Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terletak di pusat Kota Pekanbaru, kantor peng-acara itu berada di deretan rumah toko di kompleks -perkantoran Sudirman Point. Papan nama putih di bagian depan bangunan dua lantai itu bertulisan “Law Firm Syamsul Rakan Chaniago & Associates”. Saat Tempo berkunjung ke sana pada Jumat sore, 12 Juli lalu, kantor itu tertutup rapat.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Pekanbaru Aziun Ashari mengatakan kantor pengacara itu milik hakim Mahkamah Agung, Syamsul Rakan Chaniago. “Sejak beliau diangkat menjadi hakim agung, kantornya masih eksis,” ujar Aziun saat dihubungi pada Jumat, 12 Juli lalu. Syamsul dilantik sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi tingkat kasasi pada 27 Oktober 2010.
Tak hanya di deretan ruko itu, nama Syamsul sebagai pengacara juga masih tersebar di berbagai penjuru Pekanbaru. Dua narasumber yang bergiat di bidang hukum di kawasan itu menyebutkan sejumlah perusahaan, beberapa di antaranya perusahaan properti, menuliskan nama firma hukum Syamsul sebagai pengacara mereka.
Aziun mengakui sejumlah peng-a-cara di Pekanbaru mempertanya-kan boleh-tidaknya firma hukum Syamsul mendampingi klien di pengadilan. Dia memaklumi sikap koleganya mengingat ada potensi benturan kepentingan dengan jabatan Syamsul. Bisa saja, kata Aziun, terjadi pelanggaran etik jika Syamsul ikut mengadili kasus yang melibatkan firma hukumnya. Aziun mengaku dimintai keterangan oleh Komisi Yudisial yang menelusuri keberadaan firma hukum milik Syamsul beberapa waktu lalu.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, juga menilai ada potensi konflik kepentingan. Dia mengingatkan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim merangkap jabatan. Seharusnya, menurut dia, advokat yang menjadi hakim harus mundur dari profesinya. “Nama yang tertera di papan kantor advokat itu sebaiknya juga diganti karena bisa menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujar Kurnia.
Anggota Komisi Yudisial yang menjadi ketua bidang pengawasan dan investigasi, Sukma Violetta, mengaku belum mengetahui hasil penelusuran lembaganya soal kantor hukum Syamsul. Tapi dia menilai pencantuman nama hakim, termasuk hakim agung, di suatu firma hukum berpotensi mempengaruhi juru adil lain saat memutus perkara yang melibatkan kantor pengacara tersebut.
Salman Luthan./ id.wikipedia.org
Syamsul menjelaskan, kantor peng-acara itu saat ini dikelola anaknya. Ia mengakui Komisi Yudisial berkali-kali memeriksanya karena urusan kantor pengacara itu. “Saya tak pernah terlibat lagi sejak menjadi hakim agung,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 13 Juli lalu.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, me-nga--takan Syamsul kompeten -mena-ngani kasus korupsi. Mahkamah pun belum pernah menerima lapor-an terka-it dengan kinerja Syamsul. “Pak Syam-sul adalah hakim yang tak suka di-atur-atur,” ucapnya. Abdullah meng-aku tak mengetahui soal firma hukum Syamsul. Setelah dilantik sembi-lan tahun lalu, Syamsul mengaku hanya sebagai “tukang masak”. “Tergantung KPK, kepolisian, dan kejaksaan, apa kencang penyidikannya. Nanti kami yang masak,” ujarnya.
Syamsul dan hakim ad hoc tindak pidana korupsi Mohamad Askin menjadi sorotan karena mengang-gap kasus yang menjerat bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, bukan pidana. Syamsul menyebut perkara itu bersifat perdata. Sedangkan Askin menyatakan perbuatan Syafruddin mengeluarkan surat keterangan lunas masuk ranah administrasi. Kurnia Rama-dhana meminta Komisi Yudisial memeriksa para hakim tersebut.
Tugas Syamsul sebagai hakim ad hoc tindak pidana korupsi sudah memasuki dua periode atau dua kali lima tahun. Pada Desember 2015, Syamsul ikut mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Angelina Sondakh. Bersama dua hakim lain, yaitu Sya-rifuddin dan Andi Samsan Nganro, Syamsul mengoreksi hukuman Ange-lina yang terjerat kasus suap Wisma Atlet tersebut menjadi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Padahal, di tingkat kasasi, Mahkamah menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta plus uang pengganti Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta.
Syamsul Rakan Chaniago./andi/detikcom
Tiga tahun sebelumnya, Syamsul ikut membebaskan bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Zulkarnain Yunus, yang men-jadi terdakwa kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum. Di pengadilan tingkat pertama, Zulkar-nain divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 100 juta serta membayar uang pengganti Rp 240 juta. Pengadilan Tinggi menjatuhkan hukuman 1 tahun bui dan denda Rp 50 juta.
Pada 2016, nama Syamsul muncul dalam persidangan kasus dugaan suap pengaturan perkara di Mahkamah Agung. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi membuka percakapan antara terdakwa Andri Tristianto Sutrisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perdata, dan anggota staf panitera muda pidana khusus, Kosidah, melalui aplikasi BlackBerry Messenger. Dalam percakapan itu, Kosidah menyarankan Andri menghubungi Syamsul Chaniago untuk “mengurus” perkara satu kasasi kasus korupsi di Bengkulu.
Syamsul juga beberapa kali menolak permohonan kasasi atau peninjauan kembali yang diajukan terdakwa kasus korupsi. Pada September 2015, bersama Andi Samsan Nganro dan Artidjo Alkostar, dia menolak novum yang diajukan bekas Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan, dalam kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat. Mahkamah menghukum Hotasi 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Mohamad Askin./ www.mahkamahagung.go.id
Tiga tahun sebelumnya, Syamsul juga menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin dalam kasus korupsi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pada 2011, Syamsul ikut memperberat hukuman Andi Kosasih, rekan bisnis pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus H. Tambunan. Vonis pengadilan banding, yaitu bui 8 tahun, ditambah 2 tahun oleh Syamsul disertai denda Rp 6 miliar untuk terdakwa kasus perintangan pengusutan perkara korupsi yang menjerat Gayus.
Syamsul enggan mengomentari putusan-putusan yang pernah ia keluarkan. Ia juga membantah me-ngenal Andri Tristianto. Menjadi hakim agung, kata dia, adalah pengabdian kepada negara dan dunia hukum. “Hidup saya sudah -mencukupi dengan menjadi pengacara, tapi ki--ni saya ingin mengabdi kepada negeri,” ucapnya.
Mohamad Askin pernah ikut membebaskan bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, dalam kasus korupsi aset badan usaha daerah Jawa Timur. Tapi dia juga memperberat hukuman terdakwa kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Andi Narogong, dari 11 tahun menjadi 13 tahun. Askin belum bisa dimintai keterangan soal putusan kasus Syafruddin Temenggung. Telepon selulernya tak aktif. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, juga menyatakan Askin mampu menangani perkara korupsi. “Semua hakim clean.”
Adapun hakim agung Salman Lu--than, yang menyatakan -perkara yang membelit Syafruddin masuk ranah pidana, pernah menolak permohon-an kasasi Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Tapi dia kalah suara oleh anggota majelis hakim lain. Pun Salman menghukum bekas Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron, 13 tahun penjara dan mencabut hak politik selama 5 tahun serta memintanya mengembalikan duit Rp 250 miliar ke kas negara. “Insya Allah, saya akan selalu berikhtiar menempuh jalan lurus, benar, dan adil,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 12 Juli lalu.
PRAMONO, MUSTAFA SILALAHI, ROOSENO AJI NUGROHO, RIYAN NOFITRA (PEKANBARU)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo