Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Marina Tasha mendirikan sekolah sepatu roda Skatelovers.
Detje rajin berkeliling ke berbagai kota untuk menumbuhkan komunitas pesepatu roda.
Klub Bandung Timur Inline Skates kerap kedatangan anggota baru tiap pekan.
Kerinduan bermain roller skate di Lipstick Disco Skate Bandung pada akhir 1980-an membawa Marina Tasha kini terjun menjadi pelatih di Skatelovers, sekolah sepatu roda yang ia didirikan pada 2018. Setelah melihat temannya bermain sepatu roda di Bandung pada 2016, Acha—demikian Marina akrab disapa—mulai tertarik dan mencari sepatu roda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, toko yang menjual sepatu roda, terutama jenis quad skate, masih sulit ditemukan. Acha pun memodifikasi sneakers-nya menjadi sepatu roda. "Di-custom sama orang Bandung. Sudah gitu, pada 2018 aku main lagi sepatu roda di Jakarta," kata Acha kepada Tempo, Selasa, 17 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acha awalnya bermain sendirian di Gelora Bung Karno (GBK). Suaminya, yang punya hobi bermain skateboard, sering menemani Acha dan merekam kegiatannya menggelinding. Tak disangka, video-videonya beraksi dengan sepatu roda yang diunggah ke media sosial itu justru banjir komentar. "Teman-teman pada lihat dan nanyain. 'Itu sepatu roda? Mau, dong. Kok, ada sepatu roda?'" kata Acha, sambil menirukan komentar-komentar yang masuk.
Acha juga berkenalan dengan Detje Ahmad Nursyamsi, mantan atlet sepatu roda yang pernah meraih medali perak dalam PON XI pada 1985. Ketika melihat koleksi sepatu roda milik Detje, Acha mengusulkan pemilik Balance Inline Skate Academy Bandung itu mengajar di Jakarta sepekan sekali sekaligus menyewakan sepatu rodanya. Bak gayung bersambut, Detje langsung menerima tawaran tersebut.
Setiap akhir pekan, Detje mengajarkan teknik-teknik dasar sepatu roda kepada Acha dan teman-temannya. Tak mudah untuk mengadakan kelas tersebut. Wanita yang berprofesi sebagai makeup artist ini kesulitan mencari tempat. Ia beberapa kali pindah lokasi latihan karena kerap diusir. "Mungkin mereka pikirnya takut ngerusak lantai, padahal sepatu roda enggak merusak. Mungkin mereka nyamain dengan skateboard."
Marina Tasha (kiri) dan teman-temannya di Kemang Selatan, Jakarta. Dok. Skatelovers
Acha dan teman-temannya kemudian mendapat izin untuk berlatih sepatu roda di kawasan Pintu 3 GBK. Area parkir kendaraan itu hingga kini menjadi tempat favorit masyarakat yang ingin bermain quad skate ataupun inline skate. Latihan bersama Detje berakhir sampai lima kali pertemuan. Acha dan teman-temannya sudah lancar menggelinding dan mengetahui teknik berdiri, jatuh, belok, dan bangun yang benar.
Selanjutnya, Acha mencarikan sepatu roda untuk teman-temannya hingga ke luar negeri. Ia membuka sistem pre-order sesuai dengan permintaan. Di situlah awal terbentuknya Skatelovers sebagai toko sepatu. Permintaan sepatu roda semakin banyak karena kemunculannya disambut antusias di media sosial. Setelah melalui berbagai pertimbangan, Acha pun memutuskan membuka kelas latihan sambil mencicil membeli sepatu roda untuk disewakan.
Tak ingin menjadikan sepatu roda sekadar tren, Acha menawarkan kelas gratis bagi pembeli sepatu roda di tokonya. Ia punya keinginan menjaga eksistensi sepatu roda di masa mendatang. Menurut dia, olahraga sepatu roda sempat redup pada 1994 karena minimnya edukasi sehingga terjadi banyak kecelakaan.
Dari kelas pertamanya itu, animo masyarakat untuk belajar sepatu roda semakin tinggi. Warga Tangerang Selatan ini memutuskan serius membuka sekolah sepatu roda bersama suaminya. Ia juga mengajak beberapa murid dari kelas pertamanya untuk mengajar. Hingga kini, sudah 400 orang berusia 5-50 tahun pernah mengikuti kelas sepatu roda di Skatelovers. "Enggak dari Jakarta doang. Ada juga dari kota lain, seperti Makassar. Niat banget ikut kelas Skatelovers."
Peserta kelas sepatu roda Skatelovers mengikuti latihan di Kemang Selatan, Jakarta. Dok. Skatelovers
Menurut Acha, ada sejumlah manfaat yang bisa didapat dari bermain sepatu roda. Selain bisa menjadi olahraga kardio, sepatu roda cocok untuk orang yang menyukai tantangan dengan bermain di arena skatepark hingga menari. Olahraga sepatu roda juga fleksibel karena bisa dilakukan di dalam ataupun di luar ruangan. "Dan fashion juga. Lucu aksesorinya. Olahraganya semangat terus. Olahraganya juga enggak kayak olahraga. Kayak main-main, tapi keringat banyak," tuturnya.
Adapun Detje Ahmad Nursyamsi belakangan membuat akun Rollerlovers. Indonesia di Instagram untuk merespons quad skate yang ngetren kembali. Lewat akun yang dibuat pada medio 2021 itu, ia mengajak penggemar quad skate berusia dewasa mengikuti Dancerobics on Skate. Kursus itu berlangsung pada Selasa dan Jumat di Jalan Dago Nomor 8, Bandung. "Ini jenis sepatu roda lama yang dimainkan di indoor sambil berdisko pada era 1980-1990," kata Detje.
Ia terkenang masa mudanya. Dulu, di luar arena pertandingan, dia kerap mengikuti lomba dansa bersepatu roda. "Disetel musik lagu, langsung joget." Detje kini aktif menyambangi kelompok-kelompok pemain sepatu roda di Jakarta untuk berbagi cara bermain quad skate sambil berdansa. Dalam quad skate, posisi roda di bagian bawah sepatu seperti ban mobil, yaitu sepasang di belakang dan sepasang lagi di depan, serta ditambah alat rem berbentuk silinder.
Menurut Detje, yang sudah hampir empat dekade malang melintang di dunia sepatu roda, quad skate turun pamor pada 1991-1992. "Kemudian pada 1993 muncul tren inline skate yang booming pada 1994-1995," kata anggota Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia di Komisi Sepatu Roda Hoki dan Artistik serta Inline Hockey itu.
Pemillik akun Instagram Rollerlovers.Indonesia, Detje Ahmad Nursyamsi. Dok. Pribadi
Inline skate sempat meredup pada 2000. Sepatu roda jenis baru itu memasang empat rodanya sejajar dari depan ke belakang. Variasi lainnya pada roda yang muncul dengan istilah banana. Pada jenis ini, roda belakang dan depan berukuran sama, sementara dua roda lain di bagian tengahnya berukuran diameter agak lebih besar. Kebangkitan inline skate, menurut Detje, terjadi pada 2011. "Ketika itu, dalam SEA Games, Indonesia banyak mendapat medali emas," ujar Detje.
Ketika bekerja di sebuah perusahaan roller blade asal Amerika Serikat pada 1994-1995, Detje suka berkeliling ke kota di Indonesia hingga mancanegara, seperti Taiwan dan Malaysia. Ia mengenalkan sekaligus mengajar cara bermain sepatu roda kepada anak-anak hingga orang dewasa sekaligus menumbuhkan komunitas pesepatu roda.
Selain menjual produk, Detje diminta melakukan pendekatan fundamental, seperti melatih hingga mengubah lahan terbengkalai menjadi arena latihan sepatu roda di daerah. Pekerjaan seperti konsultan itu masih ia lakukan sampai sekarang tanpa memandang apakah sepatu roda sedang tren atau tidak. "Dari yang hanya suka keliling kota, sekarang ikut melatih."
Di Bandung, Detje berupaya menjalin kerja sama dengan beberapa sekolah swasta tingkat taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Namun kebanyakan sekolah menolak menjadikan sepatu roda sebagai kegiatan ekstrakurikuler. "Alasannya dinilai mahal, takut celaka, dan merepotkan," kata Detje. Sebelum masa pandemi, pesertanya dari tiap sekolah berjumlah 20-40 anak.
Mantan muridnya juga dikerahkan untuk melatih di sekolah. Siswa yang menonjol diajak masuk ke klub untuk menjadi pemain berprestasi atau atlet. Di klubnya sendiri, yang didirikan pada 2008, sejauh ini sudah ada 1.000 lebih peserta yang dilatih Detje. Di luar itu, sebuah program acara di mal pada 2010, misalnya, selama dua pekan bisa menggaet 1.067 orang yang ingin berlatih sepatu roda.
Pelatih Bandung Timur Inline Skate Hery Royani di skate park Progresif, Bandung, Jawa Barat, 19 Mei 2022. TEMPO/Prima Mulia
Selain quad skate, inline skate kembali naik daun. Olahraga tersebut baru-baru ini kembali viral setelah aksi konvoi rombongan pesepatu roda di jalan raya Ibu Kota. Aksi itu terekam dalam sebuah video berdurasi 44 detik yang diunggah warganet lewat akun Twitter @pativ7. Setelah ramai kasus tersebut, komunitas GHOST (Ghelinding on the Street Bandung) ikut terkena imbas. Dampaknya terlihat pada unggahan kegiatan bersepatu roda komunitas tersebut di akun media sosial mereka, yang mendapat tanggapan miring dari netizen.
Menurut anggota komunitas itu, Hery Royani, perlu ada sosialisasi ke publik soal aktivitas sepatu roda yang positif, tidak melanggar aturan lalu lintas, dan tertib di jalan raya. Adapun aktivitas positif komunitas itu, misalnya, kegiatan amal membagikan bahan makanan pokok, ikut meramaikan acara festival musik, dan acara costume play (cosplay).
Meski mendapat kritik, Hery menilai peminat sepatu roda terus berkembang. Hal itu tampak pada jumlah anggota baru di klub Bandung Timur Inline Skates yang didirikan Hery pada 2018. "Setiap minggu selalu datang anggota baru. Tapi anggota lama yang keluar juga ada."
Biaya pendaftaran sebesar Rp 350 ribu dan iuran bulanan Rp 150 ribu untuk pemula, dengan jadwal latihan Sabtu dan Minggu. Beberapa tingkat di atasnya berlatih tiga hari dalam sepekan. Klub itu hanya melatih gaya free style dengan jalur pembinaan sebagai atlet. Kategorinya antara lain classic slalom, speed slalom, pair slalom, dan high jump. Jumlah anggota klub yang aktif saat ini 50-60 orang, dari usia 3,5 tahun hingga 19 tahun.
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo