Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ujian Terakhir Melawan Diskriminasi

Dendam terhadap kemiskinan dan diskriminasi mendorongnya menceburkan diri ke dunia politik. Berani melawan kebijakan partai bila dianggap merugikan rakyat.

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sabtu malam, 8 Maret lalu, Sof-yan Tan tampak santai. Di sebuah rumah di Desa Sukamaju, Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, duduk di hadapan 20 pria, ia mencomot pisang rebus, menyeruput air mineral. Mereka sengaja dikumpulkan oleh tim kampanye Sofyan untuk sosialisasi pencalonannya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari kawasan itu.Suasana santai masih terasa sampai akhirnya seorang bernama Anto angkat bicara. Ia meminta Sofyan mengaspal jalan di desa mereka, yang biasa ditempuh selama satu setengah jam dari Medan. "Tindakannya harus konkret agar kami dukung," kata Anto.

Tak menolak atau menyetujui, Sofyan menunjukkan alasan mengapa anggota DPR banyak terlibat korupsi. Mereka, menurut dia, kerap dipaksa pemilihnya mencari uang, membangun sarana desa, termasuk mengaspal jalan. Padahal seharusnya hal ini buah dari inisiatif publik. Misalnya dengan mengadakan iuran warga selama periode tertentu. "Sisanya baru dicarikan bantuan," kata pria 54 tahun itu.

Sofyan lahir tak jauh dari desa itu, dari keluarga miskin yang beretnis Tionghoa. Namanya mencorong setelah mendirikan Yayasan Sultan Iskandar Muda, sekolah bertemakan pluralisme di Medan, pada 1987. Di sekolah itu terdapat rumah ibadah semua agama. Sekolah menerapkan pola anak asuh untuk murid yang 70 persen di antaranya berasal dari keluarga miskin.

Diskriminasi adalah masalah sehari-hari yang dihadapi Sofyan muda selama ini. Akibat diskriminasi, ia ditolak melamar ke Universitas Sumatera Utara. Ia terpaksa kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia di Medan. Saat ingin meraih gelar dokternya pun ia empat kali tak lulus ujian negara karena bermata sipit.

Kini Sof-yan tak cuma aktif di dunia pendidikan. Ia sibuk dalam konservasi orang utan dan membangun Aceh pasca-tsunami 2004. Kepopulerannya itu membawa Sofyan ikut dalam perebutan Wali Kota Medan periode 2010-2015. Ia berada di urutan kedua. Saat kampanye pemilihan wali kota itu, ia berperang melawan isu rasisme dari kelompok lawan. Itu sebabnya istri dan empat anaknya menganggap pemilu kali ini ujian terakhir Sofyan di pentas politik. "Bila saya gagal lagi, artinya politik bukan untuk orang Cina di Medan," katanya.

Pria berkacamata ini mencalonkan diri lewat PDI Perjuangan dengan nomor urut dua dari daerah pemilihan Sumatera Utara 1, yaitu Kota Medan, Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Ia membutuhkan 180 ribu suara agar lolos ke Senayan. Penganut Buddha ini mengatakan awalnya tak tertarik menjadi anggota DPR, meski sudah menjadi pengurus partai banteng gemuk itu sejak 2008. Ia lebih suka menjadi eksekutif, seperti wali kota atau menteri. "Lewat pemilu legislatif nanti saya berharap bisa jadi wali kota lagi," katanya.

Beda Sofyan dengan calon lain, ia tak mau menghabiskan uang selama kampanye. Sejak Januari, ia mengaku baru menghabiskan uang sekitar Rp 750 juta. Padahal pada akhir pekan ia bisa berkampanye di banyak lokasi. Pada 9 Maret lalu, misalnya, sejak subuh hingga tengah malam, ia hadir di 11 tempat untuk bersosialisasi. "Jadwal untuk beberapa akhir pekan depan malah jauh lebih padat," kata Budi, salah seorang tim kampanye Sofyan.

Ia menerapkan prinsip hemat dalam tiap kampanye. Tak ada baliho, spanduknya pun cuma bisa dihitung dengan jari. Biaya yang dihabiskan panitia tak boleh lebih dari Rp 500 ribu. Ia tak pernah membagi-bagikan uang. Dari tiga lokasi kampanye yang diikuti Tempo, tim Sofyan memang tak terlihat menyangui para peserta. "Kami datang atas kemauan sendiri," kata Wati, salah seorang peserta kampanye Sofyan di Dusun VII, Desa Cinta Rakyat, Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, sekitar satu jam dari Medan.

Prinsip kewirausahaan ia terapkan dalam berkampanye. Ia menjual kaus kampanye kepada pengusaha. Harganya Rp 15-20 ribu per helai. Modal satu kaus hanya Rp 8.000. Keuntungan itu yang ia gunakan untuk mendanai tim.

Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Dadang Darmawan, mengatakan perkara kedekatan Sof-yan dengan pengusaha menjadi sorotan khusus. "Selama ini Sofyan enggan menyentuh isu perburuhan dan mengadvokasi kasus hukum di Medan," katanya. Selama sosialisasi, Sofyan memang hanya menyoroti dunia pendidikan, kemudahan berusaha, dan pluralisme.

Sofyan mengaku ada sekitar 20 taipan yang loyal kepadanya. Selain itu, ia berteman baik dengan 300 pengusaha kelas menengah lain. Ia pernah menjadi Ketua Forum Nasional Usaha Kecil Menengah pada 2002-2004. Ia menjamin tak akan berteman dengan pengusaha hitam. Alasannya, ia tak mau menerima uang pengusaha bila "ada maunya". "Saya tak mau utang budi," tuturnya.

Bila terpilih, Sofyan mengidamkan duduk di Komisi Pendidikan. Ia berjanji tak akan berkompromi dengan korupsi. Hidupnya sudah dirasa mapan. Selama ini ia sering mengelola uang ratusan miliar rupiah dari donor untuk berbagai yayasannya, tanpa diselewengkan. Undangan DPR untuk berkunjung ke luar negeri juga siap ia tolak. "Saya tak perlu studi banding karena hampir seluruh negara sudah saya pelajari dunia pendidikannya," katanya.

Sofyan juga sudah siap berseberangan dengan partai, meski merasa dekat dengan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Ia tak ingin idealismenya dibenturkan dengan kepentingan partai. Bila tak ada jalan keluar, "Saya akan mundur dari Senayan," katanya.

Ada strategi yang ia siapkan agar tak mudah "diganggu" saat di Senayan, yaitu dengan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari daerah pilihannya. Sofyan ingin menang dengan suara berlimpah. Karena itu, dia tetap rajin keliling untuk sosialisasi meski data dari survei internal menyebutkan ia sudah sangat populer di Medan. Salah satunya mengunjungi orang seperti Anto di kawasan Deli Serdang itu.


Apa sikap Anda bila partai meminta Anda mencari proyek?

Tidak mau. Saya ke dpr untuk mengabdi, bukan untuk mencari uang kas partai.

Bagaimana nanti bila ada benturan kepentingan partai dengan konstituen?

Saya merasa tidak akan pernah ada benturan kepentingan. Saya memilih PDI Perjuangan karena pluralisme dan keberpihakan terhadap masyarakat.

Bagaimana nanti jika kebijakan partai bertentangan dengan hak asasi, antikorupsi, dan pro-lingkungan?

Selama ini saya berada di jalur aktivitas itu. Jika terjadi, saya siap melawan arus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus