Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGASAN rekonsiliasi nasional itu dicetuskan Joko Widodo begitu semua tempat pemungutÂan suara pemilihan presiden 9 Juli 2014 ditutup pada pukul 13.00. Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini melontarkannya kepada sekretaris tim kampanye Andi Widjajanto dan Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina nonaktif, yang menjadi penasihatnya selama kampanye.
Di dalam mobil dari rumahnya di Menteng, Jakarta Pusat, menuju rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta Selatan, Jokowi mengatakan perlu daftar tokoh yang harus ditemuinya. Hal itu dilakukan, kata dia, untuk menurunkan tensi masyarakat yang terbelah menjadi dua kubu. "Dia bilang Indonesia harus kembali sejuk setelah pemilihan," kata Andi kepada Tempo pekan lalu.
Berbagai kelompok terbagi sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan pencalonan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Mei lalu. Pendukung dua pasangan calon presiden itu saling serang secara brutal pada masa kampanye. Kampanye hitam berseliweran menyerang Jokowi, di antaranya melalui tabloid Obor Rakyat, yang menulis Jokowi sebagai "keturunan Tionghoa, beragama Nasrani, dan orang tuanya penganut komunisme". Propaganda itu sempat menggerus elektabilitas calon yang juga didukung Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ini.
Di Kebagusan itu, Jokowi disambut Megawati dan ratusan pendukungnya yang sedang berkhidmat pada layar besar televisi. Di situ ditampilkan hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei. Metode statistik itu memprediksi pasangan Jokowi-Kalla memperoleh 53 persen suara. Berdasarkan penghitungan itu, Jokowi bersama Megawati mengklaim memenangi pemilihan.
Dari Kebagusan, Jokowi kembali mengumpulkan tim pemenangan dan para penasihatnya untuk mematangkan rencana rekonsiliasi. Menurut Andi, dari berbagai nama yang disusun timnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menempati urutan teratas. Maka Jokowi meminta waktu bertemu dengan Presiden. Selepas magrib pada hari itu, Jokowi dan Kalla meluncur ke rumah Yudhoyono di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Presiden didampingi antara lain oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
Dalam pertemuan 45 menit itu, menurut Jokowi, Presiden memintanya tak merayakan kemenangan hitung cepat secara berlebihan dengan arak-arakan di jalan. Jokowi menyanggupi permintaan tersebut, lalu mengumumkan bahwa perayaan hanya boleh dilakukan sebatas malam itu. "Kami juga memohon agar Bapak Presiden menjaga suasana tetap kondusif sampai hari pengumuman KPU 22 Juli," ujar Jokowi.
Kunjungan Jokowi-Kalla ke Cikeas diikuti pasangan Prabowo-Hatta, yang datang tak lama setelah mereka. Tak seperti Jokowi yang hanya meminta Kepala Negara menjaga situasi seusai pemilihan presiden, Prabowo mengeluhkan kegiatan rivalnya yang berpesta di Tugu Proklamasi menyambut kemenangan versi lembaga survei. "Di depan Bapak Presiden, saya sampaikan soal presiden nomor dua yang mendeklarasikan kemenangan di luar, di lapangan, di depan massa," kata Prabowo. "Ini tentu akan menjadi persepsi di masyarakat seolah-olah pemenangnya sudah ada."
Menurut Prabowo, hasil hitung cepat lembaga survei itu bisa saja direkayasa sehingga ia dinyatakan kalah. Soalnya, tiga lembaga survei justru memenangkannya. Jaringan Suara Indonesia, yang menjadi konsultan politik pasangan Prabowo-Hatta, menempatkan mereka sebagai pemenang, unggul 0,26 persen atas Jokowi. "Jadi, saya kira, situasinya masih dinamis," ujar Prabowo ketika itu.
Meski belakangan menyatakan siap bertemu dengan Jokowi untuk rekonsiliasi, Prabowo tak merencanakan pertemuan dengan tokoh-tokoh yang tak mendukungnya untuk mendinginkan suasana politik. Dua hari setelah menemui Yudhoyono, Jokowi bertamu ke kantor Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Esoknya, ia terbang ke Surabaya menemui kiai-kiai Nahdlatul Ulama, baik yang mendukungnya maupun yang mendeklarasikan sokongan untuk Prabowo.
Jokowi juga menemui Wakil Ketua Pengurus Besar NU As’ad Said Ali di Jakarta. Kepada Said, Jokowi meminta pengurus organisasi kemasyarakatan Islam terbesar itu mengimbau nahdliyin tak terpengaruh saling klaim kemenangan oleh kedua kubu, apalagi terprovokasi menyambut pengumuman hasil resmi KPU. "Sebagai organisasi yang cinta damai, kami siap meneruskan imbauan itu," kata As’ad.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj ada di barisan pendukung Prabowo. Karena itu, dalam pertemuan dengan Jokowi yang dihadiri para pengurus teras lain, Aqil absen. Menurut As’ad, Aqil tak hadir karena ada acara lain. Selain itu, kedatangan Jokowi disebutnya "agak mendadak". "Dia titip pesan akan menerima apa pun pengumuman KPU dan setuju rekonsiliasi dengan Jokowi," ujarnya.
Selama kampanye, kalangan nahdliyin juga terbelah akibat elite organisasi ini terbagi ke dua kubu. Mahfud Md., yang dianggap bagian dari kelompok itu, memimpin tim pemenangan Prabowo-Hatta. Kiai-kiai yang berafiliasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa bergabung ke kubu Jokowi. Adapun kiai yang dekat dengan Partai Persatuan Pembangunan berpihak ke Prabowo. Setelah menemui para pemuka Nahdlatul Ulama itu, Jokowi mengatakan, "Pemilihan presiden sudah selesai. Masyarakat harus kembali normal, kembali damai."
Setelah berkeliling menemui tokoh-tokoh nasional untuk menyampaikan gagasannya, Jokowi membuat pengumuman pada Jumat pekan lalu. Ia meminta para pendukungnya tak menghadiri pengumuman hasil pemilihan presiden di KPU pada Selasa pekan ini. Tim pemenangan menyebarkan ajakan itu dan mengganti slogan "salam dua jari" di media sosial menjadi "salam lima jari". "Harap tinggalkan seragam kotak-kotak, atribut dua jari," ujar Jokowi. "Kita kembali ke Indonesia Raya."
Berbeda dengan Jokowi, kubu Prabowo menyatakan hendak mengerahkan pendukungnya untuk datang ke KPU pada 22 Juli. Pada Kamis pekan lalu, ratusan pendukung Prabowo berkumpul di Lapangan Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur untuk apel siaga. Menurut ketua apel siaga Mayor Jenderal Purnawirawan Asril Tanjung, para pendukung Prabowo akan memenuhi kantor KPU saat pengumuman pemenang pemilihan presiden berlangsung.
SEMENTARA Jokowi bersafari mendekati kelompok-kelompok masyarakat, menurut sejumlah sumber, elite partai pendukung Prabowo diam-diam justru mendekat kepadanya. Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Golkar mengetuk pintu kemungkinan bergabung ke koalisi pendukung Jokowi.
Anggota Dewan Pertimbangan Demokrat, Suaidi Marasabessy, mengatakan telah bertemu dengan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, Kamis pekan lalu. "Kami membahas kemungkinan Demokrat bergabung," ujarnya. Namun, kata dia, pembicaraan-pembicaraan politik itu belum diketuk sebagai sikap resmi partai.
Suaidi memang merupakan elite Demokrat yang mendukung Jokowi. Sikap politiknya didukung Ketua Dewan Pembina Demokrat E.E. Mangindaan dan beberapa politikus lain. Namun Wakil Ketua Umum Demokrat Max Sopacua menyatakan, hingga pekan lalu, sikap partainya tetap bergabung dengan koalisi pengusung Prabowo-Hatta. "Sejauh ini, belum ada arah kebijakan partai mencabut dukungan," ujarnya. Ketika kubu Prabowo mendeklarasikan koalisi permanen di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, tak ada petinggi Demokrat yang hadir. Hanya terlihat Ketua Partai Demokrat Jakarta ÂNachrowi Ramli.
Koalisi permanen pendukung Prabowo itu goyah begitu penghitungan riil KPU hampir rampung. Dengan data rekap suara tingkat kabupaten mendekati seratus persen, Jokowi besar kemungkinan memenangi persaingan dengan perolehan suara tak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat. Partai-partai anggota kelompok ini berbalik mendekati Jokowi.
Partai Amanat Nasional, yang dipimpin Hatta Rajasa, juga membuka jalur komunikasi tak lama setelah koalisi permanen dideklarasikan dengan gegap-gempita. "Komunikasi ada, tapi saya belum bertemu dengan Jusuf Kalla," kata Hatta.
Ia mendukung gagasan rekonsiliasi yang digagas Jokowi untuk mendinginkan ketegangan setelah pemilihan presiden. Ia mengaku tak setuju terhadap pengerahan massa oleh pendukungnya sebagai upaya "menjaga kerukunan dan mencegah kerusuhan antar-pendukung". Beberapa elite PAN dikabarkan telah menghubungi orang di sekitar Jusuf Kalla untuk membuka jalur komunikasi, antara lain melalui karibnya, Sofjan Wanandi.
Sofjan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, mengaku dihubungi Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Albert turun tangan setelah anaknya, Bara Hasibuan, gagal menemui Sofjan untuk minta dihubungkan dengan Jusuf Kalla. "Saya memang bertemu dengan Sofjan di rumahnya," ujar Albert.
Meski bukan pejabat PAN, Albert adalah pendiri partai ini pada 1999. Anaknya, Bara Hasibuan, menjadi anggota tim sukses Hatta Rajasa. "Saya dan Albert kawan lama. Dia ke rumah saya membicarakan hal lain," kata Sofjan. Adapun Bara tak menyangkal telah menjadi penghubung Hatta dengan tim pemenangan Kalla. Tapi ia meminta usahanya itu tidak disalahartikan sehingga membuat "situasi menjadi tak kondusif sebelum pengumuman KPU, 22 Juli".
Seorang petinggi PAN lainnya menelepon Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dekat dengan Kalla. Menurut beberapa politikus, sang petinggi bersedia menyatakan dukungan kepada Jokowi-Kalla bahkan sebelum KPU mengumumkan hasil pemilihan. "Kami belum mengambil sikap," kata seseorang di lingkaran dalam pasangan Jokowi-Kalla.
Hamid Awaludin belum memberikan penjelasan. Telepon selulernya tak bisa dihubungi hingga Sabtu pagi pekan lalu. Pesan pendek pun tak dibalas.
Kepada Tempo, Jusuf Kalla tak bersedia memberikan banyak keterangan tentang lobi-lobi tingkat tinggi itu. Ia hanya berbicara tentang kemungkinan partai lain bergabung ke kubunya. Dalam sistem politik presidensial, menurut dia, pemerintah sebenarnya tak memerlukan koalisi besar untuk menjalankan program-programnya. Jika diperlukan, kata dia, tambahan satu partai, yakni Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, atau Partai Demokrat, cukup untuk mengamankan posisi pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat.
Ia mengatakan anggota baru koalisi pasti akan diperlakukan berbeda. Ia mengibaratkan empat partai anggota awal koalisi sebagai pemegang saham kelas A. Adapun partai yang terakhir bergabung memiliki saham kelas B. "Kami baru akan membahasnya setelah 22 Juli," ujarnya.
Bagja Hidayat, Ananda Wardhiati, Muhammad Muhyiddin, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo