Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serangan Laknat Lebaran Ketupat

Massa menyerbu permukiman masyarakat Syiah di Sampang, Madura. Ada provokasi bertubi-tubi sebelum penyerangan.

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih terlalu pagi buat sarapan pada Ahad dua pekan lalu. Ketupat dan opor ayam masakan ibunda masih tertata di meja dapur. Tiba-tiba Zain, 23 tahun, mendengar suara gaduh dari luar rumahnya di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Jawa Timur. Pagi segar di kampung perbukitan itu dirusak orang-orang yang beringas.

Dari ketinggian lokasi rumahnya, Zain menyaksikan kerumunan orang membawa celurit, parang, dan pentungan. Sebagian menggenggam batu. Mereka menerabas pematang sawah yang kering diisap kemarau. Makian terdengar: serang, bakar, bunuh. "Ribuan orang yang bergerak," katanya kepada Tempo di tempat pengungsian, Gedung Olahraga Sampang, Rabu pekan lalu.

Jarak antara gugusan rumah dan rumah lain di Nangkernang berjauhan—100-200 meter atau bahkan lebih. Setiap gugus terdiri atas dua-lima rumah. Dari jauh terlihat massa menuju rumah Tajul Muluk alias Ali Murtadha, pemilik Pesantren Misbahul Huda, yang dianggap mengajarkan Syiah. Rumah Zain sekitar seratus meter dari rumah Tajul, 39 tahun.

Tempat tinggal Tajul tak patut disebut rumah, hanya bilik berdinding tembok ukuran 4 x 5 meter persegi. Itulah sisa bangunan rumah yang hancur diamuk sekelompok orang pada Desember tahun lalu. Arang dan puing pembakaran pesantren dan masjid bahkan belum hilang. Alih-alih dilindungi, Tajul dituduh menodai agama. Pada Juli lalu, Pengadilan Negeri Sampang menghukumnya dua tahun penjara.

Zain melihat massa terus merangsek. Bersama ayahnya, Tohir, ia menuju bangunan bekas pondok dan masjid. Sepuluh adiknya juga berlarian ke luar rumah. Di antaranya Siti Romlah, yang melintasi ladang tanaman tembakau, menuju hutan bambu. Rimah, ibu Zain, pagi itu sedang menghadiri pernikahan anak kerabatnya di Surabaya. "Mereka berteriak anak Syiah mau disate," kata Siti Romlah, bergidik ngeri ketika bertutur.

Di bekas pesantren, sejumlah pria penganut Syiah telah berkumpul. Jumlahnya 20-an orang. Tak lama, massa mendekati mereka, yang bersembunyi di dalam bilik. Penyerang mengetahui tempat persembunyian itu dan segera menghujani mereka dengan batu. Teriakan amarah terus dipekikkan. Penganut Syiah berlarian.

Seorang polisi yang tiba hendak menghalau serangan dikalungi celurit. Kepala Kepolisian Sektor Sampang Ajun Komisaris Besar Solehan, yang tiba kemudian, terluka di kepala akibat kejatuhan pecahan genteng yang dilempar penyerang. Solehan menyatakan polisi tak telat datang, tapi kalah jumlah dibandingkan dengan penyerang. Hanya sekitar 40 polisi yang dikerahkan pagi itu.

Nahas buat Mochammad Kosim atau Abu Hamamah. Beberapa batu menimpa kepala. Kosim ambruk terkulai. Ia terpisah dari kelompoknya. Penyerang pun mendekat. Seseorang mengayunkan celurit ke punggung dan perutnya. Tak berselang lama, Tohir bernasib sama. Punggungnya bersimbah darah.

Zain menyelamatkan bapaknya. Ia membaringkan sang bapak di dekat pematang dan menutupinya dengan dedaunan. Tohir sempat dikira tewas, sehingga tersiar kabar korban tewas akibat penyerangan dua orang. Nyatanya ia kritis, dan hingga akhir pekan lalu dirawat di Rumah Sakit Sampang. Tiga orang lain yang juga dirawat di rumah sakit itu kini bersama keluarga masing-masing tinggal di pengungsian di Gelanggang Olahraga Sampang. Ada 217 warga Syiah tinggal di situ.

Sebelum serangan, ibunda Tajul, Ummi Ummah, dan sejumlah orang tua hendak mengantar anak mereka kembali ke Bangil, Pasuruan, Malang, dan Pekalongan setelah libur Lebaran. Mereka harus kembali bersekolah pada Senin pekan lalu. Dua bus mini carteran disiapkan di dekat kebun tebu jalan poros yang menghubungkan Kecamatan Karangpenang-Omben, Sampang. Dari permukiman menuju tempat parkir bus, mereka berboncengan sepeda motor. Hanya sepeda motor dan kendaraan dobel-kabin bisa masuk ke kawasan itu. Selain sempit, jalannya terjal.

Keberangkatan bocah-bocah Syiah untuk belajar di Jawa tak disukai masyarakat lain, yang khawatir mereka kelak akan balik ke Sampang, menikah, beranak-pinak, dan jumlahnya terus bertambah. Gaffar, penganut Sunni, menyatakan tidak ingin anak-anak Syiah bersekolah di luar Madura. "Kami tidak mau mereka kembali ke Madura jadi penerus Syiah," ujarnya.

Mat Hori, yang hendak mengantar anaknya bersekolah ke Jawa, mengatakan tiba-tiba beberapa orang yang tidak ia kenal menghadang. Dua sopir diancam, bus mereka hendak dibakar. Mereka segera memacu bus ke arah Omben. Pecah cekcok antara warga Syiah dan Sunni. Tak lama berselang, telepon seluler Mat Hori berdering. "Rumahmu dibakar," kata orang di ujung telepon.

Kalangan Syiah yakin serangan itu direncanakan. Abdul Wafi menyatakan mendapat ancaman sejak sebelum Ramadan. "Mereka bilang saya disuruh menggemukkan badan. Nanti tellasan topa', Lebaran Ketupat, mau dibakar," ujarnya. Ketika menyiram tembakau di ladang, ia juga diwanti-wanti kerabatnya agar berhati-hati dan segera menyelamatkan anak-istrinya. Saudaranya, penganut Sunni, menyatakan ada peta rumah yang akan dibakar.

Iklil Almilal, kakak Tajul Muluk, menyatakan pencegatan murid Syiah hanya alasan agar jadi pemicu. Menurut dia, serangan yang datang dari segara penjuru dengan ribuan orang menunjukkan sudah direncanakan. Rumah yang akan dibakar sudah dipetakan. Sebab, kata dia, ada rumah jamaah Syiah tak dibakar karena mereka memiliki anggota keluarga penganut Sunni. "Tak semua Sunni jahat. Banyak yang baik," katanya.

Pernyataan Kepolisian Daerah Jawa Timur menguatkan dugaan serangan ini direncanakan. Juru bicara Polda Jawa Timur, Hartoyo, mengatakan, dari penyelidikan lokasi kejadian, pembakaran rumah warga Syiah terjadi pada 20 titik. Polisi tak memerinci jumlah rumah. Dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Surabaya, ada 37 rumah yang dibakar, tersebar di Dusun Nangkernang dan Gading Laok. Hartoyo mengatakan, jika serangan itu spontan, yang terbakar paling-paling satu lokasi. "Ini menyebar. Rumah yang dibakar kelihatannya sudah digambar," ujarnya. Tak hanya membakar rumah, penyerang membakar ternak, tembakau di gudang, bambu, dan hutan akasia milik orang Syiah.

Provokasi tak hanya datang dari orang biasa, tapi juga dari pejabat. Ini terjadi pada peringatan Maulid Nabi Muhammad, Februari lalu. Roies Alhukama, adik kandung sekaligus seteru utama Tajul Muluk, mengundang Bupati Sampang Noer Tjahja hadir dalam peringatan di Sekolah Dasar Karang Gayam IV. Sekolah ini tempat sebagian anak Syiah Nangkernang menempuh pendidikan. Saat itu, Noer Tjahja menyerahkan bantuan paket bahan kebutuhan pokok buat orang tua murid. Sambutan Noer Tjahja dalam acara itu sangat panas. "Bupati bilang, ‘Syiah sesat. Kalau Tajul pulang, usir. Jika perlu, bakar rumahnya'," kata Abdul Wafi, yang hadir pada acara itu.

Mat Siri, warga Syiah lainnya, menyatakan pidato Bupati mendapat tepukan dari warga Sunni sambil berteriak, "Bakar, bakar…." Noer Tjahja, ketika dijumpai Tempo untuk dimintai konfirmasi di Pendapa Kabupaten Sampang, Kamis pekan lalu, berujar pendek, "Jangan melihat masa lalu. Bangsa ini enggak maju-maju kalau terus melihat masa lalu. Tutup buku yang lama, buka lembaran baru."

Juru bicara Polda Jawa Timur, Hartoyo, mengatakan Roies menjadi tersangka utama kasus ini. Dia dijerat pasal berlapis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan, penganiayaan, pengeroyokan, dan perusakan, plus membantu melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Roies mendekam di ruang tahanan Kepolisian Daerah Jawa Timur di Surabaya.

Pengacara Arman Saputra dari Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama membantah Roies otak serangan. Buktinya, kata dia, Kosim tewas karena memeluk bom kelompoknya sendiri. Memang ada barang bukti bom ikan berisi kelereng di lokasi kejadian. Kelompok Sunni menuding bom itu disiapkan warga Syiah. Polisi belum memastikan asal-usul bom.

Sunudyantoro, Musthofa Bisri (Sampang), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)


Soal Halimah di Tengah Pusaran

SYIAH mulai mekar di Sampang sejak delapan tahun lalu. Ini setelah Tajul Muluk pulang dari tempatnya berguru dan bekerja di Arab Saudi. Ia mendirikan Pesantren Misbahul Huda di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang. Santrinya terus bertambah. Roies Alhukama, adik kandung Tajul, ikut mengembangkan Syiah di Sampang.

Kakak-adik ini anak Kiai Haji Makmun, tokoh berpengaruh di Omben. Tajul dan Roies adalah santri Pondok Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang beraliran Syiah, pada 1983. Kiai Makmun punya delapan anak. Iklil Almilal anak nomor satu, Tajul Muluk yang kedua, lalu Roies berikutnya. Menurut Iklil, ayahnya punya sahabat di Iran yang rajin mengirimkan koran terbitan negara itu. "Ayah saya mengagumi pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Khomeini," katanya.

Pada 1991, kakak-adik ini kembali ke Sampang. Delapan tahun kemudian, Tajul menuju Arab Saudi. Roies menetap di Sampang. Ketegangan Sunni-Syiah mulai tumbuh ketika santri Tajul makin banyak. Ulama Sampang, yang mayoritas penganut Sunni, cemas. Kiai Haji Abuya Ali Karrar Sinhadji, pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Proppo, Pamekasan, yang paling keras menentang. Ia saudara sepupu Kiai Makmun.

Tajul, yang telah kembali ke Tanah Air, diundang ke acara Maulud pada 2005 di rumah Haji Sabi'i di Omben. Acara itu berubah menjadi pengadilan buat dia. "Tajul diminta tidak menyebarkan Syiah," ujar sumber Tempo. "Tajul bilang ke Kiai Karrar, 'Sikap sampean bukan kiai, tapi preman.'"

Tajul dicap melecehkan kiai. Teror terhadap dia pun tambah kuat. Pada Februari 2006, ribuan orang mengepung Nangkernang. Roisul, adik Tajul, menjadi garda depan warga Syiah melawan kepungan masyarakat Sunni. Bentrokan ketika itu bisa dicegah aparat keamanan.

Tempo mendatangi pondok dan kediaman Karrar di Dusun Banyubuluh, Desa Lenteng, Kecamatan Proppo, Pamekasan, Kamis pekan lalu. Dua santri menyatakan kiai tidak berada di rumah. "Abuya ke Surabaya," kata seorang di antaranya. Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Sampang Kiai Haji Bukhori Maksum menyatakan kehadiran Tajul memang membuat masyarakat Sampang resah. "Pokoknya di Sampang tidak boleh ada ajaran Tajul," ujarnya.

Bumbu cinta juga mewarnai konflik. Pada 2009, Abdul Latif, santri di Pesantren Misbahul, meminta Tajul meminangkan seorang gadis bernama Halimah, santrinya yang belum lulus sekolah dasar. Saat itu, Roies juga meminta Halimah bekerja di rumahnya. Tajul memenuhi permintaan, meminang Halimah buat Latif. Tapi, tak disangka, adiknya melabrak dan menyebut Tajul "merebut istri orang".

Ternyata, belakangan diketahui, Roies juga hendak memperistri Halimah. Gagal meminang Halimah, Roies menyatakan keluar dari Syiah. Kepada Tempo di pengungsian di Gelanggang Olahraga Sampang, Selasa pekan lalu, Halimah menolak dianggap sebagai penyulut konflik Sunni-Syiah. "Jangan kambinghitamkan keluarga saya," katanya.

Roies juga membantah jika kebenciannya kepada Tajul disebut karena urusan Halimah. Kepada Tempo, Januari lalu, tak lama setelah rumah, masjid, dan pondok Tajul dibakar, Roies menyatakan ia tak suka Tajul karena sepak terjangnya melawan budaya masyarakat Sunni di Sampang.

Sunudyantoro, Musthofa Bisri (Sampang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus