Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyoal Perusakan Taman Warisan Dunia di Papua

Tak hanya di Komodo, UNESCO menyoroti kerusakan lingkungan akibat proyek jalan Trans Papua di Taman Nasional Lorentz. Awal kehancuran kawasan rimba.

5 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemandangan pembangunan Jalur Trans Papua di Wamena, Papua, 2017. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Teguran UNESCO tak hanya ditujukan untuk proyek infrastruktur di area Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur.

  • UNESCO juga memperingatkan kerusakan Taman Nasional Lorentz akibat proyek jalan Trans Papua.

  • Pemerintah harus membenahi pengelolaan proyek di kawasan konservasi Taman Nasional Lorentz.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Teguran Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) kepada Indonesia tak hanya ditujukan untuk proyek infrastruktur di area Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Organisasi ini juga memperingatkan pemerintah perihal kerusakan di Taman Nasional Lorentz akibat proyek nasional jalan Trans Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNESCO mendapati jalan Trans Papua sepanjang 190 kilometer di dalam Taman Nasional Lorentz dibuat tanpa kajian environmental impact assessment (EIA). Studi EIA adalah analisis mengenai dampak lingkungan yang mengacu pada nilai-nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV). UNESCO justru menemukan terjadi pembalakan liar di Taman Nasional Lorentz dan penggunaan jalan Trans Papua untuk mengakomodasi praktik lancung tersebut.

Komite Pusat Warisan Dunia menyesalkan sikap pemerintah Indonesia yang tak memberi penjelasan ihwal pembangunan jalan itu. Karena itu, UNESCO meminta Indonesia menghentikan proyek dan penggunaan jalan Trans Papua. UNESCO memerintahkan penutupan jalan untuk umum sampai adanya langkah mitigasi dari pemerintah Indonesia sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan.

Selain itu, UNESCO menyoroti proyek bandar udara di sejumlah titik di Kabupaten Nduga yang masuk kawasan Taman Nasional Lorentz. UNESCO mendesak pemerintah Indonesia tunduk pada kewajiban mengelola taman nasional berdasarkan standar EIA, termasuk menyurvei adanya laporan ancaman kepunahan pohon langka Nothofagus di sepanjang Habema-Kenyam. "Kami juga meminta negara memastikan bahwa manajemen kebakaran, termasuk perubahan iklim, dimasukkan ke rencana pengelolaan untuk mencegah kepunahan Nothofagus," demikian bunyi teguran UNESCO.

Sebelumnya, seperti diberitakan Koran Tempo edisi 4 Agustus 2021, proyek wisata premium di sekitar Taman Nasional Komodo kembali menjadi sorotan. Bukan hanya pegiat lingkungan lokal, UNESCO pun meminta pemerintah Indonesia menghentikan proyek ala “Jurassic Park” tersebut. UNESCO mendesak pemerintah memperbaiki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang akan dievaluasi Komite Warisan Dunia dalam sidang pada awal Februari tahun depan. Komite Warisan Dunia UNESCO membahas sejumlah situs dunia pada 16-31 Juli 2021. Tempo mendapatkan salinan laporan UNESCO ini.

Taman Nasional Lorentz Papua. Tamannasionallorentz.menlhk.go.id

Taman Nasional Lorentz terbentang di antara sejumlah kabupaten di Papua dengan luas mencapai 2,3 juta hektare. Areanya beririsan di wilayah Kabupaten Jayawijaya, Nduga, Lanny Jaya, Mimika, Asmat, Puncak, Puncak Jaya, Intan Jaya, dan Paniai. Kawasan konservasi ini juga berimpitan dengan area penambangan emas raksasa oleh PT Freeport Indonesia. Di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati yang dilindungi dan dianggap sebagai situs warisan dunia sejak 1999 dan dipantau oleh UNESCO setiap tahun.

Dokumen sidang UNESCO menyebutkan, pada 18 Desember 2018, organisasi ini telah mengirim surat permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia ihwal proyek jalan Trans Papua yang mengancam nilai-nilai universal luar biasa di Taman Nasional Lorentz. UNESCO juga mengirimkan protes lantaran tim International Union for Conservation of Nature (IUCN) PBB mendapat penolakan ketika akan meninjau taman nasional itu pada 2017.

Keamanan di Papua dan situasi politik menjadi alasan pemerintah Indonesia menolak kedatangan tim UNESCO tersebut. Padahal tim ini akan meninjau proyek jalan Trans Papua yang merusak Taman Nasional Lorentz sepanjang Habema-Kenyam. UNESCO khawatir pembangunan jalan ini memicu kerusakan lingkungan, deforestasi, dan perambahan hutan di dalam taman nasional. "Mengingat bahwa jalan itu dibangun dan dibuka untuk umum," demikian tertulis dalam keputusan UNESCO setelah sidang selama dua pekan sejak 16 Juli lalu.

Koordinator pada Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) di Indonesia, Yunitasari, mengamini laporan UNESCO yang membeberkan fakta sejumlah proyek bermasalah di Indonesia, termasuk jalan Trans Papua di Taman Nasional Lorentz. Meski begitu, dia enggan berkomentar karena masih akan rapat koordinasi dengan pemerintah Indonesia hari ini. "Rapat koordinasi ini membahas berbagai hal temuan UNESCO, termasuk Taman Nasional Lorentz dan Taman Nasional Komodo," kata Yunitasari, kemarin.

Penias Liay, anggota staf di Perkumpulan Nayak Oase, organisasi lingkungan hidup di Papua, menguatkan laporan UNESCO perihal kerusakan lingkungan di Taman Nasional Lorentz. Ia melihat saban hari truk-truk pengangkut kayu merbau keluar dari hutan kawasan Taman Nasional Lorentz. Kayu besi itu selanjutnya diboyong ke pabrik penggergajian kayu yang menjamur di Kabupaten Wamena, kabupaten yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz. Truk-truk ini membawa kayu dengan memanfaatkan jalan Trans Papua yang dibangun membelah hutan konservasi itu.

Pembalakan kayu langka di sana sudah menjadi pemandangan umum bagi masyarakat di Kabupaten Nduga dan Wamena, tak terkecuali bagi Penias. Praktik perambahan ini kian masif sejak adanya jalan Trans Papua. Jalan tersebut dibangun di atas jalan setapak yang sebelumnya dibangun oleh masyarakat dan perusahaan pemegang konsesi di wilayah itu. "Sekarang jalan Trans Papua sudah bisa dilewati truk untuk mengambil kayu dari dalam Taman Nasional Lorentz," tutur Penias kepada Tempo, kemarin.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, tak merespons upaya konfirmasi Tempo. Ia hanya membaca daftar pertanyaan yang dikirim Tempo ke telepon selulernya. Adapun Direktur Konservasi dan Hayati KLHK, Indra Eksplotasia, menolak berkomentar dan menyarankan Tempo menghubungi juru bicara Kementerian. "Hubungi Pak Kepala Biro Humas, ya, Nunu Anugrah," tutur dia. Nunu juga tak merespons upaya konfirmasi Tempo.

Prince Bernhard Chair di International Nature Conservation Utrecht University, Belanda, Profesor William Laurance, pernah mengkritik kebijakan pembangunan jalan Trans Papua melalui sebuah esai yang dipublikasi Yale School of The Environment pada 17 Januari 2019. Dia menyebutkan pembangunan jalan tersebut telah merobek jantung surga hutan tropis di Papua. "Ini menandakan awal dari berakhirnya kawasan rimba karena jalan itu membuka adanya deforestasi ilegal, perburuan liar, kebakaran hutan, dan datangnya investor pemilik konsesi," demikian dia menulis.

Antropolog dari Georgetown University, Amerika Serikat, Veronika Kusumaryati, menyebutkan laporan UNESCO perihal perintah penghentian pembangunan dan penggunaan jalan Trans Papua di Taman Nasional Lorentz tersebut telah gamblang menjelaskan adanya pelanggaran yang dilakukan Indonesia. "Ini jalan yang Jokowi berfoto dengan mengendarai sepeda motor trail pada 2017," tutur Veronika, yang juga peneliti di Papua.

Dia menyebutkan UNESCO menyoroti pembangunan Trans Papua sejak 2017. Setahun kemudian, Komite Pusat Warisan Dunia UNESCO meminta adanya analisis mengenai dampak lingkungan pembangunan jalan tersebut. Namun laporan EIA baru dikirim belakangan oleh pemerintah Indonesia setelah pembangunan berjalan. Veronika mengkritik pembangunan jalan Trans Papua yang dilakukan serampangan dan masif mengakibatkan kerusakan lingkungan. "Banyak ahli di luar negeri sudah bersuara soal ini karena Trans Papua merusak koridor konservasi," kata dia.

Veronika menuturkan pemerintah harus membenahi pengelolaan proyek di kawasan konservasi Taman Nasional Lorentz. Jika pemerintah tidak membenahinya, UNESCO dapat sewaktu-waktu mencabut status wilayah itu sebagai situs warisan dunia. Tentu, jika hal itu terjadi, akan merugikan Indonesia karena mengurangi pasar untuk wisata dan dana konservasi yang selama ini digaungkan pemerintah. "Indonesia memiliki waktu hingga 1 Februari untuk menyerahkan laporan perbaikan pengelolaan kawasan konservasi di wilayah itu," ujar Veronika.

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sunu Dyantoro

Sunu Dyantoro

Memulai karier di Tempo sebagai koresponden Surabaya. Alumnus hubungan internasional Universitas Gadjah Mada ini menjadi penanggung jawab rubrik Wawancara dan Investigasi. Ia pernah meraih Anugerah Adiwarta 2011 dan 2102.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus