TAWAR-menawar urusan keyakinan mengakibatkan keluarga Gusti Wayan Jelantik jadi orang buangan. Mereka penduduk Banjar Celuk, Desa Tiyingtali, 105 km dari Denpasar, Bali. Ayah tujuh anak itu meninggal dalam usia 75 tahun, lebih dari sebulan yang lewat. Semasa hidupnya, petani ini berwasiat agar mayatnya tidak usah diaben atau dikubur seperti orang kebanyakan, tapi anak-anaknya bertapa saja di pura 42 hari, hingga mayat sang ayah moksa atau menyatu dengan Ida Hyang Widhi di surga. "Kami tidak berani melanggar pesan beliau sebab ada kutuknya," kata Gusti Made Jelantik, 33 tahun, putra sulung. Lalu, ia bersama lima adik dan 10 saudara lainnya bertapa di Pura Ayu, Gunung Lempuyang -- 5 km dari dusunnya. Made yang berambut gondrong itu mengaku dirinya resi atau begawan, dan bertapa untuk mendengar wisik atau bisikan mendiang ayahnya. Sempat 18 hari bertapa, mereka lalu diusir warga setempat. Mereka pindah ke Pura Gamongan, masih di lereng gunung itu, dan bertapa sampai polisi mengajak pulang tiga hari kemudian. Meski tapa tak selesai, Made merasa sudah mendapat wisik ayahnya. Ia lalu berhenti jadi pegawai Bank Rakyat Indonesia Cabang Karang Asem. Bukan hanya ia yang percaya ayahnya ketitisan Hyang Gni Jaya -- merupakan titisan Betara Gunung Batur -- tapi juga adiknya, Ketut Dirga, yang tadinya karyawan Hotel Senggigi Palace, Lombok. Dan adiknya yang perempuan mengundurkan diri dari Hotel Puri Raharja di Kuta. Tapi, di mata warga dusun, pernyataan mereka tak lebih dari bualan belaka. Keluarga Jelantik bahkan dicurigai punya ilmu hitam. Sebab, di rumahnya, yang rimbun oleh pepohonan dan kebun, berdiri sebuah menara bambu 15 meter, dibungkus kain poleng yang menakutkan. Semasa hidupnya, Wayan Jelantik dianggap gila. Dan ketika penduduk menjenguk rumah mendiang, jasadnya ditemukan membusuk di kamar -- juga puluhan ekor ayam piaraan yang sudah membusuk. "Kalau moksa, seharusnya tak ada bau busuk dan tak ada jenazah," kata seorang warga Banjar Celuk. "Yang bau busuk itu bangkai ayam, bukan jenazah ayah saya," sambut Made. Pamong desa dan petugas keamanan menghindari debat ihwal moksa, dan mendesak agar mayat segera dikubur. Ini dipatuhi. Namun, warga masih syak. Besoknya kuburan itu dibongkar, disaksikan petugas keamanan setempat. "Jangan-jangan yang dikubur itu bongkol pisang," Made Jiwa mengutip seorang penduduk. Toh Made Jelantik dan adik-adiknya tetap percaya, sang ayah mengalami moksa. Akibat keyakinan mereka yang dianggap sungsang itu, seperti dilaporkan Putu Wirata dari TEMPO, penduduk mengamuk dengan vonis anarkis: membakar ludes dua rumah keluarga Jelantik, akhir Januari lampau.Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini