Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUMUMAN seleksi calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia itu ternyata hanya berumur empat hari. Dikemas mirip berita dengan judul Kapolri Idol, woro-woro itu diunggah ke situs resmi Komisi Kepolisian Nasional pada Senin pekan lalu. Kamis pekan lalu, pengelola situs mengecilkannya ke pojok kiri, di antara tautan berita lawas.
Petinggi Komisi Kepolisian Nasional bercerita, pengumuman itu awalnya untuk menjaring masukan tentang riwayat calon-calon Kepala Kepolisian. Tapi rupanya itu tak diperlukan. Para anggota Komisi menentukan calon pemimpin Kepolisian hanya melalui rapat di kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, yang juga Ketua Komisi Kepolisian. "Kami membahas opsi dan rekomendasi soal pengusulan calon Kapolri," katanya.
Hasilnya, sore itu juga Menteri Tedjo meneken surat untuk Presiden Joko Widodo. Komisi Kepolisian mengajukan dua pilihan. Pertama, jika pengganti Jenderal Sutarman ditetapkan pada bulan ini, ada sembilan perwira bintang tiga yang diajukan. Pilihan lain, jika penggantian Kapolri dilaksanakan ketika Sutarman pensiun pada Oktober 2015, ada empat kandidat yang diusung: Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, Komisaris Jenderal Suhardi Alius, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, dan Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno.
Jokowi memilih tawaran pertama. Jumat pagi, sebelum menggelar rapat terbatas persiapan peringatan Konferensi Asia-Afrika, ia memanggil Menteri Sekretaris Negara Pratikno. "Presiden minta disiapkan surat pengusulan Kapolri ke DPR," ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Surat dikonsep dan diajukan Menteri Pratikno sesudah salat Jumat. Setelah dikoreksi sebentar, surat bernomor R-01/Pres/01/2015 itu diteken Presiden, lalu dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di surat itu, Presiden Jokowi mengajukan Budi Gunawan sebagai pengganti Jenderal Sutarman, yang menduduki jabatan itu satu tahun tiga bulan.
PENCALONAN Budi Gunawan dilakukan di luar prosedur "normal". Hingga Jumat pekan lalu, Sutarman belum menggelar rapat Dewan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan yang biasa dilakukan untuk menentukan calon-calon Kepala Polri. Menurut juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, rapat semestinya dilakukan setelah ada permintaan Presiden dan dipimpin Wakil Kepala Polri.
Dewan Pertimbangan Jabatan biasanya memilih tidak lebih dari delapan nama, yang kemudian diserahkan kepada Kepala Polri. Oleh Kepala Polri, nama-nama itu disaring menjadi tiga nama untuk diserahkan ke Presiden. Nama-nama yang sama diserahkan ke Komisi Kepolisian. Karena itu, Ronny menganggap pencalonan tanpa prosedur itu aneh. "Tapi bisa saja Presiden yang meminta, karena itu hak prerogatif Presiden," katanya.
Komisi Kepolisian justru mengirim surat kepada perwira tinggi yang dianggap patut menjadi calon. Menurut anggota Komisi, Edi Saputra Hasibuan, para calon diminta mengirimkan daftar riwayat hidup. Empat dari lima perwira tinggi yang namanya disebutkan dalam situs resmi Komisi Kepolisian telah memenuhi permintaan itu. Hanya Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Suhardi Alius yang belum melakukannya.
Cara Komisi Kepolisian berhubungan langsung dengan para perwira tinggi itu, menurut sejumlah narasumber, membuat Sutarman tersinggung. Semestinya, kata seorang perwira tinggi, Komisi Kepolisian meminta resmi ke Kepala Polri, yang lazimnya akan memerintahkan Divisi Sumber Daya Manusia menyerahkan daftar riwayat lengkap setiap kandidat.
Sutarman pun memerintahkan anggota stafnya menelepon petinggi Komisi Kepolisian. Dia minta dikirimi surat tembusan. Ditemui Jumat pekan lalu, Sutarman tidak bersedia menjelaskan proses penjaringan calon Kepala Polri oleh Komisi Kepolisian. Berulang kali ditanya, ia hanya tersenyum sambil menyatakan urusan itu merupakan kewenangan Presiden.
PEMILIHAN Budi Gunawan sebagai calon sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh hari. Ajudan Megawati Soekarnoputri sewaktu menjadi wakil presiden (1999-2001) dan kemudian presiden (2001-2004) itu sangat dekat dengan lingkaran dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Politikus Pramono Anung, misalnya, menyebut jenderal itu sebagai "sahabat saya".
Budi juga dikenal jago melobi. Menurut perwira kawan seangkatannya di Akademi Kepolisian, ia kerap ditugasi melancarkan urusan yang berkaitan dengan kepentingan Kepolisian pada pembuatan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat. Satu di antaranya pada saat penyusunan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang antara lain berencana memindahkan kewenangan penerbitan surat tanda nomor kendaraan ke Kementerian Perhubungan.
Jika pemindahan kewenangan itu terlaksana, penghasilan nonpajak yang nilainya triliunan per tahun akan lepas dari Kepolisian. Budi dan timnya melancarkan lobi ke Dewan, yang akhirnya tetap menempatkan kewenangan itu di bawah Markas Besar Kepolisian. Jaringannya di Kepolisian pun bertambah luas.
Karier Budi Gunawan tersendat dalam sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia ditempatkan sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jambi, yang merupakan Tipe B, sebelum memimpin Polda Bali pada 2012. Pada 2013, Budi telah ditetapkan mengisi jabatan Kepala Badan Narkotika Nasional, yang merupakan jabatan bintang tiga. Sehari sebelum pelantikan, ia dipanggil ke Istana Negara. "Tapi Presiden justru menunjuk Komisaris Jenderal Anang Iskandar," ujar perwira bintang dua seangkatan Budi.
Satu hal yang dianggap menghambat karier Budi adalah kedekatannya dengan Megawati, yang memiliki hubungan buruk dengan Yudhoyono. Tapi ada persoalan yang lebih besar tentang Budi, yakni catatan merah dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Catatan itu menunjukkan transaksi janggal di rekening Budi dan anaknya.
Budi menyangkal tudingan bahwa lalu lintas keuangan di rekeningnya bermasalah. Ia mengklaim hartanya sudah disisir Badan Reserse Kriminal Polri dan hasilnya dilaporkan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. "Masalah itu sudah selesai tahun 2010," katanya.
Jalan karier Budi terbuka lebar setelah Jokowi terpilih menjadi presiden.
BUDI Gunawan mulai merapat ke Jusuf Kalla dan Jokowi pada 2012-2014. Bersama Inspektur Jenderal Syafruddin, ajudan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden 2004-2009, Budi berperan besar dalam penentuan duet Jokowi-Kalla. Baik Budi maupun Syafruddin, kini Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, rajin bertandang ke rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, dan rumah Kalla di Jalan Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
Kepada Tempo, Kalla membenarkan kabar tentang kedekatannya dengan kedua orang itu. Namun ia menampik anggapan bahwa dua jenderal polisi aktif itu berperan dalam duet politik mereka. Budi dan Syafruddin menyatakan hal serupa. "Saya ini polisi aktif, mana mungkin terlibat politik praktis," kata Budi.
Seusai makan siang di sebuah restoran seafood di Kepala Gading, Jakarta Utara, Kamis pekan lalu, Tempo sempat menanyakan urusan pemilihan Kapolri langsung kepada Jokowi. Ada dua pertanyaan ketika itu, apakah dia sudah menentukan calon dan apakah pergantian Kapolri akan dipercepat. Dua kali pula Jokowi memberikan jawaban yang sama: "Belum, saya belum memikirkannya." Ternyata yang kemudian terjadi berbeda.
Gerilya itu menembus Jokowi, terutama karena Megawati juga menyorongkan namanya. Bulan lalu, ketika keduanya bertemu, Jokowi menanyakan calon Kepala Polri yang diinginkan Megawati. Jawabannya sudah jelas: Budi Gunawan. Jawaban serupa diulang ketika pada waktu lain Jokowi mengajukan pertanyaan yang sama.
Narasumber yang lain menuturkan, Jokowi lebih dulu menawarkan kepada Megawati untuk mencalonkan Budi Gunawan. Sebab, hubungan dekat keduanya telah terjalin sejak kampanye pemilihan presiden. Jokowi dan Budi sering bertemu dan berdiskusi tentang kepolisian. "Jadi penunjukan Budi Gunawan keinginan Jokowi sendiri," ujar mantan anggota tim sukses Jokowi-JK.
Jokowi juga meminta tanggapan Kalla, awal Desember tahun lalu, sebelum akhirnya menunjuk Budi. Kalla hanya menjawab singkat: menyerahkan sepenuhnya urusan Kapolri kepada Jokowi.
Karena sadar urusan rekening Budi bakal jadi masalah, Jokowi tidak melibatkan partai lain anggota koalisi. Ia hanya berbicara dengan Megawati. "Kami menghargai preferensi dan hak prerogatif Presiden," kata Rio Capella, Sekretaris Jenderal Partai NasDem, ketika ditanyai soal ini.
Politikus PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyangkal pernah bertemu dengan Budi dan membicarakan pencalonannya sebagai Kepala Polri. Menurut dia, keduanya hanya bertemu di acara keramaian. "Ibu Mega ikhlas siapa pun yang dipilih Jokowi menjadi Kepala Polri," ujarnya.
Budi sebenarnya masuk daftar calon menteri yang dikirimkan Jokowi ke Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Ia diplot menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ternyata dua lembaga itu memberi catatan merah untuk Budi. Walhasil, ia terpental dari pencalonan menteri.
SEBELUM Jokowi memutuskan, pesaing Budi Gunawan yang dianggap terkuat adalah Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, kini Inspektur Pengawasan Umum Polri. Pernah memimpin Polda Jawa Tengah, Dwi berhubungan dekat dan disokong Gubernur Ganjar Pranowo.
Ganjar mengakui dekat dengan Dwi, terutama saat jenderal itu menjadi kepala polda. Ganjar sering menjalin komunikasi dalam forum pimpinan daerah di Jawa Tengah. Dwi Priyatno menjabat Kapolda Jawa Tengah pada Juni 2013-Maret 2014.Ganjar menjabat Gubernur Jawa Tengah sejak Agustus 2013. Namun Ganjar membantah ikut campur soal calon Kepala Polri. "Saya gubernur, tak mungkin mengurusi yang lebih tinggi," katanya.
Dwi, menurut sejumlah sumber, merupakan calon yang sebetulnya hendak diajukan Sutarman. Ia juga ditopang jaringan alumnus Akademi Kepolisian 1981. Seorang perwira bintang tiga menuturkan, Dwi digadang-gadang jika Sutarman baru diganti pada Oktober mendatang. Skenario ini juga berhasil hanya jika Budi Gunawan terganjal perkara rekening gendut.
Menurut seorang perwira bintang satu, setiap calon membentuk tim sukses. Budi, menurut dia, menggalang dukungan di segala lini. Tak hanya menggarap perwira bintang satu dan dua satu angkatan, ia juga mendekati dua angkatan di bawah dan angkatan di atasnya. Lobi juga dilancarkan ke Komisi Kepolisian, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat yang kelak melakukan uji kelayakan dan kepatutan, pengamat kepolisian, juga petinggi media massa.
Selain menjelaskan posisi rekeningnya, tim Budi Gunawan menunjuk para kepala staf TNI yang juga merupakan alumnus Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1983, yang merupakan kolega seangkatannya. Tahun angkatan yang sama, menurut mereka, akan mempermudah kerja sama dan koordinasi antara TNI dan Polri. Sokongan kepada Budi juga datang dari sejumlah petinggi koalisi dan mantan anggota tim sukses Jokowi-JK.
Senin pekan lalu, pencalonan Budi semakin jelas setelah dibahas dalam pertemuan di rumah mantan Kepala Badan Intelijen Negara A.M. Hendropriyono. Hadir dalam pertemuan itu Budi, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy. Peserta pertemuan, menurut seorang peserta, sepakat memastikan jalan Budi Gunawan untuk memimpin Polri.
Tedjo membantah hadir dalam pertemuan itu. Menunjukkan segepok obat, ia mengaku sakit sejak Ahad pekan lalu. Hendropriyono tak merespons ketika dihubungi melalui telepon. Begitu juga Budi Gunawan, yang mengatakan, "Saya tidak tahu pertemuan apa itu."
JENDERAL Sutarman belum bisa menghadap Presiden Jokowi. Berulang kali dia meminta waktu, Jokowi belum memberikan kesempatan bertemu berdua. Karena itu, menurut orang-orang dekatnya, Sutarman mencoba jalan memutar, berkomunikasi dengan orang-orang dekat Jokowi. Ia menjelaskan posisinya. Sebab, ia merasa dituduh bersama perwira polisi mantan ajudan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membangun kubu melawan Jokowi.
Kepada seorang pensiunan jenderal yang dekat dengan Jokowi, Sutarman mengatakan pertarungan dan intrik tak sehat terjadi di Mabes Polri, sejak September tahun lalu, yang bisa berdampak ke kinerja Kepolisian. Dalam pertemuan, Sutarman mengatakan tidak memiliki masalah dengan Budi Gunawan, bahkan "melindungi"-nya agar kasus rekening gendut tidak diusut komisi antikorupsi. Dimintai konfirmasi soal ini, Sutarman menolak diwawancarai.
Hampir satu setengah tahun memimpin Polri, Sutarman akan segera melepaskan jabatan itu.
Agustina Widiarsi, Reza Aditya, Jobpie Sugiharto, Ananda Teresia, Rusman P., Setri Yasra, Singgih Soares, Rofiuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo