Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang tamu rumah Aburizal Bakrie di Jalan Ki Mangunsarkoro, Jakarta Pusat, televisi 55 inci menyemburkan gambar hiruk-pikuk persiapan deklarasi calon presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa di Rumah Polonia, Jakarta Timur. Tetamu yang hadir di rumah Ketua Umum Partai Golkar ini tak mengacuhkan siaran langsung TV One pada Senin siang pekan lalu itu.
Tuan rumah sibuk memastikan meja dan kursi telah disiapkan para pembantu untuk menyambut tamu yang mungkin hadir terlambat. Ketua pemenangan Partai Golkar untuk wilayah Jawa 1, Ade Komarudin, duduk bertopang dagu. Sekretaris badan pemenangan Rully Chairul Azwar sibuk memencet tombol telepon seluler. Wajah para tamu tampak murung.
Tiba-tiba Aburizal bertepuk tangan. Di layar itu, Prabowo berpidato bahwa ia tak mengizinkan Aburizal hadir di Rumah Polonia dan cukup diwakilkan Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham. Sebaliknya, calon presiden dari Partai Gerakan Indonesia Raya ini akan mendatanginya seusai deklarasi. "Lihat, mereka yang akan datang ke sini," kata Ade Komarudin. Aburizal tersenyum.
Prabowo menunaikan janjinya. Ia datang menjelang sore. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat itu diiringi Hatta Rajasa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Wakil Ketua Gerindra Fadli Zon, dan Ketua PAN Zulkifli Hasan mengikuti dari belakang. Suasana rumah Aburizal sore itu menjadi riuh.
Setelah bersalaman, Aburizal mengajak tetamunya masuk ke ruang tengah. Ia berseloroh tentang siapa yang harus memimpin pertemuan politik itu. "Siapa yang duduk di sana?" ujarnya menunjuk kursi di ujung meja. "Anda, dong, sebagai tuan rumah," kata Prabowo, lalu duduk di kursi sebelah Aburizal. Dua tokoh Golkar yang bersaing dalam konvensi partai untuk menjadi calon presiden pada 2004 itu tampak akrab bercengkerama.
Hanya perlu setengah jam mereka berbicara sebelum keduanya meneken surat dukungan yang menyatakan Golkar menjadi bagian koalisi penyokong Prabowo dalam pemilihan 9 Juli nanti. Surat itu meresmikan pidato dukungan Idrus Marham pada deklarasi Prabowo. Kertas sokongan itu juga mengakhiri gerilya Aburizal menjajakan 14,7 persen suara Golkar yang diperoleh dalam pemilihan legislatif 9 April lalu.
Dua hari sebelumnya, Aburizal gagal meyakinkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi anggota koalisi penyokong Joko Widodo. Ia ditolak karena PDIP sudah punya calon wakil presiden dan menolak membicarakan bagi-bagi kursi sebelum pemilihan. Gagal dengan PDIP, Aburizal merapat ke Partai Demokrat dengan menemui Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono.
Aburizal yang masih berharap menjadi calon presiden itu menawarkan "poros baru" kepada Yudhoyono dengan menggandeng Pramono Edhie Wibowo sebagai calon wakilnya. Pramono, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat, adik ipar Yudhoyono, baru saja mengikuti konvensi calon presiden Demokrat. Tawaran itu tak digubris. Dengan 10,2 persen suara Demokrat, Yudhoyono memilih netral dalam pemilihan presiden.
Kegagalan berkoalisi dengan banyak kubu hingga akhir pendaftaran calon presiden itulah yang membuat kemurungan menggantung di Mangunsarkoro. Baru beberapa jam sebelum deklarasi Prabowo itulah Golkar menyatakan bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera, PPP, PAN, dan Partai Bulan Bintang, yang sudah lebih dulu menyorongkan pasangan Prabowo-Hatta. Sampai deklarasi, surat resmi bahkan belum diteken.
Gabungan partai tersebut menghasilkan 292 kursi parlemen, jauh melampaui syarat minimal 112 kursi, dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dalam pemilu tahun ini. Sedangkan rivalnya, Joko Widodo, yang mendapat sokongan Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura, hanya mendapat 207 kursi.
Bergabungnya Golkar ke Gerindra merupakan koalisi yang tumbuh kembali. Pada 7 Mei lalu, Prabowo dan Aburizal gagal bersepakat membentuk koalisi karena Aburizal menolak syarat yang diajukan Prabowo. Prabowo kemudian memilih Hatta Rajasa. "Kini mereka berkoalisi lagi untuk kesepakatan yang berbeda," ujar seorang petinggi Golkar.
Menurut Rully Chairul Azwar, pembicaraan setelah deklarasi Prabowo itu bukan lagi soal kursi wakil presiden karena peluang Aburizal tertutup oleh pilihan Prabowo pada Hatta. Seorang petinggi Golkar menuturkan, barter dukungan adalah delapan kursi menteri jika kelak Prabowo-Hatta melenggang ke Istana Negara. "Memang ada pembahasan soal kabinet, tapi bukan kami yang meminta," kata Rully.
Prabowo menyorongkan tawaran itu untuk mendapat dukungan Golkar, yang kelimpungan tak mendapat gerbong koalisi, plus kursi "menteri utama" untuk Aburizal. Menurut Prabowo, posisi yang belum diatur dalam kedudukan menteri dan pejabat negara itu sangat penting karena berwenang menentukan program percepatan pembangunan infrastruktur dalam pemerintahan yang dipimpinnya. "Alhamdulillah, beliau bersedia," ujar Prabowo.
Pembagian kekuasaan ini dibahas di awal. Untuk PPP dan PKS, disediakan lima kursi menteri, lengkap dengan nama-nama tokoh di kedua partai. Dari PPP, ada nama Suryadharma Ali, Wakil Ketua Umum Djan Faridz, dan Sekretaris Jenderal Romahurmuziy sebagai calon terkuat menjadi menteri.
Seorang petinggi PPP menuturkan, permintaan lima kursi itu merupakan call tinggi mengingat partai Ka'bah ini hanya mendapat 6,5 persen suara pada pemilu legislatif. Dengan suara sekecil itu, jatah mereka paling banter dua kursi menteri. "Tapi setahu saya tak bagi-bagi posisi itu," kata Suharso Monoarfa, Wakil Ketua Umum PPP, yang awalnya ingin partainya bergabung dengan koalisi Joko Widodo.
Adapun PKS, yang sejak awal mendukung Prabowo, terang-terangan meminta jabatan menteri jika Prabowo ingin mendapat dukungan partai itu. Anggota Dewan Syura PKS, Refrizal, mengatakan pembicaraan soal kabinet bagian dari pembicaraan koalisi PKS-Gerindra. "Tapi tak mendetail partai apa mendapat berapa," ujarnya kepada Muhammad Muhyiddin dari Tempo.
Jika melihat perolehan suara partai-partai penyokong Prabowo, hitung-hitungan lima kursi itu masuk akal, dengan asumsi jumlah kementerian tak berubah. Ada 39 kementerian dan lembaga setingkat dalam struktur pemerintahan Yudhoyono sekarang. Dengan proporsi kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, orang-orang pilihan Gerindra, Golkar, dan PAN akan mengisi jabatan menteri paling banyak.
Menurut Ketua PAN Didik Rachbini, politikus partainya akan mengisi pos menteri yang mengurusi ekonomi, sebagai turunan kesepakatan Prabowo sewaktu meminang Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden. Sedangkan Gerindra akan mengambil kursi menteri urusan keamanan dan hubungan luar negeri. "Soal jumlahnya, siapa mendapat berapa, kami tak membicarakan," kata Didik, dosen ekonomi Universitas Indonesia, yang mengonsep koalisi Gerindra-PAN sejak awal.
Kesepakatan antara PAN dan Gerindra itu sudah diteken dalam kontrak politik. Namun, menurut Didik, konsep itu buyar begitu Golkar masuk menjadi anggota koalisi. Apalagi beberapa tokoh juga bergabung, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.-yang awalnya digadang-gadang menjadi pendamping Jokowi-sebagai ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta. "Kami harus membicarakan ulang untuk menyesuaikannya dengan partai lain," ujar Didik.
Masuknya Golkar menjelang waktu penutupan koalisi dengan tawaran menteri utama untuk Aburizal, yang akan mengurus sektor ekonomi, membuat peluang PAN menggarap sektor ini bakal tergerus. Padahal, di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, Gerindra juga berminat sangat besar karena janji Prabowo mereformasi agraria dan kemandirian pangan.
Walhasil, hingga pekan lalu, Gerindra dan PAN belum sepakat soal siapa mendapat sektor apa. "Ini bentrok karena platform PAN dan Gerindra sama," kata Didik. Sektor yang sudah disetujui diurus PAN adalah minyak dan gas, terutama renegosiasi kontrak pertambangan. Prabowo, yang awalnya berniat menasionalisasi, setuju dengan Hatta, yang memilih menegosiasikan ulang porsi-porsi keuntungan usaha pertambangan.
Jika cara yang dipilih Prabowo dituruti, Hatta-Menteri Koordinator Perekonomian di kabinet Presiden Yudhoyono-khawatir Indonesia akan sibuk melayani gugatan para kontraktor, yang rata-rata punya lisensi menambang selama 30 tahun, di Badan Arbitrase Internasional. "Hatta ingin kita menjadi pemilik mayoritas," ujar Didik.
Kartika Candra, Wayan Agus Purnomo, Agustina Widiarsi, Rusman Paraqbueq, Tri Suharman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo