Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film Q, Setelah Satu Dekade

Festival Film Q kembali digelar di Jakarta. Rekaman kehidupan kaum gay dan lesbian yang bergeser ke masalah keluarga.

10 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebuah pondok kecil di pinggir sawah, Rubidin (Arja Lee) dan Dina (Diana Danielle) saling meraba hati masing-masing. Rubidin, yang patah hati karena memergoki pasangan homoseksualnya, Ghaus (Wan Raja), berselingkuh dengan seorang perempuan di kantornya, kini bersua lagi dengan Dina, teman masa kecilnya di kampung. Benih-benih asmara rupanya tumbuh di antara keduanya.

"Apakah Dina mau menerima segala kekurangan Abang?" tanya Rubidin. Dina mengangguk.

"Apakah Dina benar-benar mau menerima segala kekurangan Abang?" tanya Rubidin lagi.

"Mengapa Abang bertanya seperti itu?" tanya Dina.

Rubidin hanya diam. Keduanya bertatapan. Rubidin tak tega menceritakan satu rahasia: dia sudah berganti kelamin demi Ghaus, yang malah mengkhianatinya.

Pohon telanjur menjadi papan, tak mungkin lagi jadi tanaman. Rubidin hanya bisa menyesal dan berlari sejauh mungkin—dalam pengertian sebenarnya—meninggalkan ibunya (Normah Damanhuri) di tengah sebuah pesta di kampung yang dipersiapkan untuk menyandingkan Rubidin dengan Dina.

... Dalam Botol adalah film gay pertama di Malaysia yang turut diputar dalam Q Film Festival ke-10 di Jakarta sepanjang pekan lalu.  Film yang semula berjudul Anu dalam Botol ini muncul di bioskop-bioskop di negeri jiran pada Maret lalu dan sempat memicu kontroversi dan terancam tak bisa beredar. Negara itu memiliki hukuman yang keras terhadap pelaku sodomi dengan ancaman 20 tahun penjara. 

"Malaysia tidak melarang film tentang gay, tapi melarang film yang menampilkan gambar yang vulgar, sehingga kami harus pandai-pandai menampilkannya secara puitik," kata sutradara Khir Rahman, yang hadir dalam pemutaran film itu di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Meski menampilkan adegan cinta sepasang lelaki, film itu tak menampilkannya secara vulgar.

Namun Raja Azmi Raja Sulaiman, penulis dan produser film itu, menghapus kata "anu" pada judul dan sejumlah adegan dipotong, akhirnya film ini dapat disaksikan rakyat Malaysia. "Kata 'anu' di Malaysia berarti kelamin, dan itulah yang dilarang dipakai," kata Raja Azmi.

Karena kontroversi itu, film yang diangkat dari kisah nyata ini malah berhasil menangguk untung besar. ­Kurang dari sepekan pemutaran, ia sudah meraup RM 1 juta atau sekitar Rp 2,8 miliar, lebih dari cukup untuk menutupi biaya produksi dan pemasaran yang RM 970 ribu.

Meski film ini sudah lolos sensor di Malaysia, panitia Q Film Festival tetap memberlakukan aturan ketat bagi siapa pun yang ingin menonton. Penonton, misalnya, wajib mendaftar dan menunjukkan kartu tanda penduduk sebelum masuk ke "bioskop". Panitia rupanya memetik banyak pelajaran berharga dari festival tahun lalu, ketika acara mereka di Goethe Haus diganggu oleh demonstrasi Front Pembela Islam, yang menuduh mereka "mempromosikan kehidupan seks bebas, seks menyimpang, homoseksualitas, dan lesbian". "Pengalaman itu akhirnya membuat kami lebih merapatkan barisan dan membuat prosedur standar di setiap bagian," kata Meninaputri Wismurti, yang kini menjadi direktur festival bersama Hally Ahmad.

Tahun ini tongkat kepemimpinan festival diserahkan John Badalu kepada mereka berdua sebagai bentuk peralihan generasi. "Biarlah yang muda-muda melanjutkan festival ini dengan semangat yang lebih besar," kata John ketika membuka festival ini.

Festival ini memutar 100 film bertema gay, lesbian, biseksual, transgender, hak asasi manusia, dan HIV/AIDS. Hingga pertengahan pekan lalu, 1.900 lebih orang telah menyaksikannya di Salihara, Pusat Kebudayaan Prancis, Erasmus Huis, dan Kineforum Taman Ismail Marzuki. Goethe Haus tak ikut serta karena bangunannya sedang direnovasi.

Ada pergeseran isu yang terlihat dalam beberapa film tahun ini. Kaum gay dan lesbian, misalnya, kata Meninaputri, tak lagi berteriak-teriak menuntut persamaan hak, meskipun hal itu tetap disuarakan, tapi mulai muncul keinginan mereka untuk diterima berkeluarga. "Ini mungkin karena perkawinan gay mulai dilegalkan, misalnya di beberapa negara bagian di Amerika Serikat," katanya.

Dulu banyak film yang menggambarkan perjuangan kelompok gay untuk diterima masyarakat, "Kini mereka melibatkan juga teman- temannya yang bukan gay, misalnya dalam Finger Lick­ing Good," kata Meninaputri. Finger Licking Good merupakan kompilasi enam film pendek, termasuk Le Petit Salonk arya Caroline Le, yang diilhami cerita pendek Ma's Salon Brings Me the World karya Huong Nguyen. Film itu mengisahkan kehidupan seorang gadis Vietnam-Amerika yang bekerja di salon ibunya dan tercerabut dari budaya dan komunitas Vietnam. Dia mendadak harus menghadapi perbincangan sehari-hari tentang pria, politik, dan gosip komunitas, yang dilakukan ibunya dengan para pelanggannya yang kebanyakan orang Vietnam.

Beberapa film Asia yang diputar menampilkan masalah keluarga dan sosial yang dihadapi orang yang berganti kelamin, seperti yang tampak pada … Dalam Botol, Lovely Man karya Teddy Soeriaatmadja, dan Insects in the ­Backyard karya sutradara Tanwarin Sukkhapisit. "Masalah gay dan lesbian di Asia masih berbenturan dengan keluarga dan agama. Iklim sosialnya lebih menekan, berbeda dengan Eropa dan Amerika Serikat yang lebih terbuka," kata Meninaputri.

 Tanwarin tak semujur Raja Azmi. Film debutannya yang dirilis pada November 2010 itu gagal tayang di bioskop karena tak lolos sensor. Lembaga sensor film Thailand menolaknya karena film itu dianggap tak bermoral dan berbau pornografi. Salah satu yang jadi sorot­an adalah adegan Tanya (diperankan Tanwarin) bermasturbasi. Tanwarin menyuguhkan adegan itu secara visual apa adanya dan menilai adegan itu bagian dari inti cerita secara keseluruhan, sehingga tidak bisa dihilangkan.

Insects in the Backyard berkisah tentang Tanya, laki-laki 35 tahun yang mengubah dirinya menjadi perempuan. Dia hidup bersama putranya, Johnny, dan putrinya, Jennifer. Sang istri, perempuan yang amat dicintainya, meninggal ketika melahirkan Johnny. Kedua anaknya menganggap Tanya sebagai "kakak perempuan" yang doyan makan dan tak berhenti merokok. Penampilannya selalu cantik dan rapi dengan gaya pakaian ala aktris Hollywood era 1950: rambut disasak tinggi, mengenakan kalung mutiara dan busana terusan hitam tanpa lengan, lengkap dengan sarung tangan sebatas siku.

Film ini mencoba mengurai berbagai persoalan yang membelit anak beranak itu. Kedua anak Tanya berusaha hidup mandiri dan tak bergantung pada sang "kakak". Sayang, keduanya justru terpuruk di jalan yang gelap. Demi mendapatkan banyak uang Johnny terpaksa melayani para lelaki hidung belang penggemar bocah remaja. Sang kakak, Jennifer, tak kalah mengenaskan. Di sela-sela kegiatannya sebagai model, dia juga menjadi pemuas nafsu kliennya, baik laki-laki maupun perempuan.

Adapun Gangor merupakan hasil kerja sama seniman Italia dan India. Film ini diangkat dari cerita pendek Choli Ke picche, bagian dari The Trilogy of Breast, karya Mahasweta Devi, pengarang India yang juga dikenal sebagai pemerhati masalah perempuan dan isu sosial. Film garapan sutradara Italia, Italo Spinelli, ini bercerita tentang seorang pewarta foto terkenal di India bernama Upin. Ditemani seorang asisten bernama Ujan, Upin diberi tugas ke Purulia, Bengali Barat, untuk meliput kasus kekerasan yang menimpa para perempuan suku di sana. Tanpa sengaja, dia melihat seorang perempuan yang tengah menyusui anaknya dengan dada terbuka. 

Terpesona dengan pemandangan yang menyentuh itu, Upin kemudian mengambil gambar sang perempuan, yang belakangan diketahui bernama Gangor. Foto itu kemudian diterbitkan di halaman depan surat kabar tempat dia bekerja. Tindakan itu ternyata membuahkan persoalan baru bagi Gangor. Perempuan itu justru jadi incaran kejahatan laki-laki di desanya. Dia dianiaya dan diperkosa. Di sisi lain, Upin tak bisa melupakan Gangor. Lelaki yang sudah beristri itu pun kembali ke Purulia dan berusaha mencari Gangor.

Melalui Gangor, Spinelli mengangkat masalah kekerasan terhadap perempuan di India dalam sebuah bingkai sederhana. Adapun kekerasan di Afrika Selatan diangkat sutradara Swiss, Sylvie Cachin, dalam film dokumenter Goddesses-We Believe We Were Born Perfect.

Hingga tulisan ini diturunkan, Q Film Festival berlangsung lancar tanpa gangguan. Itulah yang diharapkan Meninaputri dan teman-temannya, yang kini juga sedang mempersiapkan beberapa film dari festival itu untuk diputar di kota-kota lain.

Kurniawan, Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus