Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALAN pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dilancarkan. Selain aneka lobi politik, dokumen-dokumen lama disiapkan. Salah satunya surat berkode rahasia yang dikeluarkan kolega-koleganya di Badan Reserse Kriminal Polri pada 20 Oktober 2010.
Surat "pembersihan" Budi itu ditandatangani Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Komisaris Besar Arief Sulistyanto—kini Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat dengan pangkat brigadir jenderal. Isinya: lalu lintas keuangan di rekening sang Jenderal dianggap wajar. Padahal data di rekening itu masuk radar kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan karena dinilai tidak sesuai dengan profil Budi.
Arief, yang dimintai konfirmasi, membenarkan kesahihan surat tersebut. "Iya benar ada surat itu," ujarnya Jumat pekan lalu. Ia mengatakan hasil penyelidikan atas perintah Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri telah disampaikan ke Pusat Pelaporan.
Layang lawas itu disebarkan ke media massa bertepatan dengan rencana Presiden Joko Widodo mengajukan Budi Gunawan sebagai pengganti Jenderal Sutarman. Meski baru pensiun Oktober nanti, Sutarman, yang baru satu setengah tahun menduduki jabatan itu, akan segera diganti. Jokowi mengirimkan surat pencalonan Budi ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dimintakan persetujuan pada Jumat pekan lalu.
Surat itu disebarkan antara lain oleh Neta S. Pane, koordinator Indonesia Police Watch—organisasi yang banyak berhubungan dengan kepolisian. Neta mengatakan memperolehnya dari seorang perwira polisi. Meski begitu, ia menampik menjadi bagian dari anggota tim sukses Budi.
Secara formal, Budi bersaing dengan delapan perwira tinggi lain. Mereka menduduki jabatan-jabatan untuk pangkat komisaris jenderal. Dalam surat Komisi Kepolisian Nasional yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, pesaing itu antara lain Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Suhardi Alius dan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti.
Teropong ke rekening Budi terbuka pada 2010, bersama aneka transaksi mencurigakan milik 20 perwira lain. Tempo menurunkan laporan utama tentang hal ini dengan judul "Rekening Gendut Perwira Polisi" pada Juli 2010. Pada hari majalah diedarkan, kantor redaksi Tempo dilempar bom molotov. Tak berselisih lama, aktivis antikorupsi, Tama S. Langkun, yang juga banyak menyorot rekening mencurigakan ini, dibacok seseorang. Dua kejahatan itu tak terungkap hingga kini.
Kecurigaan Pusat Pelaporan muncul karena catatan transaksi dari perusahaan pengembang, PT Masindo Lintas Pratama, ke rekening anak Budi Gunawan pada November 2006. Duit Rp 1,5 miliar mengalir ke rekening Herviano Widyatama, anak Budi, yang ketika itu Kepala Biro Pembinaan Karyawan Kepolisian.
Dana itu merupakan bagian dari total setoran senilai sekitar Rp 54 miliar ke rekening Budi dan anak lelakinya. Perusahaan lain bernama PT Sumber Jaya Indah juga dilaporkan menyetorkan Rp 10 miliar ke Budi melalui rekening anaknya. Sumber Jaya merupakan perusahaan penambang timah yang menguasai 75 hektare lahan di Bangka Belitung.
Selain dua perusahaan tersebut, ada sejumlah individu yang terdeteksi mentransfer dana ke rekening Budi. Ada juga setoran tunai dalam jumlah miliaran rupiah. Sejumlah sumber Tempo menjelaskan, posisi Budi sebagai ajudan Megawati Soekarnoputri, wakil presiden dan kemudian presiden, pada 1999-2004 berperan besar dalam penumpukan harta itu. "Banyak pengusaha yang, ketika mau bertemu dengan RI-1, sukarela memberi. Duit Rp 100-200 juta itu kecil buat mereka," katanya.
Ada 21 perwira polisi yang masuk daftar rekening gendut. Selain Budi, ada Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, yang juga calon Kepala Polri. Ia diduga rutin menerima setoran Rp 50 juta setiap bulan sepanjang 2004-2005. Dia membeli polis asuransi dengan premi Rp 1,1 miliar yang dibayarkan pihak ketiga. Badrodin berkali-kali membantah memiliki rekening bermasalah. "Polri sudah mengatakan ini clear," ujarnya.
Menurut seorang purnawirawan komisaris jenderal, pada 2010, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi sepakat mengusut rekening bermasalah ini sebagai bagian dari "terapi kejut". Toh, sampai sekarang tak pernah ada investigasi serius pada kasus ini.
Alih-alih melakukan investigasi, Markas Besar Kepolisian hanya meminta klarifikasi dari Budi Gunawan dan perwira lain yang memiliki rekening mencurigakan. Setelah itu, mereka menyimpulkan tidak ada masalah. Surat yang dikeluarkan Arief Sulistyanto merupakan penutup dari catatan gelap itu.
Pusat Pelaporan sendiri tak pernah memberikan pernyataan bahwa rekening Budi tak bermasalah. "Seharusnya Polri mengusut temuan itu, bukan meminta klarifikasi," kata seorang petinggi lembaga itu pada Jumat pekan lalu.
Lembaga itu bahkan telah menyerahkan catatan keuangan Budi kepada Presiden Jokowi pada Oktober tahun lalu, ketika sang Jenderal dimasukkan ke daftar calon menteri. Isinya perkembangan hasil analisis transaksi rekening bank atas nama Budi. Ketua Pusat Pelaporan M. Yusuf tak mau berkomentar ketika dimintai konfirmasi soal ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi, yang juga menerima hasil analisis rekening Budi, sebenarnya telah bergerak sejak 2007, ketika lembaga itu masih dipimpin Taufiequrachman Ruki. Tim yang dibentuk menyimpulkan ada cukup bukti untuk meningkatkan statusnya ke tahap penyidikan. "Bukti-buktinya sudah dipaparkan dalam gelar perkara," ujar seorang mantan petinggi komisi antikorupsi.
Pengusutan mandek setelah Direktur Penyelidikan Brigadir Jenderal Ade Rahardja—perwira tinggi kepolisian—meminta Bagian Pengaduan Masyarakat memperbanyak bukti. "Pak Ade tak menjelaskan bagian mana yang perlu ditambah," kata mantan petinggi itu. Ade tak mau menanggapi informasi ini. "Konfirmasi saja ke pejabat KPK sekarang," katanya Jumat pekan lalu.
Sejumlah pejabat di komisi antikorupsi memastikan pengusutan perkara ini belum dihentikan. "Diharapkan segera ada perkembangan," ujar seorang pejabat. Tim penyelidik telah memeriksa sejumlah orang, termasuk petugas bank tempat transaksi. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto juga memastikan lembaganya terus menelisik kasus rekening gendut.
Budi menjelaskan banyak hal mengenai kasus tersebut kepada Tempo pada Kamis pekan lalu. Tapi dia tak mau penjelasannya dikutip. Namun dia buka suara esok harinya. "Sudah selesai pada 2010. Sudah tak ada masalah," katanya.
Rusman Paraqbueq, Reza Aditya, Aseanty Pahlevi
Komisaris Jenderal Budi Gunawan (56 tahun)
Kepala Lembaga Pendidikan Polri
Akademi Kepolisian 1983
Karier:
Kekayaan:
Komisaris Jenderal Dwi Priyatno (56 tahun)
Inspektur Pengawasan Umum Polri
Akademi Kepolisian 1982
Karier:
Kekayaan:
Komisaris Jenderal Badrodin Haiti (57 tahun)
Wakil Kepala Kepolisian RI
Akademi Kepolisian 1982
Karier:
Kekayaan:
Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno (54 tahun)
Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri
Akademi Kepolisian 1984
Karier:
Kekayaan:
Komisaris Jenderal Suhardi Alius (53 tahun)
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
Akademi Kepolisian 1985
Karier:
Kekayaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo