Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPIAWAIAN Para Wijayanto tak terdeteksi selama 16 tahun tergambar dari kemahirannya lolos dari penggerebekan di rumahnya di Desa Gondangmanis, Kecamatan Bae, -Kabupaten Kudus, pada 12 Juli 2003. Pagi itu, tim gabungan dari Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Jawa Tengah mendatangi rumah Para. Mereka hendak meringkus Para karena dia ditengarai terlibat dalam serangkaian teror bom pada awal 2000—salah sa-tunya bom Bali I. Nihil. Para tak ditemukan.
Di kantornya, Para buru-buru pamit meski jam kerja masih panjang. Mobil Toyota Kijang yang dia kendarai saban hari dari rumah ke kantor ditinggalkan di sebuah tempat. Sejak itu, keberadaan Para tak diketahui. “Kami tak pernah tahu di mana Pak Para berada,” ucap Zaenuri, yang sempat lima tahun bertetangga dengan Para di Perumahan Muria Indah, Kudus. Rumah Para sudah dijual kepada Asmuni, pedagang kayu asal Pati.
Di Kudus, Para sempat bekerja di PT Pura Barutama, perusahaan percetakan swasta yang memproduksi bahan uang kertas, hologram, dan tinta. Dia bekerja di kantor itu per 5 Juni 1990. Setahun sebelumnya, dia menamatkan kuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang.
Ketika meniti karier di Pura, Para pernah mendapat beasiswa belajar ke Malaysia selama enam bulan di luar tanggungan perusahaan. Sepulang dari negeri jiran, Para dan timnya berangkat studi banding tentang rekayasa teknologi mesin pengupas kopi ke Jember, Jawa Timur. Di situ, rombongannya ditemui pemimpin perusa-haan yang wajahnya berewokan. Para sempat berbicara empat mata dengan pria itu.
Belakangan, seorang anggota tim menduga pemilik perusahaan tersebut adalah gembong teroris asal Malaysia, Noor Din M. Top, yang wajahnya terpampang di media massa setelah tewas pada akhir 2009 di Surakarta. “Orang yang kami temui itu mirip sekali dengan Noor Din,” kata seorang anggota tim di Koran Tempo terbitan 12 April 2011.
Insinyur dari Kalijati/Tempo
Sebelum lulus kuliah, Para termasuk mahasiswa senior yang rutin berdakwah di kampus. Jika Para absen, penceramah bernama Mashadi, bukan dari Universitas Diponegoro, akan langsung menggantikannya. Kemampuan Para berdakwah didapat dari hasil membaca sejumlah buku—salah satunya karangan Kasman Singodimedjo.
Kelompok dakwah yang diikuti Para kerap berkunjung ke Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Sukoharjo. Mereka memakai kode “selatan” untuk mengorganisasi perjalanan ke Ngruki. Meski begitu, Para tak pernah pergi ke “selatan”. Dia baru tahu bahwa pengasuh pesantren di “selatan” itu adalah Abu Bakar Ba’asyir, tokoh Jamaah Islamiyah, setelah nama tersebut dikaitkan dengan sejumlah teror di Indonesia.
Lahir di Subang, 8 Agustus 1964, Para berayah purnawirawan TNI Angkatan Udara yang pernah bertugas di Pangkalan Udara Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pada usia 24 tahun, Para menikah dengan Masitha Yasmin, kini 47 tahun, putri seorang ustad di Kampung Begog, Kelurahan Tamanwinangun, Semarang. Pada waktu menikah dengan Para, Masitha disebut masih berumur belasan tahun.
Putra sulung Para, Askari Sibghotulhaq, kawin dengan putri Abu Husna, salah satu pentolan Jamaah Islamiyah. Perkawinan itu membuat Para dan Husna berbesan. Namun, belakangan, Husna mendirikan Jamaah Khatibul Iman, yang berbaiat ke kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Tatkala besannya beralih menjadi simpatisan ISIS, Para tetap loyal di Jamaah Islamiyah. Nasir Abbas, mentor Para saat menjalani pelatihan militer di Filipina pada 2000, menyebutkan Para berusaha menata ulang Jamaah Islamiyah secara klandestin setelah kelompok itu dibubarkan pengadilan pada 2008. Usahanya berakhir setelah ia diringkus Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di Hotel Adaya, Bekasi, pada 29 Juni lalu.
Kali ini, Para tak sempat berkelit seperti peristiwa di Kudus, 16 tahun lalu.
Raymundus Rikang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo