KETIKA saya masih belajar di Jerman, saya mendapat tiga pilihan: tinggal indekos di rumah pastor atau pavilyun komunitas biarawati. Semua serba sip terjamin, tinggal belajar. Atau boleh menjadi penjaga malam di salah satu taman kanakkanak di kampung kurang terhormat di dekat stasiun kereta api yang berulang kali dimalingi pemuda-pemuda berandal. Saya memilih menjadi penjaga malam itu (Sejak itu, TK aman). Tetapi, saya terpaksa bertahun-tahun sampai lulus, memasak makanan sendiri, mencuci pakaian sendiri, dan berbelanja serta apa pun sendiri. Ya, seperti mahasiswa biasa lain, prihatin. Namun, banyak pelajaran tak terduga penuh hikmah saya dapati. Antara lain: saya melihat bagaimana sistem taman kanak-kanak di negeri Mercedes Porsche, Steffi Graf, dan Beckenbauer itu berfungsi. Saya heran bukan main melihat bagaimana anak-anak Jerman, Turki, Maroko, Spanyol yang tidak paham bahasa ibu masing- masing itu dibiarkan merdeka bermain dengan segala alat yang tersedia. Juga mengarang permainan mereka sendiri. Bahkan jika Bu Guru membunyikan lonceng untuk makan roti pagi atau acara Bercerita dan Mendengarkan, ternyata masih ada dua tiga anak yang membandel tak peduli, masih saja saling kejar-kejaran atau memanjat pohon, semua itu dibiarkan. Tidak dimarahi, diperintah agar berdisiplin, dan sebagainya. Saya bertanya kepada Bu Guru Kepala mereka, sistem pendidikan apa-apaan itu, semua serba bebas sesuka sinyo semau noni. Diterangkan bahwa anak itu anak, bukan kaum dewasa dalam ukuran mini. Lama-lama, saya menangkap bahwa benih-benih kemerdekaan semacam itulah yang membuat bangsa Jerman unggul dalam segala hal, termasuk keahlian perang dan berkelahi. Dari jiwa sehalus Beethoven atau Goethe sampai yang jahanam, Nietzche, atau Hitler. Apa pun yang juara dalam segala lapangan, entah filsafat, teologi, Kant Hegel Heidegger, Karl Barth, Karl Rahner, fisika nuklir dan mekanika, Max Planck Heisenberg, Einstein, dan teori/praktek perang Clausewitz Guderian, Rommel von Braun, dan sekian banyak pemenang Hadiah Nobel adalah buah-buah pohon Jerman atau rumpun berbahasa Jerman. Sampai nama-nama seperti Eisenhower atau Schwarkopf pun datang dari nenek moyang Jerman. Sayang ada juga, ini risiko "perusahaan", ada Himmler, Goebbels, Eichman, dan sebagainya. Saya bertanya kepada Bu Guru tadi, mana lebih banyak hasilnya: yang baik atau yang negatif? Ia langsung menjawab: yang baik. Pemberian kemerdekaan dengan segala risikonya toh jauh lebih bagus. Saya langsung ingat kepada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan segala risikonya. Kemerdekaan adalah syarat mutlak segala pendidikan dan pembinaan yang berkualitas, karena yang kita hadapi ialah manusia, yang harus menuju ke kedewasaan dan pemekaran dirinya, beremansipasi menjadi manusia selengkap mungkin. Pendidikan tanpa penghargaan kepada pemerdekaan bukan pendidikan, tetapi dril, disiplin mayat, atau latihan kebolehan seperti yang dikerjakan pada binatang dalam sirkus-sirkus. Kelak saya sadar, bahwa sebenarnya seorang guru TK, SD, atau dosen profesor universitas pun punya fungsi tidak berbeda dengan dari yang kini disebut pembinaan teritorial. Tentu saja mutatis mutandis ada bedanya. Juga tentu saja bukan teritorial medan seperti yang ditugaskan kepada Jenderal Mac Arthur, misalnya, terhadap kemaharajaan Dai Nippon, atau Panglima Yamashita, Marsekal Terauchi yang berdwifungsi sebagai gubernur-gubernur jenderal di Asia Tenggara dulu, tetapi teritorial fisik-rohani dalam kelas atau lingkungan sekolah, keluarga maupun kampus. Semua pedagogi sejati atau pembinaan teritorial yang baik selalu menghadap kepada manusia atau masyarakat, bukan sukucadang mesin, dan karena itu berpangkal pertama pada kemampuan untuk ber-tepo-seliro. Tepo-seliro berarti kemampuan untuk ikut merasakan keadaan atau situasi orang lain, ikut menghayati dari dalam pihak si manusia yang dihadapi. Kalau anak, ya, situasi dan keadaan psikologis anak, kalau bandit, ya, dunia pikir dan perasaan si bandit. Menghayati dari dalam pihak yang dihadapi. Bukan memaksakan kemauan sendiri kepadanya. Seorang ahli pendidik, penulis buku anak-anak sekaligus dokter ternama di Polandia, Janusz Korczak (1878-1942), pernah membuat cerita berikut: Seorang kakek, Abram, duduk dalam kursi roda membaca buku rohani, sedangkan cucunya, Srulik (4 tahun), bermain-main bola dalam kamar. Tak tersengaja, kaca mata Kek Abram lepas dan jatuh. Usaha berjam-jam untuk meraih kaca matanya tidak berhasil. Kesedihan mendalam atas ketidakmampuannya itu membuat si kakek menangis. Srulik kecil yang begitu asyik bermain-main sehingga tidak melihat usaha kakek yang sia-sia itu tiba-tiba mendengar ratap kakeknya. Dengan heran, ia bertanya: Kek, kenapa kau menangis? Ah, tidak apa-apa. Tolong ambilkan kaca mataku itu. Srulik manis menolong kakeknya. Sepulang Ibu dari pasar, Srulik menceritakan kepada ibunya tentang kakek yang menangis dan bagaimana ia menolong mengembalikan kaca matanya itu. Nada omongan si Srulik: Mosok, soal kaca mata jatuh saja menangis. Esther, kakaknya, lari dari sekolah dan menjatuhkan diri dalam tempat tidur. Si Mama mendekatinya dan bertanya, ada apa? Si gadis mengeluh: Kawankawan dulu mengatakan, saya ratu kelompok. Sekarang mereka mengujar, kamu bukan ratu lagi. Buku tulisku dirobek-robek. Ibunya menghibur, o anak bodoh, apa perlunya menangis karena tetek-bengek dungu macam itu. Abang Ari tidak mau makan, siang itu. Hanya berdiri murung saja di tepi jalan. Ayahnya bertanya: Mengapa menangis? Ternyata ada seorang gadis menghinanya, tidak mau lagi memandangnya. Ayah menghibur: Ah, soal sepele. Buat apa ditangisi. Masih banyak gadis lain. Sang Ibu, Rewka, petang itu pulang hampir putus asa. Seorang wanita mengatakan busananya norak gombal. Padahal ini yang paling bagus. Mordechai, suaminya, terbengong. Hanya soal begitu menangis? Tetapi hatinya pun sebetulnya merintih juga. Ia bukan orang kaya. Kawan Mordechai sudah sanggup membeli mobil. Mordechai membelikan istrinya busana baru saja belum mampu tahun ini. Kakek Abram melihat Mordechai berlinang-linang air mata. Ah, soal mobil saja menangis. Untuk apa. Srulik kecil menangis ketakutan. Boleh jadi ada setan berdiri di balik pintu. Ibunya menunjukkan: Lihat nih, tidak ada apa-apa. Tetapi Srulik tak berhenti menangis dan minta digendong ibunya. Semua air mata pedas. Siapa paham hal ini, dapat mendidik anak-anak. Dan juga membina teritorial. Siapa tidak paham berarti akan gagal juga mendidik atau membina teritorial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini