Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mulas Datang Setelah Makan

Irritable bowel syndrome bisa disebabkan oleh parasit. Dapat disembuhkan dengan obat.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RISNA Halidi tahu betul perutnya bakal mules-mules setelah ia menyantap makanan pedas. “Habis makan nasi goreng saja bolak-balik ke toilet dua kali,” kata Risna, 25 tahun, Jumat pekan lalu.

Perempuan yang tinggal di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, itu juga mesti waspada setiap kali menenggak minuman manis. Baru hitungan menit, nyeri perut dipastikan muncul. Rasa tak nyaman itu akan hilang setelah ia buang air besar.

Pernahkah perut Anda mulas setelah makan dan merasa lega setelah buang air besar seperti yang dialami Risna? Atau nyeri perut datang saat cemas? Diperkirakan 4-20 persen penduduk Asia menderita irritable bowel syndrome (IBS), yang gejalanya sama seperti yang dialami Risna.

IBS adalah gangguan sistem pencernaan pada bagian usus besar jangka panjang, biasanya menyebabkan diare, sembelit, atau campuran keduanya. Padahal, kalau diperiksa, tak ada kerusakan pada saluran cerna. “Tak ada peradangan usus, tak ada kanker usus, atau kerusakan yang lain,” ujar dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang anak, Yudianita Kesuma.

Gangguan ini tak hanya dialami orang dewasa. Menurut Yudianita, makin muda usia, makin banyak ditemukan penderita IBS. Tahun lalu, ia meneliti prevalensi, penyebab, dan dampak IBS pada remaja di Palembang. Penelitian itu mengantarnya meraih gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Desember lalu.

Anggota staf Divisi Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Mohammad Hoesin-Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya ini melakukan studi pada 454 remaja 14-16 tahun di Palembang. Mereka ditanyai tentang keluhan nyeri perut yang pernah menyerang. Hampir satu dari tiga (30,2 persen) remaja tersebut ternyata menderita IBS. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding dalam studi sebelumnya di tempat lain.

Yudianita. TEMPO/Nur Alfiyah

Yudianita kemudian memeriksa tinja mereka. Dari hasil pemeriksaan tersebut, ia menyimpulkan ada perbedaan penyebab antara IBS di Eropa dan di Indonesia. Di Eropa, kata dia, IBS umumnya disebabkan oleh masalah psikologis, seperti stres. “Misalnya dirisak, lalu jadi sering sakit perut,” ujarnya.

Sedangkan hasil penelitiannya menunjukkan separuh lebih (51 persen) remaja yang menderita IBS terinfeksi Blastocystis hominis, parasit yang hidup di saluran cerna manusia. Parasit tersebut bisa masuk ke tubuh lewat makanan yang terkontaminasi kotoran manusia.

Hasil studi Yudianita ini sama dengan laporan riset di Malaysia, Pakistan, dan Meksiko. Penelitian di Malaysia menyebutkan 17 persen pasien IBS terinfeksi parasit ini. Di Pakistan, separuh lebih pasien IBS terkontaminasi parasit serupa. Adapun di Meksiko parasit tersebut ditemukan pada 23 persen pasien IBS.

Menurut guru besar tetap ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agus Firmansyah, perbedaan penyebab IBS tersebut bisa jadi karena kebersihan lingkungan yang tidak sama. “Di sini kan banyak cacingnya,” tutur promotor penelitian Yudianita itu.

Blastocystis hominis tak bekerja sendirian menyebabkan nyeri pada perut. Ada beberapa pencetus yang membuat IBS ber-aksi. Pada sebagian remaja yang diteliti Yudianita, nyeri perut datang setelah mereka makan pindang, makanan khas Palembang dengan rasa campuran pedas, asam, dan manis. Rasa pedas sudah lama diketahui membuat usus tak bisa mencerna makanan dengan baik lantaran tak bisa menoleransinya. Rasa yang membuat lidah seperti terbakar ini juga mengganggu komposisi ekosistem dalam usus.

Sebagian remaja lain juga mengalami nyeri perut setelah makan kacang-kacangan. Yudianita meneliti efek kacang tanah, mede, dan almond terhadap mereka. Tiga jenis kacang ini sudah terbukti bisa membuat alat pencernaan bereaksi tak normal. Kacang bisa memicu alergi, juga membuat alat pencernaan menjadi hipersensitif dan tak bisa mencerna alias intoleransi. Makan kacang bisa menyebabkan sakit perut, diare, atau malah konstipasi.

Ada pula yang langsung mulas setelah menenggak minuman manis, seperti minuman dalam kemasan. Kandungan pemanis buatan atau fruktosa—salah satu jenis gula—yang tak sedikit juga membuat pencernaan tak bisa bekerja dengan baik. Pemanis yang tertinggal tersebut akan terfermentasi di usus halus dan menghasilkan gas sehingga perut menjadi segah. Efek lain adalah nyeri perut, diare, kram perut, kembung, mual, dan nyeri pada lambung (dispepsia).

Bagi remaja perempuan, gejala IBS bisa makin berat saat masa menstruasi. Periode ini membuat bagian perut lebih sensitif, terlebih jika “tamu bulanan” itu datang disertai nyeri.

Perut yang tiba-tiba nyeri tentu mengganggu aktivitas para remaja ini. Sebagian dari mereka mengaku menghindari beberapa makanan. Efek lain adalah merasa rendah diri dan menghindari teman. “Jadi enggak percaya diri dan kualitas hidup mereka menurun,” ujar Yudianita.

Karena penyebab IBS di Indonesia dan Eropa berbeda, penanganannya pun semestinya tak sama. Di Eropa, anak yang menderita IBS biasanya ditangani psikolog atau psikiater. Dalam penelitiannya, Yudianita memberikan obat antimikroba, -metronidazole, kepada mereka yang terinfeksi Blastocystis hominis selama sepuluh hari. Sebanyak 80 persen di antaranya sembuh alias tak ada gejala IBS lagi. Sisanya masih sering mulas gara-gara tak menuntaskan pengobatan. “Ada yang lupa, ada yang sedang sakit lain,” kata dosen luar biasa di Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Palembang ini.

Yudianita juga menyarankan agar mereka menghindari pencetus IBS, seperti makanan pedas; makanan yang mengandung kacang tanah, almond, dan mede; serta minuman kemasan atau berpemanis, juga mengelola stres.

Menurut guru besar tetap ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rini Sekartini, hasil penelitian ini bisa menjadi standar pengobatan baru. Terlebih pengobatan tersebut bisa dilakukan dengan mudah di layanan kesehatan primer, seperti pusat kesehatan masyarakat. “Supaya IBS-nya bisa disembuhkan, tak terbawa sampai dewasa,” ucap salah seorang penguji disertasi Yudianita itu.

Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus