Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINGIN. Kintamani, pagi hari delapan tahun silam. Kabut masih turun. Lelaki itu mencangklong kamera Nikon F-90. Dari Kuta, tempat tinggalnya, ia berangkat pukul lima pagi. Saat itu ia mendengar kabar bahwa pasar tradisional di Kintamani bakal digusur. Lelaki itu tak ingin kehilangan momen. Ia ingin mengabadikan semua sudut pasar. Pasar tradisional di Bali tutup pukul sembilan pagi dan hanya buka dua kali seminggu.
Ia bolak-balik selama beberapa hari dan merekam hal-hal yang remeh temeh seperti sampah, keranjang sayur, keranjang biji-bijian, bunga, atap seng, dan daun-daun yang berserakan. Sebagai kolektor kamera antik, kadang ia membawa kamera Rollei-nya. Setelah turun-naik tangga pasar, lelaki itu ter-cenung. Tiba-tiba ia bergetar, merasa seolah tangga itu menyambungkan dua dunia.
Ketika pulang, ingatannya masih menempel pada undak-undakan itu. Ia menggambar. Tapi ia tidak menyalin gambar itu sesuai dengan foto belaka. Ia menambah dengan detail yang diperolehnya dari rekaman lain. Retak-retaknya, sampah, daun-daunnya, orang-orang yang lalu-lalang. Ia bahkan meminta beberapa model di studio untuk berpura-pura menyunggi bakul. Setelah dua minggu, lukisan Pasar Kintamani (1994) kelar. Lukisan itu terlihat seperti sebuah karya fotografi. Namun, itu bukan penjelmaan realitas asli. Kepadatannya bernuansa hiper.
Itulah cara kerja Chusin Setiadikara, 53 tahun. Berulang-alik antara obyek, foto, dan intuisi. Tiga tahun kemudian, ia melukis kembali suasana Pasar Kintamani (sampai kini, ternyata pembangunan itu belum selesai). Hasilnya, Pasar Kintamani II dibeli oleh Museum Fukuoka, Jepang.
Kini, lebih dari 90 buah karya Chusin dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Lukisan terbarunya menonjolkan transaksi jual-beli ikan asin, bandeng. Chusin membeli kiloan ikan asin. Di rumah, ikan itu dipotret lalu dengan cermat ia meniru lukisan itu hingga ke sisiknya. Ia juga menampilkan puluhan lukisan telanjang. Semua wanita Bali, dengan kulit sawo matang dan berambut panjang. Cara mendekati model seperti laiknya fotografer fashion. Posisi natural, rileks, rebahan, bersedekap, telungkup. Dari sisi mana pun indah. Bahkan saat faset-faset tubuh dipotong menjadi beberapa panel, lukisan itu tak kunjung mengundang rasa ngeri, tetapi malah melahirkan sensualitas.
Yang menarik adalah saat ia menggabungkan antara arang (charcoal) dan cat minyak, seperti pada lukisan Slendang Merah. Sesosok gadis cantik bermata sayu, berkemben merah, berposisi rebahan, yang dilukis dengan cat minyak. Di atasnya, dengan menggunakan arang, ia menggambar dua sosok hitam bayangan laki-laki. Penuh arsiran. Tangan dan tubuh laki-laki tembus ke tubuh sang perempuan hingga lukisan itu tampil bak bauran antara mimpi dan realitas.
Untuk beberapa karyanya, Chusin mencoba bereksperimen "cahaya", menampilkan tubuh tak sesuai dengan warna aslinya. Tengok tubuh telanjang dalam lukisan Space (2001). Ia banyak mengolah efek cat putih, menghasilkan tubuh mirip rekaman foto rontgen. Suatu kali, Edwin Raharjo, pemilik Edwin Galery, pernah menyarankan Chusin, efek rontgen demikian bisa dihasilkan di studio, lewat pemotretan dengan bantuan lampu canggih. Tapi Chusin tak percaya dengan manipulasi cahaya foto. Ia percaya sensibilitas kuas. Agaknya ia menyadari, risiko tak menghadapi obyek secara langsung adalah hilangnya ekspresi emosi. Toh, pose-pose tubuh di atas kanvasnya masih terasa sebagai pose yang "disutradarai", artinya tak terasa geliat yang alamiah.
Dalam tren fotografi nude, memang ada kecenderungan untuk menghindari sudut pandang lelaki. Kritikus Amerika, Susan Sontag, pernah mengkritik bahwa kebanyakan fotografer nude memfungsikan kamera sebagai phallus dan menempatkan mata pemirsa sebagai voyeurist (pengintip). Karena itu, para fotografer seperti Helmut Newton hingga Edward Weston mencoba bereksperimen menghasilkan karya yang mengacaukan perspektif gender. Sementara itu, Chusin agaknya tetap menjadi pengagum karya nude "aliran" masa lalu. Tatapan kita terhadap foto-foto telanjang Chusin adalah tatapan seorang pengintip.
Pada Juni nanti, puluhan lukisan Chusin diboyong ke CP Art Space, Washington. Galeri baru yang letaknya tak jauh dari Gedung Putih ini dibangun oleh pengusaha Indonesia, Saiman Ernawan. Pameran Chusin menjadi pameran ketiga yang telah digelar di sana, setelah Sunaryo (Bandung) dan Entang Wiharsa (Yogya).
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo