Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti Alcatraz, penjara Nusakambangan menyimpan banyak cerita yang mendirikan bulu roma. Juga tokoh legendaris. Di sini pernah bermukim penjahat tersadistis, perampok paling cerdik, dan pembunuh paling berdarah dingin. Belakangan, seorang konglomerat bisnis dengan kasus korupsi yang fantastis. Bob Hasan hanya satu dari sederet nama ”jagoan” penghuni pulau yang masih berhutan rimbun dan bergunung-gunung itu, tempat kebejatan hanya memiliki batas tipis dengan kepahlawanan. Siapa mereka?
JOHNY INDO
Dia dikenal sebagai penjahat kakap yang lebih mirip bintang film ketimbang bandit. Laki-laki berdarah campuran Belanda asal Garut itu memang memiliki wajah tampan, berpostur tinggi, dan berkulit putih. Tapi pesonanya hilang bila mendengar rekor kejahatannya, yaitu merampok beberapa toko emas di Jakarta sepanjang 1978 hingga Maret 1979.
Bekas model foto itu kembali mengukir sejarah karena memimpin usaha pelarian dari LP Permisan, Nusakambangan, bersama 41 napi lainnya pada 1982. Usaha kabur itu memang sebagian bisa digagalkan, tapi nama Johny terukir dalam sejarah Nusakambangan sebagai K 42—kelompok pelarian itu.
Dia memang dapat ditangkap kembali. Tapi—seperti layaknya akhir cerita sebuah film Hollywood—Johny, yang kemudian dipindah ke Cipinang, bertobat. Laki-laki Don Juan yang sayang keluarga ini banyak beribadah ke gereja dan memasang salib di tembok selnya. Sekeluar dari penjara, dia berperan sebagai tokoh utama dalam film yang dibuat berdasarkan perjalanan hidupnya.
ROBOT GEDHEK
Nama aslinya Siswanto. Pada Mei 1997 ia dijatuhi hukuman mati karena menyodomi 12 anak jalanan lalu membunuh mereka. Dia sekarang menghuni LP Permisan, Nusakambangan, dan menempati sel terpisah (satu sel rata-rata didiami sembilan orang).
Tapi keistimewaan lelaki berumur 30 tahun ini bukan karena kegarangannya. Robot tampak pemalu dan pendiam ketimbang narapidana lain di Permisan, yang rata-rata bromocorah dengan tato di sekujur tubuh. Robot dipisahkan untuk alasan keamanan, menimbang sejarah kejahatan sodomi itu.
Kini Robot hanya ditemani oleh seekor kucing bernama si Manis. Ketika ditemui wartawan TEMPO, laki-laki yang lebih suka senyum-senyum itu mengaku sudah menyesal dan ingin pulang ke rumah ibunya yang sudah tua di Pekalongan, Jawa Tengah. ”Saya ingin mendapat pengampunan,” kata Robot, yang juga dikenal ahli memijat ini.
KUSNI KASDUT
Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, ini adalah bekas pejuang Tentara Pelajar yang dihukum mati pada awal 1980-an. Dia membunuh Ali bin Mohamad Bajened, seorang pengusaha Arab di Jakarta, pada 1953. Sebelum menghadapi regu tembak, laki-laki berperawakan kecil itu memiliki cerita layak kenang.
Bagi laki-laki Katolik yang rajin beribadah itu, penjara bukan tempat yang menakutkan, bahkan lebih merupakan tantangan. Tantangan? Kusni melarikan diri dari LP Cipinang dan menjadi buron. Saat dalam kejaran, 1959-1963, laki-laki yang lihai menggunakan senjata api itu melakukan serangkaian perampokan dan pembunuhan lain di berbagai tempat, termasuk merampok berlian dan batu-batu berharga di Museum Nasional Jakarta.
Setelah tertangkap, Kusni kembali dijatuhi hukuman mati, yang kemudian diringankan menjadi kurungan seumur hidup. Tapi dia tidak jera. Beberapa kali dia mencoba melarikan diri dari Penjara Malang dan Surabaya, sebelum akhirnya dikirim ke Nusakambangan dengan hukuman yang diperberat lagi: mati.
Laki-laki kecil berwajah ramah ini memang legendaris. Dalam buku Kusni Kasdut tulisan Parakitri, sang penulis menyebut bahwa apa yang dilakukan Kusni adalah refleksi dari trauma kehidupan sosialnya yang teraniaya: status kelahirannya yang tidak jelas, deraan kemiskinan, kekecewaan pada balas jasa sebagai tentara semasa melawan Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo