MANTU memang dicari, tapi kalau datang harus tahan uji. Itulah cara Kasmijo, 47 tahun, membela nasib anak gadisnya yang semata wayang. Penduduk Desa Pandak di Banyumas, Jawa Tengah, itu -- di celah kesibukannya sebagai petani dan pedagang -- menangkap isyarat tentang banyaknya "kumbang" beterbangan di sekitar putrinya, Fatimah, 19 tahun. Tak heran. Pemuda sehat mana yang tak terpikat oleh Fatimah yang semampai, berkulit putih, dan rambut ikal sampai sebetis. Ya, tergiur boleh saja, tapi untuk mendekat, itu lain cerita. "Tiap pemuda yang datang ke umah Fatimah, ayahnya yang menemui," kata Kus, 24 tahun, mengungkapkan pengalamannya. Dan umumnya para tamu itu langsung saja ke pokok soal, yaitu menyatakan naksir Fatimah. Sang ayah kemudian mencatat nama mereka. Giliran anak-anak muda itu yang terheran-heran. Sebab, mereka dinyatakan sebagai calonnenantu. Semuanya, ya, semua tanpa kecuali. Cuma dicatat-catat, untuk kesempatan kencan, masih jauh panggang dan api. Walhasil, terjadi kucing-kucingan untuk bisa bertegur sapa dengan Fatimah. Runyamnya, ada yang ketahuan. Karena dinilai ada melanggar aturan, tak banyak cingcong, Kasmijo kontan mencoretnya dari daftar calon. Dari 9 penaksir tersisalah 5. Ketika Kasmijo sudah menganggap cukup jumlah calon dan waktunya pun tiba, calon yang lima itu dipanggilnya ke rumahnya, baru-baru ini. Tentu mustahil semua dikabulkan. Yang perlu cuma satu, kan? Kasmijo pun membuka gelanggang adu untung. Kelima pemuda itu disilakan bertarung, tapi bukan berkelahi di dalam sarung, melainkan harus mampu menjepret buah tergantung. Alatnya: ketapel. Dan buah sasaran adalah jambu biji alias jambu kelutuk sebesar bola tenis dari jarak 10 meter. "Siapa yang bisa menjatuhkan buah itu dengan ketapel, dialah yang berhak mempersunting anak saya," ujar Kasmijo. Selepet, selepet.... Bergantian batu kerikil melesat ke jurusan si buah. Banyak yang melenceng. Ada yang kena, tapi buah itu cuma kaget sedikit. "Ndak jatuh, tuh," seru Udin, 22 tahun. Kecewa sekali dia. Tiba giliran Sukamto, 25 tahun, lulusan sebuah akademi di Yogyakarta. Buah yang sudah babak belur itu akhirnya jatuh dijepret Sukamto. Gedebuk! Dan, hampir bersamaan dengan rontoknya si jambu kelutuk, terdengar jeritan Fatimah yang sejak tadi mengintip dari balik jendela. Girang sekali dia. "Saya gembira Mas Kamto bisa menjatuhkan buah itu," katanya seraya menyingkap rahasia, "soalnya, selama ini kami sudah pacaran diam-diam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini