UTANG ujiannya malu. Tak terkecuali bagi Sipartini Suparno alias Nyonya Parno, 41 tahun. Ia warga Kelurahan 20 llir II, Palembang. Istri buruh bangunan ini berutang pada tetangganya yang berwarung, Nusyirwan alias Awan, 36 tahun. Jumlahnya Rp 36.025, tapi jumlah itu untuk ukuran warung Awan lumayan membuat goyah modalnya. Utang bermula menjelang Lebaran lalu. Ya, mentega, gandum, dan gula pasir. Jumlahnya Rp 15.300. Sipartini berjanji akan membayar sehabis Lebaran. Usai Lebaran ia kepepet, dan utang lagi. Beberapa minggu kemudian, tambah lagi. Total jenderal Rp 36.025. Awan, yang baru menikah ini, percaya saja karena belum pernah Sipartini cedera janji. Apalagi sebelumnya ia menang nomor SDSB. Itu dibelikannya televisi dan radio. "Ia janji membayarnya dengan menggadaikan televisi," cerita Awan mengulangi janji. Namun, janji biasa mungkir, kata orang. Tiap bertemu muka, "Dia meyakinkan saya agar tak khawatir, utang pasti dilunasi. Sampai sekarang seperak pun belum pernah dicicil," gerutu Awan. Akhirnya tekadnya bulat. "Ia mesti dipermalukan, biar tahu rasa," katanya. Awan lalu mengumumkan nama Sipartini. Bukan lewat corong halo-halo, atau radio amatir, tapi, ampun, dengan mendirikan tugu beton setinggi semeter lebih, akhir Juli lalu. Di bagian atas tugu ditorehkan tulisan tangan: "Untuk dikenang, manusia yang tidak bayar utang". Di bawahnya tercantum dengan huruf lebih besar: "Ny. Parno Rp 36.025". Empat bulan sudah tugu itu tercagak di depan warung yang sekaligus kediaman Awan. Selama itu pula penduduk kampung yang lalu lalang senyum kecut meliriknya, terutama keluarga pemilik nama. Mulanya penduduk cemas bila si tugu memancing bentrok fisik karena Suparno dikenal penduduk sebagai berangasan dan suka bawa-bawa parang. "Untuk apa ribut, kami wong cilik, dan bersalah pula," ujar Sipartini. "Suami saya tidak punya dendam, kecuali punya niat bayar utang," tambahnya. Kini suaminya, nun di Kenten Laut, tengah memburuh bangunan. Diam-diam tugunya itu, menurut Awan, membawa berkah. Penduduk lain yang hobi berutang di warungnya kini jadi keder. Mereka takut namanya ditugukan sehingga bayar utang tepat waktu. Sekalipun agak telat, hakim-hakiman ala Awan ini sampai juga ke telinga Syarbaini Syarkowi, sang lurah, minggu lalu. "Adaada saja si Awan," komentarnya sambil geleng-geleng kepala. Syarbaini akan memanggil keduanya. Nama pengutang di tugu disarankannya diplester, dengan catatan, si pengutang bersedia mengangsur. "Kan nggak etis mempermalukan orang seperti itu," tambahnya. "Kalau ada rezeki, akan saya lunasi," kata Sipartini kepada Taufik T. Alwie dari TEMPO. Ibu delapan anak ini kini tengah hamil lagi meski kondisi ekonominya senen-kemis. Menurut Awan, jika utang itu mulai diangsur, nama Sipartini di tugu tadi akan dihapus. Tapi untuk merobohkannya, "Ya, ganti dulu biayanya," kata Awan. Harap maklum, biaya pembuatan tugu Rp 40 ribu, lebih besar dari piutang yang harus ditagihnya. Jadi, siapa sebenarnya yang harus malu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini