Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartono Mohamad
Teori tentang kepemimpinan sudah banyak diketahui orang. Ada teori born leader, artinya ia memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Ada teori traits leader, orang itu mempunyai bakat memimpin. Ada situational leader, situasi yang mendorong ia menjadi pemimpin. Ada charismatic leader, orang menjadi pemimpin karena karisma yang dibawanya.
Teori-teori itu dapat diperdebatkan, tetapi suatu hal yang menjadi ciri seorang pemimpin adalah bahwa ia harus punya visi. Punya impian akan dibawa ke mana kaum yang dipimpinnya. Ia harus mampu meyakinkan kaumnya tentang impian itu.
Musa mempunyai visi akan membebaskan kaum Yahudi dari perbudakan di Mesir dan berjanji membawanya kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Ibrahim. Bahkan ia sanggup memobilisasi orang Yahudi untuk mengikutinya menyeberang ke Sinai di bawah pengejaran tentara Firaun. Hitler berhasil membangkitkan semangat rakyat Jerman sehabis kalah perang dengan menjanjikan ”Deutschland uber Alles in der Welt”, rakyat mau menyadari bahwa kekalahan Jerman bukan karena kekalahan militer tetapi karena kelemahan para politikus di parlemen Weimar. Bukan hanya rakyat biasa yang terbius ajakan Hitler tetapi juga kaum intelektual seperti Robert Oppenheimer, penemu bom atom yang kemudian pindah ke Amerika.
Di Indonesia, Bung Karno mempunyai visi untuk merealisasikan Sumpah Pemuda dalam bentuk satu bangsa Indonesia yang merdeka. Ia berhasil menyatukan perbedaan pendapat dalam badan persiapan kemerdekaan dengan menawarkan Pancasila sebagai dasar negara yang dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia yang berbeda suku, adat, dan agama.
Selain mempunyai visi, seorang pemimpin juga diharapkan dapat dan berani mengambil keputusan, bukan demi popularitas dirinya atau partainya, tetapi benar-benar demi kepentingan rakyatnya. Berani mengambil risiko akibat keputusannya itu. Ketika keputusan itu keliru, ia berani mengakui bahwa dialah yang salah. Tetapi, jika keputusan itu benar, ia akan menghargai semua anak buahnya yang ikut dalam melaksanakan keputusannya itu. Seperti Presiden Roosevelt yang mengambil keputusan menggunakan bom atom terhadap Jepang untuk mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Musa, Hitler, dan Bung Karno dapat membangkitkan semangat rakyatnya agar mengikuti mereka karena ada musuh yang nyata. Hitler berhasil membelokkan perhatian rakyat Jerman dari rasa malu karena kalah perang dengan menunjukkan bahwa musuh mereka ada di dalam negeri, yaitu kaum politikus dan Yahudi. Meskipun kemudian dengan cara yang licik ia menguasai parlemen dan kemudian membubarkannya dan membentuk Kerajaan Ketiga (The Third Reich).
Calon-calon pemimpin kita yang sedang bertarung memperebutkan kursi presiden tampaknya tidak berhasil mengidentifikasi musuh yang dapat membuat rakyat mau memilihnya. Maka, seperti juga Hitler, diciptakanlah musuh baru seperti neoliberalisme, radikalisme, sekularisme, atau melakukan penyebaran cerita palsu untuk menjatuhkan citra lawannya. Bukan meyakinkan rakyat untuk menerima visinya dan bersedia diajak untuk bersama-sama mengalahkan musuh tersebut. Selain itu, mereka juga mencoba menciptakan karisma, antara lain melalui garis keturunan.
Tiga pendekar
Ketiga calon presiden kita mempunyai latar belakang yang berbeda tetapi pada umumnya mereka datang dari keluarga mapan yang tidak pernah mengalami situasi emosi seperti yang dialami Musa, Hitler, atau Bung Karno. Akan sangat sulit bagi mereka untuk benar-benar menghayati penderitaan atau kesulitan rakyatnya untuk dapat ia kembangkan menjadi visi yang tepat. Para pendiri Budi Utomo juga datang dari keluarga mapan, tetapi ketika bersekolah di STOVIA, mereka sehari-hari bergaul dengan rakyat di kampung Kwitang dan melihat sendiri bagaimana rakyat menderita di bawah jajahan Belanda. Mereka juga mengalami perlakuan diskriminasi ketika sebagai dokter—karena pribumi—hanya boleh naik kereta api di kelas dua, sementara mantrinya yang orang Belanda boleh naik kelas satu.
Susilo Bambang Yudhoyono, anak tunggal seorang perwira menengah TNI dan dibesarkan dalam masa Orde Baru, tentunya tidak pernah merasakan kekurangan. Sebagai anak tunggal yang hidup dalam budaya keluarga besar, mungkin saja ia terbiasa mendapat perhatian yang khusus dari seluruh anggota keluarganya. Tetapi, karena ia dapat diterima di Akabri, ini menunjukkan bahwa hasil psikotesnya cukup baik. Tidak mengalami apa yang disebut ”only child syndrome” seperti kurang mandiri ataupun mementingkan diri sendiri.
Megawati adalah anak presiden dan dari kecil hidup di Istana. Ia pun bersekolah di sekolah yang siswa-siswanya berasal dari kalangan orang berada. Sangat mustahil bahwa ia pernah bergaul dengan kaum miskin, apalagi merasakan kehidupan mereka. Adapun Jusuf Kalla adalah anak pengusaha yang berhasil dan dari kecil hidup dalam kecukupan. Mungkin saja karena ia bukan anak pejabat, ia mempunyai kesempatan untuk bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari berbagai lapisan. Tetapi apakah ia juga merasakan hidup di tengah-tengah mereka seperti mahasiswa STOVIA, makan dan tidur siang di tengah rakyat Kwitang, sangat diragukan.
Maka, dari ketiga calon presiden, praktis tidak ada perbedaan visi. Semuanya berjanji akan memperhatikan rakyat kecil, menyejahterakan hidup mereka, tetapi tidak jelas bagaimana hal itu akan dilakukan, karena mereka tidak pernah menghayati kesulitan hidup sebagai rakyat kecil. Yang sudah dilakukan pemerintahan SBY-JK adalah memberikan bantuan langsung tunai (BLT). Ini ciri orang kaya yang melihat bahwa masalah kemiskinan adalah karena tidak punya uang. Tipe kelompok orang yang menurut Donald Krill disebut the bleeding heart. Merasa trenyuh pada kesengsaraan orang lain dan menyelesaikannya dengan memberikan derma. Seperti orang memberikan uang kepada pengemis di pinggir jalan. Dengan cara itu ia merasa sudah berbuat baik dan sudah membantu mengurangi kemiskinan. Di sisi lain, ia tidak peduli apakah uang itu digunakan untuk memperbaiki nasib si penerima ataukah digunakan untuk keperluan konsumtif seperti membeli rokok, minuman keras, atau bahkan untuk berjudi.
Apakah Megawati akan menampilkan cara yang berbeda? Belum tentu juga karena pada masa kepemimpinannya sebagai presiden, belum tampak program untuk rakyat kecil yang konkret. Mungkin karena ia belum sempat memahami benar apa yang sebenarnya dirasakan oleh rakyat kecil yang miskin dan menemukan solusi untuk mengatasinya. Kemiskinan memang masalah kompleks, penyebabnya berkait-kaitan, sehingga untuk menyelesaikannya memang diperlukan kemampuan berpikir yang juga multi-faset, yang mungkin tidak terbiasa bagi mereka yang dibesarkan dalam keluarga kaya dan mapan, yang semua kesulitannya ada yang membantu menyelesaikan.
Tetapi, tidak adanya penghayatan hidup rakyat kecil tidak harus membuat mereka tidak tahu ke mana akan membawa bangsa ini. Para calon Presiden Amerika juga datang dari keluarga mapan tetapi mereka sudah menyiapkan diri sejak jauh-jauh hari melalui jenjang yang ditetapkan oleh partai. Bahkan Obama, meskipun sudah lulus sebagai ahli hukum, konon pernah mencoba hidup di daerah miskin di Chicago sebelum maju menjadi calon anggota Senat dan kemudian menjadi presiden.
Sistem kenaikan jenjang politik di Amerika memang sudah tertata. Partai memberikan kesempatan kepada anggotanya yang ingin maju melalui proses demokratis dan berjenjang. Seseorang yang ingin maju menjadi anggota Kongres atau Senat harus terlebih dahulu menunjukkan kemampuan kepemimpinannya di tingkat yang paling rendah dan kemudian naik ke tingkat yang lebih tinggi melalui proses demokratis di dalam partai. Kelemahan di negeri kita, antara lain, karena partai-partai politik belum menjadi tempat pendidikan calon pemimpin secara baik dan menyusun jenjang calon mereka yang akan duduk sebagai pemimpin, di tingkat daerah sekalipun. Bahkan untuk menjadi wakil mereka di parlemen, tidak ada persyaratan pengalaman dan kemampuan berpolitik. Ketua partai atau ketua majelis pembina mempunyai kekuasaan untuk menetapkan siapa yang boleh naik dan siapa yang harus gugur. Mungkin kita masih harus menunggu lebih dari lima kali pemilihan umum lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo