Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konferensi pers yang digelar Kepala Bi-ro Hukum dan Hubung-an Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah pada Selasa, 9 Juli lalu, membuat tiga pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi terperanjat. Mereka tak menyangka Mahkamah Agung merespons cepat permintaan komisi antikorupsi sehari sebelumnya, yakni lembaga itu segera memutus permohonan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung karena masa tahanannya sege-ra berakhir.
Tiga komisioner itu, Laode Muhammad Syarif, Basaria Panjaitan, dan Saut Situmorang, -menyaksikan konferensi pers melalui tayangan langsung stasiun televisi swasta di lantai 15 gedung KPK di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Dua pemimpin lain, Agus Rahardjo dan Alexander Marwata, tidak ikut karena sedang bertugas ke luar kota. Ketiganya sama sekali tidak mengira Abdullah mengumumkan putus-an kasasi yang membebaskan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbank-an Nasional tersebut.
“Kami bertiga langsung mengumpulkan tim,” ujar Wakil Ketua KPK -Laode Muhammad Syarif pada -Kamis, 11 Juli lalu. Bertempat di ruang rapat lantai 15 gedung KPK, tiga pemimpin KPK memanggil semua anggota tim yang terlibat dalam pena-nganan kasus Syafruddin. Mereka adalah para jaksa dan penyidik perkara itu; pelaksana tugas Deputi Penindakan yang juga Direktur Penyi-dik-an, Brigadir Jenderal Panca Simanjuntak; dan Biro Hukum KPK. “Pu--tusan ini aneh bin ajaib,” ucap Syarif.
Syafruddin dijerat KPK dalam kasus korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk salah satu obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim—ketika itu pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia. Bersandar pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuang-an, KPK menyatakan kerugian negara dari kasus ini Rp 4,58 triliun. Selain menjerat Syafruddin, penyi-dik KPK menetapkan Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka kasus ini, pertengahan Mei lalu.
Menelisik kasus BLBI sejak 2008, KPK baru mulai menyelidiki perkara SKL lima tahun kemudian. Butuh lima tahun lebih bagi penyidik lembaga antirasuah tersebut untuk menetapkan tersangka pertama dalam kasus ini, yakni Syafruddin. Adapun kasus penyaluran BLBI pada 1998-1999 tak bisa lagi diusut karena sudah kedaluwarsa pada 2017. Soal SKL yang menjerat Syafruddin dan Sjamsul ini satu-satunya perkara BLBI yang bisa diusut KPK dengan masa kedaluwarsa pada 2022.
Syafruddin mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka de-ngan mengajukan permohonan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tapi kandas. Setelah empat bulan menjalani sidang, Sya-fruddin diganjar hukuman 13 tahun penjara. Ia lantas meminta banding, tapi majelis hakim pengadilan tinggi malah memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Syafruddin kembali melawan dengan meng-ajukan permohonan kasasi. Akhirnya, ia dinyatakan majelis kasasi lepas dari segala tuntutan hukum.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif (tengah) dan Basaria Panjaitan (kanan) bersama juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Dipimpin Salman Luthan dengan anggota Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Askin, majelis hakim agung mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi yang menghukum Syafruddin 15 tahun penjara. Majelis meng-adili perkara tersebut dengan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan, tapi itu bukan tindak pidana. Dalam amar berikutnya, majelis menyatakan Syafruddin lepas dari segala tuntutan hukum.
Beberapa jam setelah Mahkamah Agung mengumumkan putusan kasasi, KPK membebaskan Syafruddin dari rumah tahanan. Saat keluar dari rumah tahanan KPK, ia menyatakan bersyukur atas putusan tersebut. “Ini perjalanan yang panjang,” katanya sembari memamerkan buku berjudul Bencana BLBI dan Krisis Ekonomi Indonesia garapannya selama diterungku KPK.
Kendati belum menerima putus-an lengkap, baru sebatas petikan, dalam rapat yang dipimpin tiga komisioner pada Selasa pekan lalu itu, KPK menyiapkan sejumlah opsi untuk melawan putusan kasasi tersebut. Opsi akan dimatangkan -setelah KPK menerima salinan putusan leng-kap Syafruddin. “Ada beberapa opsi,” tutur Laode Muhammad Sya--rif, yang enggan menyebutkan op-si apa saja yang disiapkan lembaga-nya.
Menurut seorang penegak hukum, opsi pertama yang dirancang KPK adalah upaya peninjauan kembali. Dari kajian, KPK memandang upaya luar biasa ini bisa dilakukan dan tidak bertentangan dengan putusan uji materi Mahkamah Konstitusi pada Mei 2016 yang menyatakan peninjauan kembali hanya bisa diminta terpidana atau ahli warisnya. Komisi juga memperhatikan langkah Kejaksaan Agung, yang pernah meminta peninjauan kembali setelah putusan uji materi itu terbit.
Dalam beberapa kesempatan, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo me-ngatakan lembaganya tetap melaku-kan upaya luar biasa kendati ada putusan uji materi yang melarang. Dia mengungkapkan, permohonan peninjauan kembali tak bersandar pa--da Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah diuji Mahkamah Konstitusi, melainkan yurisprudensi di Mahkamah Agung. “Akan kami ajukan peninjauan kembali jika dirasa perlu,” katanya.
Menurut seorang hakim agung, upaya peninjauan kembali putus-an kasus Syafruddin sangat mungkin dilakukan karena ada kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum. Melihat tiga hakim agung berbeda dalam memberikan putusan, hakim agung senior pidana ini berpandangan sebenarnya bisa dikatakan belum ada putusan. “Dalam rapat majelis, paling tidak dua hakim sama pendapatnya. Kalau tiga berbeda, ini tak lazim,” ujarnya.
Ketua majelis hakim kasasi Salman Luthan menolak menjelaskan putusan tersebut. “Hakim dilarang mengomentari putusannya sendiri,” ucapnya. Hal senada diungkapkan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali. “Ini independensi hakim. Saya tak boleh mengomentari putusan,” kata Hatta.
Seorang penegak hukum lain di KPK mengatakan upaya peninjauan kembali ini penting dilakukan karena perkara Syafruddin tak bisa dipisahkan dari kasus Sjamsul Nursalim dan istrinya. Bos Gajah Tunggal itu dan Itjih, dia menambahkan, dituduh melakukan tindak kejahatan bersama Syafruddin. “Syafruddin bebas artinya perkara Sjamsul dan Itjih bisa saja gugur di pengadilan karena kasus itu dianggap bukan pidana,” tuturnya.
Dalam putusan pengadilan tinggi dan negeri Syafruddin, Sjamsul dan istrinya disebut bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi penerbitan SKL atas kewajiban Bank Dagang Nasional Indonesia. Selain mereka, dalam putusan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti disebut sebagai pihak yang turut bersama-sama. Ketika itu, dia menjabat Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan.
Opsi kedua adalah -menyidangkan Sjamsul dan Itjih secara in absen-tia atau tanpa kehadiran mereka, yang sekarang tinggal di -Singapura. Menurut seorang petinggi komisi antikorupsi, karena konstruksi tuduh-an Syafruddin, Sjamsul, dan Itjih adalah Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ketiganya bisa saja dijatuhi hukuman berbeda.
Opsi terakhir adalah menggugat secara perdata Sjamsul atas seluruh potensi kerugian negara yang timbul dari penerbitan SKL yang terindikasi bermasalah tersebut. “Se--mangatnya untuk kasus -Sjamsul adalah pengembalian keuangan ne--garanya,” ucap penegak hukum tadi.
Sampai pekan lalu, KPK terus memeriksa sejumlah saksi untuk tersangka Sjamsul dan Itjih. Di antaranya bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, serta eks Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Kwik Kian Gie. Bekas Menteri Koordinator Perekonomian, Rizal Ramli, juga di-panggil, tapi tak hadir. Sebelumnya, penyidik juga memeriksa Dorodjatun.
ANTON APRIANTO, MUSTAFA SILALAHI, ANDITA RAHMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo