Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pengadilan setelah Tiga Paus

Paus Fransiskus menyetujui pengadilan untuk para uskup dalam kasus pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik. Masih ada yang ragu.

29 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara 60 Minutes di stasiun televisi CBS, akhir 2014. Sean O'Malley, tamu acara, menghadapi pertanyaan telak mengenai tindakan apa yang mesti dilakukan dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di lingkungan Gereja Katolik. Ketika itu memang sedang gencar pemberitaan tentang kasus yang melibatkan Uskup Robert Finn dari Keuskupan Kansas City-St Joseph di Negara Bagian Missouri, Amerika Serikat.

O'Malley, Kardinal Boston yang mengetuai Pontifical Commission for the Protection of Minors, penasihat Paus untuk perkara pelecehan seksual di lingkungan Gereja Katolik, menjawab, "Ini pertanyaan yang perlu ditanggapi oleh Takhta Suci selekasnya.... Ada pengakuan mengenai hal itu dari Paus Fransiskus." Menurut dia, komisinya sedang berupaya mencari cara agar Gereja punya protokol untuk merespons uskup yang tak bertanggung jawab melindungi anak-anak di keuskupannya.

Tanggapan Takhta Suci baru diumumkan pada 10 Juni lalu. Secara resmi Paus Fransiskus menyetujui pembentukan pengadilan khusus untuk meminta pertanggungjawaban uskup yang gagal menangani kasus pelecehan seksual di lingkungannya. Uskup menjadi pihak yang dibidik karena, dalam tradisi Gereja Katolik, uskup punya otonomi dan kebebasan yang signifikan—kondisi yang membuka peluang terjadinya upaya menutup-nutupi kejahatan.

Menurut pengumuman resminya, pengadilan baru itu akan menjadi bagian dari Congregation for the Doctrine of the Faith (CDF), pengawas tertinggi Gereja Katolik. Sejak 2001, badan ini telah mengadili pastor yang dituduh melakukan pelecehan seksual. Yang belum ada adalah badan dengan peran serupa di tingkat Vatikan untuk mengadili uskup. Federico Lombardi, juru bicara Vatikan, mengatakan Paus akan menunjuk seorang sekretaris dan anggota staf permanen untuk pengadilan itu.

Langkah itu sudah lama ditunggu-tunggu, terutama oleh para korban pelecehan seksual dan penasihat hukumnya. Terence McKiernan, pastor yang rajin mengkritik Vatikan, menyebutnya sebagai perubahan besar dalam Gereja Katolik. "Pastor melecehkan anak-anak, begitu pula uskup," kata McKiernan, yang menjadi Presiden BishopAccountability.org, sebuah kelompok pengawas.

Menurut Mgr Stephen Rosetti, psikolog dan profesor di Catholic University of America, langkah itu terhitung penting. "Karena ia menjadi peringatan bagi uskup. Peringatan itu seperti mengatakan, 'Jika tak mau menangani hal ini, kalian harus berhadapan dengan CDF', dan tak seorang pun mau berhadapan dengan CDF," katanya. Rosetti pernah mengepalai St Luke's Institute, pusat perawatan untuk para pastor yang melakukan pelecehan seksual.

* * * *

Paus Fransiskus membentuk Pontifical Commission for the Protection of Minors pada Maret 2014. Terdiri atas delapan orang, termasuk empat perempuan, komisi ini diniatkan sebagai tindakan nyata untuk mengatasi berbagai skandal pelecehan seksual yang mengguncang Gereja Katolik. Seorang juru bicara Vatikan kala itu menyebutnya sebagai cerminan dari pernyataan Paus Yohanes Paulus II, pendahulu Paus Fransiskus, bahwa "tak ada tempat dalam kepastoran atau kehidupan religius bagi mereka yang menodai anak-anak".

Pada 2014 itu, kasus-kasus pelecehan seksual sudah menyebabkan Paus harus menghadapi kritik yang kian keras karena dianggap membiarkan. Beberapa waktu sebelum pembentukan komisi tersebut, Paus memberi waktu untuk wawancara kepada sebuah koran Italia. Menjawab pertanyaan, dia terkesan defensif dengan mengatakan Gereja "mungkin satu-satunya institusi publik yang bertindak dengan transparansi dan tanggung jawab... tapi ia satu-satunya yang diserang".

Serangan kritik itu sebenarnya bisa dipahami. Sejak pertama kali tudingan adanya pelecehan seksual memperoleh ekspos media pada akhir 1980-an, kasus demi kasus terus muncul. Selain kasus pelecehan, tuduhan diarahkan ke anggota hierarki Gereja Katolik yang tak melaporkan kasus yang ada ke penegak hukum. Bermacam bukti dibeberkan, yang menunjukkan mereka hanya memindahkan pelaku pelecehan seksual ke paroki lain, tak jarang justru mengakibatkan pelecehan berlanjut.

Menurut kajian Pew Research Center, liputan media marak di berbagai negara pada 2002, setelah The Boston Globe memulai liputan investigatifnya—yang kemudian diganjar Pulitzer Prize untuk kategori layanan publik. Koran yang terbit di Boston, Amerika Serikat, ini mengungkap, di antaranya, bagaimana kejahatan John J. Geoghan, seorang pastor, bisa berlangsung selama tiga dasawarsa lebih.

Thomas Farragher, kolumnis di koran itu, menggambarkan dalam kolomnya pada 16 Juni lalu, kejahatan seorang di antara pastor pelaku pelecehan seksual tersebut sebagai hal yang "mengerikan, sangat terkutuk, dan seperti sinema yang mengguncang". Pada 2002 itu, Farragher ikut meliput salah satu kasus.

Sejauh ini tak ada statistik "resmi" yang menunjukkan secara detail besarnya kasus pelecehan di lingkungan Gereja Katolik. Yang masih ada adalah data dari 2010, yang merupakan bagian dari laporan John Jay Institute, yang disusun untuk konferensi para uskup Amerika. Dari data itu terungkap bahwa frekuensi pelecehan seksual terhadap anak-anak di kalangan pastor sebenarnya tak luar biasa. Yang mencemaskan adalah polanya.

Menurut survei yang paling pesimistis, 27 persen dari perempuan Amerika dan 16 persen pria punya "sejarah pelecehan seksual di masa kanak-kanak"; sedangkan yang optimistis mencatat 12,8 persen perempuan dan 4,3 persen pria. Yang bisa dipastikan, angka-angka itu tergantung apa definisi pelecehannya dan apa yang dimaksud "kanak-kanak".

Di negara lain seperti di Amerika Latin, Asia, dan Afrika, boleh jadi statistiknya berbeda. Di kawasan-kawasan itu bahkan membicarakan pelecehan seksual di lingkungan Gereja masih dianggap tabu.

Pada masa lalu, menurut Rossetti, Vatikan sebenarnya telah menetapkan bahwa tindakan para pelaku pelecehan seksual itu tergolong "kejahatan paling keji". Masalahnya, pertanggungjawaban atasan para pelaku, dalam hal ini para uskup, yang sengaja menutup-nutupi kejahatan, tak benar-benar diberlakukan.

Hanya Paus yang berwenang mendisiplinkan para uskup. Tapi, hingga Paus Fransiskus, tak seorang pun yang secara terbuka menghukum uskup yang melakukan kejahatan keji itu. Pada masa pendahulu Paus Fransiskus—Paus Benediktus XVI dan, sebelum dia, Paus Yohanes Paulus II—Vatikan mencopot gelar kepastoran sekitar 850 orang karena kasus pelecehan seksual dan menghukum tak kurang dari 2.500 orang lainnya. Tapi tak ada mekanisme hukum yang sama terhadap uskup.

Kardinal O'Malley, terutama melalui Pontifical Commission for the Protection of Minors, termasuk mereka yang gigih menyarankan Vatikan agar bertindak tegas mendisiplinkan uskup yang abai. Meski demikian, para uskup di Amerika tak menyangka Paus Fransiskus benar-benar menjalankan rekomendasi komisi tersebut. "Saya tak punya informasi apa-apa tentang hal itu," kata Uskup Agung Joseph Kurtz, Presiden US Conference of Catholic Bishops. Para uskup yang sedang mengikuti pertemuan tahunan di St Louis baru mengetahuinya persis pada hari Vatikan mengumumkannya.

* * * *

Meski dinilai sebagai langkah besar, tak sedikit pula yang sangsi terhadap efektivitas pengadilan itu. Mereka yang masih memendam kritik beranggapan bahwa Gereja Katolik belum cukup bertindak untuk melindungi anggotanya yang kedudukannya paling rentan.

"Ini satu proses, dan proses bisa dimanfaatkan atau disalahgunakan," kata David Clohessy, Direktur Eksekutif Survivors Network of those Abused by Priests. "Kami takut hal ini akan digunakan untuk mendorong rasa berpuas diri serta meredakan kecemasan di lingkungan keparokian dan menghasilkan berita yang baik-baik saja. Kami akan sangat gembira kalau secara nyata hal ini digunakan untuk mencegah upaya menutup-nutupi."

Clohessy boleh dibilang mewakili mereka yang mengalami sendiri pelecehan seksual itu atau mereka yang kebetulan mengetahuinya. "Kita akan mengetahui bahwa pengadilan ini benar-benar berfungsi kalau ada kasus dan uskup dimintai pertanggungjawaban," kata Charles Martel, psikoterapis yang membantu para korban pelecehan seksual oleh pastor.

Purwanto Setiadi (The Boston Globe, CNN, Irish Central, The New York Times, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus