang hampir semuanya pemeluk Ortodoks. Tanahnya kering dan tandus dengan kontur bukit berbatu. Ethiopia merupakan negara dengan barisan gunung terpanjang di Afrika.

Kota ini destinasi terakhir perjalanan saya selama sepekan di Ethiopia. Perjalanan dimulai dari pedalaman di Ethiopia selatan, kemudian ke daerah segitiga perbatasan dengan Kenya dan Sudan. Lalu saya menuju belahan utara, dari Bahir Dar, Gondar, hingga ke Lalibela. Saat saya menginjakkan kaki di Lalibela, rasa penasaran untuk menyaksikan sisa kebesaran sejarah Ethiopia di utara memuncak. Apalagi Lalibela dibangun pada abad ke-12 guna menggantikan Yerusalem, yang kala itu dikuasai pasukan muslim pimpinan Salahuddin.

Raja Gebre Mesqel Lalibela, yang berkuasa di Ethiopia pada 1181-1221, memerintahkan pembangunan gereja-gereja di sana sebagai substitusi tempat ibadah dan ziarah di kota suci Yerusalem. Bahkan sungai kecil di Lalibela dinamai Sungai Yordan untuk meniru apa yang ada di Yerusalem.

Selama sepekan perjalanan di Ethiopia, Lalibela adalah yang paling indah memberikan kesan. Situs gereja-gereja yang ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO- pada 1978 itu alasannya. Kompleks gereja batu Lalibela bukanlah yang tertua di Ethiopia. Gereja Santa Maria dari Sion di Aksum adalah gereja pertama di Ethiopia, dibangun pada abad ke-4. Adalah Raja Ezana dari Kerajaan Aksum-—yang wilayahnya meliputi seluruh Ethiopia dan sebagian Yaman—yang menetapkan Kristen Ortodoks adalah agama resmi negara. Aksum adalah kota kebudayaan Kristen tertua di Ethiopia, diikuti Lalibela. Pada masa jayanya, Aksum setara dengan kerajaan dari Persia, Roma, dan Cina.

Ethiopia, terutama Gereja Ortodoks-nya, hingga saat ini mengklaim kotak Tabut Perjanjian atau Ark of the Covenant berada di Aksum. Dua bongkah batu berisi sepuluh perintah Allah yang ditulis Nabi Musa dipercaya berada di dalamnya. Kini Tabut Perjanjian itu tersimpan di Gereja Santa Maria dari Sion di Aksum. Namun ihwal kebenaran keberadaan Tabut Perjanjian tersebut masih menjadi kontroversi sampai sekarang. Ethiopia tidak pernah menunjukkannya kepada publik, sementara negara-negara lain juga mengklaim menyimpan dan memilikinya.

Lorong gereja. Tito Sianipiar

Sejarawan dari Addis Ababa University, Abebaw Ayalew, menjelaskan bahwa tujuan pembangunan Lalibela yang membuat kota itu spesial, juga menjadi tujuan ziarah sejak abad pertama. “Ini tempat yang paling suci sebagai pengganti Yerusalem,” ujarnya. Penamaan Lalibela merujuk pada nama rajanya. Nama kota itu sebelumnya Roha.

Sebelum Raja Lalibela berkuasa pada abad ke-12 di Ethiopia, banyak penganut Kristen Ortodoks yang melakukan perjalanan iman ke Yerusalem. Umat kristiani yang berziarah ke Yerusalem ketika itu menempuh jalan darat, melalui Sudan, Mesir, baru ke tanah suci di jazirah. Namun mereka sering tidak sampai ke Yerusalem dan meninggal dalam perjalanan. “Bayangkan sulitnya perjalanan darat ketika itu,” kata Ayalew. Mereka yang berhasil mencapai Yerusalem biasanya tidak kembali ke Ethiopia, antara lain karena medan yang sulit itu.

Latar belakang inilah yang mendorong Raja Lalibela untuk membangun Yerusalem baru di negerinya. Belum lagi kondisi Yerusalem ketika itu, yang dikuasai pasukan muslim sebagai buntut Perang Salib. Kini berkunjung atau berziarah ke Lalibela minimal sekali dalam seumur hidup bagai sebuah kewajiban bagi pemeluk Kristen Ortodoks Ethiopia.

 

KOMPLEKS situs Lalibela terdiri atas sebelas gereja yang semuanya dipahat ke dalam tanah dan berasal dari batu utuh. Gereja-gereja itu dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan letaknya. Di sebelah barat laut, ada Biete Medhane Alem atau Gereja Sang Penyelamat Dunia, Gereja Santa Maria, Gereja Golgota Mikael, Gereja Salib Suci, dan Gereja Perawan Suci.

Di tenggara ada Gereja Imanuel, Gereja Santo Merkurius, Gereja Abba Libanos, Gereja Malaikat Gabriel dan Rafael, serta Gereja Betlehem—juga dikenal sebagai Rumah Roti karena dulu merupakan tempat pembuatan roti untuk ibadat. Satu gereja lain yang terpisah dari dua kompleks itu adalah Gereja Santo Georgius, yang bangunannya berbentuk salib ketika dilihat dari atas.

Tidak ada kayu, semen, ataupun paku di gereja-gereja itu. Raja Lalibela memodifikasi alam untuk kepentingan iman. Para pekerja memahat hingga kedalaman 15 meter untuk membentuk sebuah bangunan gereja. “Butuh waktu 23 tahun untuk membangunnya,” kata Fikru, pemandu wisata. Semua gereja dalam tiap lokasi terhubung oleh lorong-lorong sempit yang lebarnya kadang kurang dari setengah meter. Ada juga lorong gelap gulita sepanjang 35 meter yang menghubungkan Gereja Malaikat Gabriel dengan Rafael. “Kami percaya seperti inilah rasanya di neraka,” ucap Fikru. Dia mengingatkan saya untuk menjulurkan tangan menyentuh dinding sebelah kanan ketika menyusuri lorong itu. Dilarang menyalakan alat penerang selama di lorong.

Ukiran salah satu rasul berusia 900 tahun. Tito Sianipiar

Setiap bangunan gereja juga memiliki ukiran menarik sebagai bagian dari arsitekturnya. Misalnya lubang angin berupa swastika, yang dikenal dalam agama Buddha, dan jendela berbentuk kubah, yang banyak terdapat di Timur Tengah. Ada pengaruh Persia dan Buddha sebagai persentuhan budaya. “Ini produk dari Jalur Sutra,” ujar Fikru.

Gambar-gambar kejadian kudus dalam Kitab Suci juga menghiasi bagian terdalam gereja. Dalam tradisi Ortodoks dipercaya bahwa bagian terdalam ini adalah yang paling suci dan hanya bisa diakses oleh pendeta. Beberapa lukisan di sana dibuat saat gereja dibangun, yang berarti sudah berumur lebih dari 900 tahun. Medianya biasanya kulit hewan.

Kebesaran dan keagungan gereja dari pahatan batu utuh itu terasa ketika saya berada di dalamnya. Ada pengalaman iman yang saya rasakan berbeda sebagai penganut Katolik. Getaran yang sama tidak saya dapatkan ketika mengunjungi berbagai katedral di Eropa, dari katedral di London, Inggris; di Wina, Austria; hingga Basilika Santo Petrus di Vatikan. Lalibela tidak angkuh, tapi menyimpan energi kalis karunia iman.

Meski beberapa gereja di Lalibela dipayungi kanopi permanen sumbangan Uni Eropa—sebagai pelindung agar tidak rusak oleh air hujan—nuansa magis gereja-gereja itu tak hilang. Itu pun masih dihiasi dengan pemandangan teatris orang-orang yang khusyuk membaca Kitab Suci, atau mereka yang berdoa sembari menyentuh dinding gereja. Juga ade-gan orang mencium pintu ketika masuk ke gereja, bahkan sampai membungkuk mengecup lantai.

Ukiran salah satu rasul berusia 900 tahun. dan Golgota, Lalibela, Desember lalu. Tito Sianipiar

Di kompleks gereja Lalibela itu, saya bertemu dengan seorang pemuda keturunan Ethiopia yang lahir dan besar di Amerika Serikat. Namanya Bronson Wood. Wood bercerita bahwa ia berdarah campuran. Ayahnya orang Ethiopia yang bermigrasi ke Negeri Abang Sam dan kini menetap di Atlanta, Amerika Serikat. “Ini kunjungan pertama saya ke Lalibela,” kata pria 20-an tahun itu. Meski sudah tidak lagi menganut Kristen Ortodoks, Wood merasa harus mendatangi tempat keramat bagi nenek moyangnya tersebut. “Saya merasa perlu melihat dan mendatangi tempat ini,” ujar Wood, yang kini menganut Kristen Protestan.

Di dalam Gereja Santo Georgius, Wood meminta berkat dari seorang pendeta. Ia menjura membentuk sikap hormat kepada sang pendeta. Demikian juga enam temannya, yang sama sekali tidak memiliki garis keturunan Ethiopia, yang bersama Wood untuk liburan. Daya magis Lalibela bekerja tak hanya untuk penganut Ortodoks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus