Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mobil Listrik untuk Siapa?

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaya Wahono*

Pencanangan program mobil listrik nasional oleh pemerintah membuat banyak orang bertanya-tanya mengenai kesiapan infrastruktur pengisian listrik. Ada pula keraguan tentang jaminan pascajual mobil listrik tersebut di kemudian hari. Mungkin kita perlu mempertanyakan pula tujuan pengembangan mobil listrik nasional. Terutama karena sudah menjadi program nasional dan melibatkan berbagai institusi badan usaha milik negara, perguruan tinggi, dan departemen teknis terkait.

Dana publik yang akan dikerahkan untuk mengembangkan mobil listrik yang layak jual beserta industri pendukungnya, seperti pabrik baterai dan infrastruktur yang bakal dibangun, tentu tidak kecil. Argumen yang diutarakan pihak yang mengusulkan program ini adalah mobil listrik akan menggantikan fungsi mobil berbahan bakar minyak, yang akhirnya akan membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Benarkah?

Bila harga BBM naik hingga tingkat yang memberatkan mayoritas rakyat, apakah mereka akan berhenti berkendara atau bepergian? Menurut hemat penulis, argumen tersebut agak lemah dilihat dari tiga sisi. Pertama, di beberapa negara lain, kenyataannya masyarakat dapat beradaptasi dengan baik ketika harga BBM naik. Salah satu contoh adalah dengan memberlakukan car pooling dan lebih sering menggunakan transportasi publik.

Kedua, pengembangan mobil listrik di berbagai negara yang sudah tinggi tingkat kesadarannya terhadap konservasi energi dan dampak kepada lingkungan hidup lebih diarahkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar minyak. Dengan pemikiran itu, maka yang dikembangkan adalah kendaraan hybrid atau plug-in hybrid, bukan mobil listrik yang secara total akan menggantikan kendaraan berbahan bakar minyak.

Di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Norwegia, pengembangan city car berbasis baterai berujung pada kebangkrutan industri mobil dan pendukungnya sekitar sebulan lalu. Penyebabnya: belum tersedianya baterai yang mampu membuat city car menjadi pengganti kendaraan sehari-hari.

Tak mengherankan bila antusiasme konsumen di Amerika untuk membeli mobil listrik sangat rendah meskipun diberi diskon pembelian lebih dari 80 persen melalui fasilitas pajak dan kredit. Amerika sudah menghabiskan dana publik lebih dari US$ 70 juta untuk pengembangan baterai. Namun belum mampu mencapai harga ekonomis yang ditargetkan, yaitu sekitar US$ 120 per kWatt kapasitas baterai. Saat ini biaya pembuatan baterai itu masih US$ 500-600 per kWatt.

Ketiga, pengguna kendaraan berbahan bakar minyak di Indonesia bukan mayoritas dari total pengguna BBM. Populasi kendaraan per kapita di Indonesia bahkan masih kecil. Indonesia menempati urutan ke-103 dari 144 negara yang disurvei, sedikit di atas Samoa dan masih berada di bawah Bahama (sumber Wikipedia).

Penulis tidak mempertanyakan kegunaan mobil listrik dalam menyediakan alternatif pada sektor transportasi di Indonesia. Namun perlu dikaji lebih mendalam apakah program mobil listrik akan memberi manfaat yang berskala nasional pula.

Bandingkan pula penggunaan dana publik untuk program nasional lain yang lebih mendesak. Misalnya penyediaan energi yang lebih terjangkau dan lebih aman pengadaannya di pelosok Indonesia. Kenyataannya, penggunaan BBM di Indonesia tidak melulu untuk transportasi, tapi lebih besar fungsinya buat penyediaan listrik cadangan dan listrik di pedesaan atau daerah pelosok.

Pengguna listrik untuk keperluan sehari-hari itu tidak punya alternatif lain. Bila BBM tidak tersedia, bukan mustahil semua aktivitas ekonomi di daerah tersebut akan terhenti, baik untuk berkomunikasi, mendapat penerangan, maupun mendapat informasi terbaru melalui radio dan televisi. Apakah pemerintah sudah menyiapkan program nasional untuk menangani persoalan tersebut?

Mencanangkan program nasional dengan memobilisasi berbagai komponen masyarakat akan berdampak baik bila program itu memberi manfaat berskala nasional. Jika tidak, program nasional itu akan dilihat sebagai suatu bentuk subsidi/kemudahan dalam bentuk lain kepada segelintir anggota masyarakat saja.

Konsultan Energi Terbarukan dari Clean Power Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus