Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Uang, Siapa Takut?

Bob Hasan datang dan membangun Nusakambangan.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pemandangan menyejukkan mata setelah merasa seram melewati tiga lapis gerbang besi raksasa di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan. Di situ berdiri sebuah masjid bercat putih seluas lapangan badminton, yang tampak anggun di tengah deretan sel narapidana. Tiang-tiangnya berdiri kukuh dengan gaya bangunan terbuka, sehingga para jemaah bisa masuk masjid dari segala penjuru. Sajadah-sajadah berwarna merah dan biru yang masih wangi menutupi lebih dari separuh lantai masjid yang berlapis keramik putih mengkilap. At-Tauhid, nama masjid di penjara itu, juga semakin lengkap dengan rak yang penuh dengan buku agama dan ilmu pengetahuan, serta sebuah mimbar kayu yang masih berkilap karena baru dipernis. Padahal, beberapa bulan yang lalu masjid itu masih sekarat. Temboknya kusam dan tampak hampir runtuh. Lantainya semen dan sudah tidak rata, meskipun tetap terjaga kebersihannya. Sajadah yang ada juga ala kadarnya. Nuansa kebaruan tidak hanya ada di masjid. Fasilitas yang berupa alat-alat di bengkel perkayuan dan tempat kerajinan batu akik juga baru dan lebih lengkap. Sehingga para narapidana bisa mengasah batu akik dan membuat berbagai mebel dari kayu. Sehari-hari, suasana kedua bengkel itu lebih mirip pusat kerajinan ketimbang penjara. Selain itu, sel-sel para napi juga baru dicat. Kamar mandi, kakus, dan tempat mencuci yang semula berlumut pun tampak terbalut kapur putih. Para napi, yang semula harus antre bila mencuci dan mandi, kini lebih leluasa karena beberapa pompa yang semula rusak sudah diperbaiki. Kegairahan tidak berhenti sampai di sini. Para napi penghuni Penjara Batu bisa lebih leluasa berolahraga, karena ada lapangan voli dan basket beserta bolanya. Pun kunjungan kerabat dan kawan-kawan napi juga lebih lancar. Kapal motor Binaga, satu-satunya kapal pengangkut dari Dermaga Wijayapura (Cilacap) ke Dermaga Sodong, Nusakambangan, yang semula bocel di sana-sini, juga sudah lebih sehat. Semua pembaruan di LP Batu terjadi setelah Mohamad Bob Hasan resmi menjadi penghuni ruangan Admisi Orientasi IV (satu-satunya ruang tahanan yang dilengkapi dengan kamar mandi dalam), sejak Maret 2001. Bob bersedia merogoh koceknya sendiri Rp 80 juta untuk merenovasi masjid. ”Raja hutan” itu tak segan melakukan berbagai perbaikan fasilitas di ruang tahanannya sendiri. ”Kalau menunggu bantuan dari pemerintah, akan sampai kapan?” kata Budi Hardono, kepala sipir yang khusus bertugas menjaga keamanan Bob. Sebelum Bob menjadi salah satu ”penduduk” rumah tahanan di Nusakambangan, kompleks penjara di sana memang sudah pudar. Di LP Batu, kompleks yang paling dekat dengan Dermaga Sodong (sekitar 27 kilometer), misalnya, hanya ada satu nomor pesawat telepon yang sudah diputus salurannya karena menunggak Rp 15 juta. Fasilitas listrik permanen baru masuk tahun 2000 (sebelumnya menggunakan generator). Itu pun disumbang oleh sebuah pabrik semen di Cilacap. Sedangkan kondisi rumah tahanan lain di Nusakambangan, seperti Besi, Permisan, dan Kembangkuning, karena tidak dihuni tahanan seperti Bob, tetap renta. Masa kejayaan Nusakambangan memang telah lama lewat. Pulau yang ditetapkan berstatus sebagai penjara oleh pemerintah kolonial Belanda sejak 1934 itu berjaya pada dekade 1970. Sejalan dengan berkembangnya Kota Cilacap, pulau yang berjarak 15 menit perjalanan dengan kapal motor dari Cilacap itu juga ikut berkembang. Berbagai fasilitas seperti rumah sederhana dan sekolah dibangun di sana untuk menampung kebutuhan para pekerja di keempat kompleks tahanan. Selain itu, ada juga dua bus angkutan karyawan, dua truk, sebuah mobil tahanan, dan enam buah minibus Mitsubishi Colt untuk kebutuhan karyawan, serta sebuah kapal motor Binaga milik Departemen Kehakiman. Seiring dengan berjalannya waktu, aset itu berontokan. Perumahan karyawan, yang kebanyakan tipe sangat sederhana 21 meter persegi, sudah berusia 18 tahun tanpa ada perbaikan. Minibus Colt sudah tinggal kenangan. Sekolah dasar yang semula berjumlah empat kini tinggal satu-satunya, yaitu SD Sidareja. Dan satu-satunya fasilitas rumah sakit sudah runtuh pada 1990-an. Jalan antarlembaga pemasyarakatan—yang dibangun pada awal 1980-an—sudah berlubang dan rusak. Adapun bangunan di LP yang sebagian besar masih merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu juga tak direhabilitasi. Kondisi yang demikian itu membuat Nusakambangan makin berkesan angker. LP Permisan, misalnya, yang terletak di paling barat Nusakambangan, dikepung pohon-pohon raksasa yang berusia puluhan atau ratusan tahun. Sebenarnya pernah muncul harapan untuk perbaikan, yaitu ketika pemerintah memutuskan untuk menjadikan penjara pulau itu sebagai pusat penampungan penjahat khusus narkotik dan obat terlarang (narkoba). Pada Mei 2000, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, membuat keputusan itu dengan pertimbangan agar para pen-jahat narkotik benar-benar terputus dari jalur perdagangan bubuk putih dan pil ”surgawi” itu. Untuk membangun kembali fasilitas di Nusakambangan, terutama LP Besi, yang direncanakan sebagai penjara khusus kejahatan narkoba, Departemen Kehakiman minta dana ke Bappenas Rp 12 miliar. Rencananya, proses pembangunan dimulai pada Februari 2001. Tapi tampaknya rencana membangun kembali LP Besi yang kini sudah berpenghuni 112 orang itu juga tersendat. Menurut Joko Wahono, petugas lapangan LP Batu yang sudah bekerja di Nusakambangan selama 20 tahun, fasilitas di pulau penjara itu memang semakin merosot saja. Karena satu-satunya kapal motor yang biasa mengangkut karyawan dan anak-anak karyawan sudah tua, bila alat angkut itu mogok, pergantian jaga petugas tidak terlaksana dan anak-anak pun terpaksa bolos sekolah. ”Pak Bob yang memberi bantuan fasilitas dan menjadi harapan karyawan di sini,” kata laki-laki 42 tahun itu, yang mengaku sudah lelah mengharap bantuan pemerintah. Cerita seorang kroni terdekat bekas orang terkuat negeri ini, Soeharto, yang masuk penjara karena korupsi, lalu membangun penjaranya sendiri, mungkin baru kali ini terjadi. Sebuah ironi atau sebuah berkah tak terdugakah kehadiran Bob di Nusakambangan? Bina Bektiati, Ecep Suwardani Yasa (Nusakambangan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus