Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI membelakangi Sungai Kapuas, dekat pelabuhan bongkar-muat Pontianak, bangunan itu tampak tak terawat. Atap asbesnya berlubang di sana-sini. Sebagian dinding bertedeng seng bekas. Dilihat dari pinggir Jalan Yos Sudarso, bagian depan bangunan bernomor 135 itu sudah tampak miring.
Di sanalah semestinya alamat perusahaan penggergajian kayu CV Kayu Mas. Pada Jumat pekan lalu, yang terpacak pada plang di depan bangunan adalah tulisan "PD Central Steel: menjual besi beton dan bahan bangunan". Di tanah terbuka di bagian depan bangunan memang terhampar besi beton pelbagai ukuran dan gulungan. "Kayu Mas terbakar tiga tahun lalu," kata seorang perempuan yang berkantor di situ.
Kini yang menandakan bangunan itu bekas penggergajian adalah gelondongan kayu pelbagai ukuran yang terhampar di pekarangannya. Semakin ke belakang, ke tepi Kapuas, pada tumpukan kayu terlihat bekas terbakar. Menurut perempuan tadi, ketika itu api melalap habis kantor Kayu Mas. Setelah kebakaran, bangunan didirikan lagi, tapi Kayu Mas ditutup selamanya. Sebagai gantinya, berdirilah Central Steel.
Anehnya, meski kantor itu sudah ditutup tiga tahun lalu, dari sana mengalir duit ke Senayan. Seorang perempuan bernama Dina dengan alamat surat di kantor CV Kayu Mas diduga berulang kali mentransfer sejumlah dana ke rekening Mirwan Amir, politikus Partai Demokrat, yang mundur dari posisi Wakil Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei lalu.
Sumber Tempo mencatat, pada Maret 2011, Dina mengirim Rp 150 juta. Selama April-Mei tahun lalu, pengirim dengan nama yang sama mentransfer sekitar Rp 3 miliar dalam belasan transaksi, masing-masing Rp 214 juta. Belum jelas maksud pengiriman uang tersebut. Transaksi ini, menurut sumber yang sama, dicurigai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang kemudian melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Perempuan di Central Steel itu mengatakan Dina bukan pemilik Kayu Mas. Menurut dia, perusahaan itu dimiliki seseorang bernama Andi Wijaya. Ia juga memastikan tidak pernah ada karyawan bernama Dina. "Kalau ada yang mengaku-aku, itu bohong," ujar perempuan setengah baya yang mengaku pernah bekerja di Kayu Mas itu.
Untuk mengirim uang, Dina juga mencantumkan alamat lain di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Didatangi pada Kamis dan Jumat pekan lalu, petugas keamanan di sana menyebutkan bangunan itu milik seorang tokoh sepak bola, orang tua Dina. Menurut petugas itu, sang tokoh sedang berada di Swiss. Adapun Dina tinggal di tempat lain. Si petugas juga mengatakan telah menyampaikan permintaan wawancara Tempo melalui sekretaris Dina. Hingga Jumat malam, surat itu tak direspons.
Lalu lintas dana di rekening Mirwan tak cuma melibatkan Dina. Di rekeningnya tercatat nama seorang pengusaha hotel. Ada juga setoran melalui dua anggota stafnya di DPR. Kemudian ada transaksi dengan koleganya di Badan Anggaran. Pada Juni 2011, seorang pengusaha periklanan juga menyetor Rp 500 juta.
Tak cuma menghimpun dana, Mirwan terdeteksi berbelanja tiga mobil mewah. Namun semuanya diatasnamakan orang lain. Pada Januari 2011, ia membeli Range Rover senilai Rp 2,1 miliar secara kredit lewat perusahaan di Jalan Fatmawati, Jakarta. Setelah membayar uang muka, Mirwan langsung melunasi pembelian pada pembayaran kedua atau ketiga. Mobil buatan Inggris itu tercatat atas nama adiknya, Amrinur Okta Jaya.
Demikian pula ketika ia membeli Mercedes-Benz C-Class 200 seharga Rp 575 juta pada Oktober 2010 dan BMW X3 senilai Rp 570 juta pada 2009. Kedua mobil itu dibeli lewat kredit. Dalam surat-surat Mercy tertera nama Amrinur Okta sebagai pemilik. Adapun BMW memakai nama seorang pengusaha.
Kepada wartawan, Senin pekan lalu, Mirwan tak menyangkal telah membeli tiga mobil itu. "Itu memang mobil adik saya. Adik sama abang salahnya apa, sih? Itu adik saya minta tolong," ujarnya. Menurut Mirwan, uang yang dipakai buat membeli mobil pun berasal dari sumber yang halal. Amrinur Okta, seperti dikutip Detik.com, mengatakan mobil-mobil itu dibeli dengan uangnya.
Soal setoran dari sejumlah pengusaha, Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara untuk meminta penjelasan Mirwan. Di rumahnya di kawasan Bintaro, seorang perempuan yang bekerja di situ mengatakan sudah beberapa hari bosnya tak pulang. Ditunggui di rumahnya hingga Sabtu dinihari, ia tak nongol. Menurut Sekretaris Fraksi Demokrat Saan Mustopa, Mirwan sudah mengetahui permohonan itu. Ia juga tidak bisa ditemui di kantornya. Seorang anggota staf Fraksi Demokrat mengatakan Mirwan absen sejak Selasa.
Dua ribuan transaksi anggota Dewan disorot Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut Muhammad Yusuf, kepala lembaga itu, baru sekitar seribu transaksi yang selesai dianalisis. Dari situ, muncul sekitar sepuluh nama anggota Dewan yang terindikasi melakukan transaksi mencurigakan. Umumnya anggota Badan Anggaran.
Menurut Yusuf, daftar itu sudah diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, bersama nama-nama yang diduga terlibat perkara Wisma Atlet SEA Games Palembang dan kasus lain. Totalnya ada 18 nama. Yusuf menolak memastikan apakah satu dari 18 pemilik rekening itu Mirwan Amir. "Tanyakan saja kepada KPK," katanya. Ia memastikan jumlah itu akan bertambah karena sekitar seribu transaksi lain masih terus disigi.
Transaksi yang membuat alarm Pusat Pelaporan berdering tak cuma transfer antar-rekening, setor, dan tarik tunai. Mereka yang bertransaksi lewat cek pelawat terpantau pula. Pusat Pelaporan, menurut sejumlah sumber, baru selesai menghitung pencairan Mandiri Traveler's Cheque oleh pejabat negara selama sepuluh tahun terakhir. Akumulasi nilai cek pelawat yang dicairkan sungguh mencengangkan: hampir Rp 20 triliun--artinya rata-rata Rp 2 triliun per tahun.
Cek pelawat lebih ringkas. Ketimbang membawa uang satu koper, lebih gampang menenteng satu amplop cek. Toh, atas alasan praktis pula masih banyak yang mengalirkan rasuah atau gratifikasi kepada anggota DPR lewat setor tunai dan transfer. Cara ini dilakukan salah satunya dengan memutar transfer lewat anggota staf atau anggota keluarga atau orang lain untuk menyamarkan transaksi.
Dalam banyak kasus, fulus itu pelicin dalam mengurus anggaran. Kewenangan super DPR dalam penentuan anggaran menyebabkan orang berbondong-bondong ke Senayan. Satu yang telah terungkap adalah kasus alokasi dana pengembangan infrastruktur daerah yang melibatkan anggota Badan Anggaran, Wa Ode Nurhayati.
Nurhayati mengaku memiliki rekening berisi Rp 10 juta dari total kekayaan Rp 5,5 miliar pada 2009. Isi rekeningnya membengkak jadi Rp 50,5 miliar pada September 2011. Sebanyak Rp 6,2 miliar disetor sekitar November 2010. Menurut jaksa di persidangan perkaranya, duit itu merupakan pelicin dari pengusaha agar sejumlah daerah yang "dipesan" menerima kucuran dana infrastruktur. Nurhayati mengatakan duit di rekeningnya hasil usaha dan pindah buku.
Sebagai anggota DPR, Nurhayati semestinya menerima gaji sekurang-kurangnya Rp 51,5 juta tiap bulan. Bila dia ketua komisi, gajinya mencapai Rp 54,9 juta. Dihitung-hitung selama dua tahun dia duduk jadi wakil rakyat, total gajinya jauh di bawah total isi rekeningnya. Di persidangan bahkan terungkap, ia mengeluarkan Rp 9 miliar untuk membeli telepon seluler dan pulsa dari satu penjual.
Anggota Badan Anggaran dari Golkar yang baru mundur, Zulkarnaen Djabar, juga terindikasi melakukan transaksi mencurigakan. Pada periode Januari 2008-Juni 2010, ada setoran tunai sekitar Rp 2 miliar ke rekeningnya. Tersangka kasus pengadaan Al-Quran ini kemudian mentransfer Rp 2 miliar ke rekening istrinya, Elzarita. Setelah ia memutasi rekeningnya pada 2010, ada setoran tunai Rp 3,5 miliar, yang dilanjutkan penarikan Rp 2 miliar.
Zulkarnaen memiliki Rp 1,2 miliar di rekeningnya pada 2009--total harta yang dilaporkan ke KPK Rp 3 miliar. Anggota Komisi Agama ini "memiliki" PT Perkasa Jaya Abadi Nusantara, yang disebut terkait dengan proyek Al-Quran. Putra Zulkarnaen, Dendy Prasetya, yang juga tersangka kasus Al-Quran, merupakan direktur utamanya. Istri Zulkarnaen tercatat sebagai pendiri.
Menurut pengacara Zulkarnaen, Yusril Ihza Mahendra, transaksi di rekening kliennya bersumber dari pendapatan sebagai Direktur President Taxi, perusahaan taksi, selain dari bisnis istrinya. "Ada pembukuannya sehingga bisa dibuktikan," kata Yusril kepada Anggrita Desyani dari Tempo. Menurut Yusril, transaksi tersebut tak relevan dikaitkan dengan kasus pengadaan Al-Quran yang menyeret Zulkarnaen.
Nama lain yang terekam adalah Muhammad Azhari, juga dari Demokrat, yang memiliki kekayaan Rp 729 juta per Desember 2009. Lalu lintas uang di rekening Azhari jauh di atas itu. Selama 2010-2011, ada setoran Rp 7,5 miliar plus US$ 150 ribu dan penarikan Rp 8,5 miliar di rekening BCA. Anggota Komisi Perdagangan DPR itu membuka deposito di BRI sekitar Rp 2,5 miliar. Ia juga membeli polis asuransi senilai Rp 400 juta dari PT AIA Financial untuk keluarganya.
Azhari tak membantah data tersebut. Menurut politikus asal Aceh ini, transaksi itu terang asal-usulnya. "Itu dari dividen perusahaan tambang dan emas yang saya punya. Di underlying transaction juga kan sudah dijelaskan," katanya. Ia menyatakan punya saham di dua perusahaan tambang, yakni PT Anugerah Pertiwi Mandiri, yang menambang batu bara di Kalimantan Selatan, dan PT Pandawa Tri Jaya Manunggal, yang menggali emas di Bogor.
Banyak disebut di media, Azhari mengaku sudah mengklarifikasi isi rekeningnya kepada KPK. Menurut dia, komisi antikorupsi tidak lagi mempersoalkannya.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan, Epyardi Asda, termasuk anggota Badan Anggaran yang juga disebut memiliki rekening gendut. Duduk di Komisi Perhubungan DPR, Epyardi memiliki deposito di BNI sebesar Rp 53,5 miliar. Istrinya pernah menyetorkan Rp 10 miliar tunai di BNI Solok, Sumatera Barat. Anaknya, yang sekarang 20 tahun, membuka deposito di Bank Danamon Rp 1 miliar.
Epyardi mengatakan membuka deposito itu pada 2000, sebelum dia masuk Senayan. Jumlahnya pun lebih dari itu. "Tidak segitu, tapi lebih banyak," katanya kepada Angga Sukma Wijaya dari Tempo. Ia memiliki hak pengelolaan tiga dermaga di Tanjung Priok. Tercatat sebagai Komisaris PT Kaluku Maritima Utama, yang bergerak di bidang pengapalan, Epyardi mengatakan duitnya berasal dari bisnis tersebut.
Setoran Rp 10 miliar yang dilakukan istrinya disebut berasal dari perusahaan. Adapun deposito anaknya di Danamon sudah ditarik. "Saya memang akan memberikan deposito kepada enam anak saya, masing-masing Rp 10 miliar," katanya. Ketika melaporkan hartanya ke KPK pada 2007, Epyardi mengaku memiliki Rp 48,2 miliar di rekeningnya. Total hartanya saat itu Rp 54,2 miliar.
Transaksi yang total nilainya membelalakkan mata dilakukan Sonny Waplau, politikus Demokrat asal Maluku. Dari Januari 2005 hingga Maret 2009 di rekeningnya tercatat sekitar 2.000 transaksi keluar-masuk yang totalnya mencapai Rp 1 triliun. Pada 2007-2008, Sonny anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera. Setahun kemudian, ia kembali ke DPR dari Demokrat. Dana yang hilir-mudik di rekeningnya sejak 2009 hingga 2011 sekitar Rp 42 miliar.
Menurut Sonny, isi rekeningnya berkaitan dengan usaha keluarganya, antara lain bank perkreditan rakyat dan kontraktor konstruksi. Rekeningnya menjadi pusat lalu lintas uang keluar-masuk perusahaan. Pembayaran utang dari perusahaan luar, kata Sonny, mampir dulu ke rekeningnya. "Karena menjadi rekening transit, nilai transaksinya besar." Ada pula pendapatan dari penjualan aset dan dividen.
Transaksi yang mengundang curiga juga dilakukan mereka yang di luar Badan Anggaran. Salah satunya Max Sopacua, anggota Komisi Pertahanan dari Demokrat. Berharta Rp 625,4 juta pada 2004, Max menerima setoran tunai Rp 1 miliar pada Oktober 2009. Dana kemudian dipindahkan secara bertahap ke rekening anaknya. Max menyangkal data itu. "Sudah saya katakan berkali-kali transaksi itu tidak ada," katanya.
Tak memerinci nama-namanya, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan telah menerima laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, komisi antisuap segera menelisik asal-usul isi rekening kedelapan belas anggota Dewan tadi. "KPK akan menginvestigasi," ujarnya.
Anton Septian, Febriana Firdaus, Febriyan, Kartika Candra (Jakarta), Harry Daya dan Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo