Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokumen kajian BPOM menunjukkan hasil penelitian vaksin Nusantara tidak valid.
Tim peneliti vaksin Nusantara tidak bisa menjawab pertanyaan dari Komisi Obat dan BPOM.
Kedekatan dengan Terawan Agus Putranto membuat Komisi Kesehatan DPR memaksa BPOM mengeluarkan izin.
TIBA di lantai 7 Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu pagi, 17 Maret lalu, Penny Kusumastuti Lukito disambut sejumlah anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu langsung membeberkan kajian lembaganya terhadap vaksin Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, Penny juga menjelaskan peran lembaganya dalam penelitian calon vaksin. Misalnya memastikan aspek etika penelitian, perlindungan kepada masyarakat yang terlibat dalam uji klinis, validitas, serta kredibilitas data dan protokol penelitian yang benar. “Sekarang DPR mulai memahaminya,” ujar Penny kepada Tempo di kantornya, Jumat, 19 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vaksin Nusantara menggunakan metode berbasis sel dendritik, yaitu bagian dari sistem imun bawaan yang berpatroli di dalam tubuh untuk mendeteksi penyusup, seperti bakteri atau virus, dan melahapnya. Metode ini dikembangkan oleh Aivita Biomedical Inc, perusahaan asal Irvine, California, Amerika Serikat. Aivita menggandeng PT Rama Emerald Multi Sukses, perusahaan asal Surabaya, untuk mengembangkan penelitian vaksin itu. Penelitian ini juga melibatkan Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, serta Universitas Diponegoro.
Pada Rabu, 10 Maret lalu, Penny menjadi bulan-bulanan Komisi Kesehatan DPR. Selama 12 jam, ia dihujani pertanyaan dan kritik karena menolak meloloskan vaksin Nusantara ke uji klinis fase kedua. Anggota Komisi Kesehatan DPR dari PDI Perjuangan, Muchamad Nabil Haroen, mengatakan pertemuan informal itu digelar fraksinya untuk memediasi BPOM dan tim vaksin Nusantara. Selain itu, buat mendapatkan penjelasan yang utuh ihwal vaksin Nusantara. “Biar kesannya jangan saling tabrakan,” katanya.
Seorang peserta pertemuan di ruang Fraksi PDIP bercerita, Penny menjelaskan berbagai kejanggalan dalam penelitian vaksin Nusantara. Juga hasil inspeksi BPOM ke pusat uji klinis Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi dan laboratorium pemeriksaan imunogenisitas Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 12-13 Maret lalu. Selain itu, dia menjelaskan hasil pertemuan antara BPOM, tim peneliti vaksin Nusantara, dan Komisi Nasional Penilai Obat pada 16 Maret lalu.
Menurut Penny, lembaganya menemukan penelitian vaksin Nusantara belum memenuhi praktik manufaktur, praktik laboratorium, praktik klinis, dan pengumpulan dokumen yang baik. Misalnya komite etik penelitian berasal dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, sementara tempat penelitian di Rumah Sakit Kariadi. Seharusnya komite etik berasal dari instansi yang sama dengan tempat penelitian. “Tim etik itu melakukan monitoring dan pengawasan serta bertanggung jawab atas perlindungan terhadap subyek, yaitu manusia yang dilibatkan dalam uji klinis,” ucap Penny.
Dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM yang salinannya diperoleh Tempo menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin. Misalnya tidak ada validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian. Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama. Selain itu, produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril. Catatan lain adalah antigen yang digunakan dalam penelitian tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia. “BPOM menyatakan hasil penelitian tidak dapat diterima validitasnya,” tertulis dalam dokumen tersebut.
Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI terkait pengembangan vaksin Merah Putih dan vaksin Nusantara, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 10 Maret 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang mengetahui hasil penelitian fase pertama, juga mempertanyakan validitas pengujian. Ia mencontohkan, sebagian sukarelawan vaksin dendritik diketahui telah memiliki antibodi terhadap virus corona. Artinya, subyek penelitian tersebut sudah pernah terkena Covid-19. Seharusnya sukarelawan belum pernah terkena corona.
Dokumen yang sama menyebutkan tak ada satu pun peneliti dari Indonesia yang bisa menjawab pertanyaan dalam pertemuan dengan Komisi Nasional Penilai Obat pada Selasa, 16 Maret lalu. Semua pertanyaan dijawab oleh peneliti dari Aivita Biomedica Inc, yang merupakan orang asing. Dalam bagian lain dokumen disebutkan bahwa uji klinis terhadap subyek warga negara Indonesia dilakukan oleh peneliti asing yang tidak dapat menunjukkan izin penelitian. Bukan hanya peneliti, semua komponen utama pembuatan vaksin Nusantara pun diimpor dari Amerika.
Kepala BPOM Penny Lukito membenarkan isi dokumen tersebut. Ia mencontohkan, para peneliti bahkan tidak bisa memastikan metode dendritik yang diteliti merupakan vaksin atau terapi. “Penelitinya tidak bisa menjawab,” katanya.
Muhammad Karyana, peneliti vaksin Nusantara, mengatakan timnya sudah menjelaskan penelitian yang mereka lakukan dan menjawab segala pertanyaan yang muncul dalam rapat dengar pendapat. “Kami melakukan penelitian untuk mendapatkan data secara ilmiah. Kami ini bukan orang yang cuma bisa disuruh-suruh.” ujarnya. Ia pun mengklaim seluruh penelitian dan produksi vaksin Nusantara dilakukan secara steril. “Memangnya kami mau vaksinasi hewan?” kata Karyana, yang merupakan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Adapun Terawan Agus Putranto dalam rapat kerja di DPR mengklaim pengembangan sel dendritik dilakukannya sejak 2015 saat menjabat Kepala RSPAD. Ia pun mengklaim hasil penelitiannya berjalan positif. “Semua berjalan baik, membuat kami mantap,” ucapnya.
•••
DIGAGAS oleh bekas Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, pada pertengahan 2020, vaksin dendritik semula bernama Joglosemar. Asma vaksin Nusantara melejit setelah kunjungan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, pada pertengahan Februari lalu. Kala itu, anggota Komisi Kesehatan yang hadir menyatakan dukungan penuh untuk vaksin tersebut.
Politikus Partai NasDem, Fadholi, menuturkan, dalam pertemuan itu, para peneliti sudah mengeluhkan soal lambannya persetujuan penelitian uji klinis fase kedua dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Padahal vaksin--atau terapi--tersebut direncanakan digunakan secara massal pada pertengahan tahun ini. “Mereka sudah melalui uji klinis pertama, butuh izin melanjutkan proses penelitian dan merasa dihambat oleh BPOM,” ujar Fadholi ketika dihubungi, Rabu, 17 Maret lalu.
Seusai pertemuan itu, kata Fadholi, terjadi komunikasi yang intens antara tim peneliti dan para anggota Dewan. Saban pekan, ia selalu bertanya kepada Terawan ataupun tim peneliti melalui telepon ihwal perkembangan vaksin dendritik. Fadholi membenarkan kabar bahwa Terawan dekat dengan banyak anggota Komisi Kesehatan DPR. Bahkan sejumlah anggota DPR dan keluarganya pernah menjadi pasien pengobatan metode digital subtraction angiogram alias “cuci otak” yang dikembangkan Terawan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.
Anggota Komisi Kesehatan DPR dari PDI Perjuangan, Muchamad Nabil Haroen, mengingat ia pernah meminta tolong kepada Terawan pada tengah malam untuk membantu kenalannya mendapatkan perawatan Covid-19. “Awalnya saya telepon, tapi enggak diangkat. Pak Terawan lalu menelepon balik dan memberikan bantuan,” ucapnya.
Dua politikus partai pendukung pemerintah bercerita, kedekatan Terawan dengan petinggi partai politik membuat sejumlah anggota dan pemimpin Komisi Kesehatan DPR menggagas rapat soal vaksin Nusantara. Gagasan itu muncul karena izin dari BPOM untuk uji klinis tahap kedua tak kunjung keluar. Dalam rapat yang digelar pada Rabu, 10 Maret lalu, Komisi Kesehatan menginstruksikan Kepala BPOM mengeluarkan izin fase kedua paling lambat sepekan berikutnya.
Darul Siska, anggota Komisi Kesehatan dari Partai Golkar, menyatakan komisinya akan menggelar lagi rapat dengan BPOM sampai izin dikeluarkan. Ia mengklaim vaksin Nusantara merupakan inovasi dalam dunia kesehatan sehingga protokolnya tidak perlu disamakan dengan vaksin pada umumnya. “Jangan kaku banget, sejauh tidak menyimpang dari cara pembuatan obat yang baik dan benar, tidak apa-apa,” tuturnya. Sikap Komisi Kesehatan DPR itu menuai kritik dari berbagai kalangan. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan DPR telah menarik penelitian saintifik ke ranah politik.
Alih-alih menerbitkan izin, Kepala BPOM Penny Lukito justru menyatakan vaksin dendritik harus memulai penelitian dari tahap awal, yaitu fase praklinis. Penyebabnya, konsep penelitian sejak awal belum tervalidasi. BPOM pun sudah memberikan berbagai catatan, tapi tidak menemukan adanya perbaikan penelitian. Selama belum ada perbaikan, kata Penny, BPOM tak akan mengeluarkan izin penelitian. “Kami tidak bisa ditekan-tekan,” ujarnya.
Menurut Penny, perkembangan vaksin dendritik itu juga dibahas dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. Pada 12 Maret lalu, melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi mengungkapkan dukungannya untuk pengembangan vaksin dalam negeri. Namun Presiden meminta penelitian vaksin harus sesuai dengan kaidah saintifik dan uji klinisnya sesuai dengan prosedur. “Presiden mempercayakan (pengujiannya) kepada BPOM,” kata Penny.
HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo