Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pembangunan rasa malu

Pembangunan yang berlangsung cepat dan mekanistik akan cepat membawa perubahan sosial. yang ketinggalan akan menggunakan segala kesempatan. jika kesenjangan semakin lebar, orang tua dan remaja akan saling menyalahkan.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT kabar The Asian Wall Street Journal, 5 Januari 1994, dalam berita tentang situasi ekonomi dan perilaku etik di Brasil, menyatakan: "Bukan uang yang kurang di Brasil, tapi rasa malu." Hilangnya rasa malu mungkin bukan monopoli Brasil. Juga bisa terjadi di negara berkembang lainnya yang juga sedang ingin membangun ekonominya. Pembangunan di banyak negara berkembang pada umumnya sangat menekankan pertumbuhan ekonomi dan dibayangi oleh keinginan untuk segera menyusul negara yang sudah lebih maju. Pembangunan yang dilakukan pada umumnya mengikuti pola pembangunan di negara-negara Barat. Di Barat, pembangunan yang dilakukan seusai Perang Dunia II cenderung mekanistik dan teknologis, dan sangat sedikit menyentuh atau memperhatikan nilai-nilai sosial. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Chandra Singh Hardy, dari Bank Dunia, tahun 1987: "... there is what the 20-th century or postwar world offered, called development. It is a simple model, very clearly defined. It is mechanistic, it is technological, and it has limited ranking of values. You save, you invest, you acquire, you dominate, you beat other person, and that is what is development." Tidak perlu ada rasa rikuh, risi, ataupun rasa malu kalau ingin maju, kalau perlu dengan menyikut teman pun boleh. Barangkali harus begitulah sikap manusia yang ingin meningkatkan kehidupan ekonominya dalam dunia yang semakin kompetitif. Agaknya, tidak dapat dihindari bahwa pembangunan yang berlangsung cepat dan mekanistik akan cepat pula membawa perubahan sosial. Yakni, perubahan pada tata nilai yang cenderung menjauhkan manusia di dunia berkembang dari akar budayanya. Sebagian dari masyarakat ada yang mampu dengan cepat melakukan penyesuaian dan menikmati hasil pembangunan, dan sebagian lainnya akan tertinggal. Tertinggal karena memang tidak mampu mengejar, atau tertinggal karena terlalu banyak dibebani rasa rikuh, risi, dan malu untuk berbuat seperti yang dikatakan Chandra Singh Hardy di atas. Mereka yang sudah berada di depan dengan cara yang meninggalkan nilai-nilai sosial akan makin serakah dan makin lupa akan teman-teman sebangsanya. Semua gerakan harus dapat segera dinilai dengan rupiah. Maka, lapangan olahraga yang terbuka untuk anak-anak dan remaja digusur untuk pembangunan pusat perbelanjaan. Sebaliknya, lapangan golf yang mahal dikembangkan karena inilah yang menghasilkan uang. Sarana pengembangan kreativitas anak-anak dibiarkan mati, tapi sarana hiburan yang "siap pakai", dengan menu yang sudah diracik, serta harus membayar, menjadi lahan usaha baru. Semua serba mekanistik, serba teknologi, cepat menghasilkan uang, dan sangat tipis dalam hal nilai-nilai. Sementara itu, sebagian dari mereka yang tertinggal ada yang tidak tahan merasakan ketertinggalan lalu ikut melepaskan rasa rikuh, risi, atau malu. Mereka akan menggunakan segala kesempatan untuk mengejar ketinggalan. Yang pejabat akan menggunakan jabatannya, kalau perlu dengan menekan kelompok yang lebih lemah jika ia tidak sanggup menekan pemilik uang. Yang mempunyai senjata akan menggunakan senjatanya, dan yang tidak memiliki apa-apa mencoba nasib melalui lotre walaupun uangnya sendiri sangat terbatas. "Mencari yang tidak halal saja sulit, apalagi mencari yang halal," kata mereka kalau diingatkan supaya mencari rezeki yang halal. Bagi orang Jawa barangkali inilah saat berlakunya ucapan Ronggowarsito yang sudah sangat sering dikutip, "Dalam zaman edan, yang tidak edan tidak akan kebagian." Lalu keadaan seperti di Brasil pun akan terjadi. "It is not money lacking in Brazil, it is shame." Lihat, film yang menampilkan adegan seks yang seronok serta kekerasan yang bersimbah darah menjadi komoditi untuk menarik uang. Soal logika cerita dan soal nilai-nilai, apalagi yang edukatif dan kultural, hanya ada dalam retorika. Kemudian, ketika para remaja meniru sajian film tersebut, remaja itulah yang dipersalahkan. Jika remaja melakukan penyimpangan, itu bukan salah orang tua, tapi salah remaja itu sendiri. Para remaja dituduh mengalami kemerosotan moral, kurang mendapat pendidikan agama, dan tidak menghayati nilai-nilai luhur budaya bangsa. Keadaan itu dicoba diatasi dengan pendidikan agama dan nilai- nilai luhur budaya bangsa. Bila perlu, itu dilakukan melalui cara yang indoktrinatif, hafalan, dan mengutamakan aspek ritualnya karena bagian inilah yang mudah tampak untuk dievaluasi. Bukan memacu penalaran dan daya pikir kritis. Kelompok remaja dianggap seperti anak kecil yang tidak boleh berpikir kritis dan hanya boleh menerima. Bahkan ada kalanya mereka dianggap seolah tidak pernah ada. Maka, para remaja pun memberontak, melakukan perbuatan anti sosial, anti kemapanan, atau menjadi fundamentalis yang keras. Mereka harus mencari jalan sendiri untuk diakui kehadirannya. Jika kesenjangan makin lebar, terjadilah saling tuding: orang tua menyalahkan remaja dan remaja menyalahkan orang tua. Mereka sudah biasa dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung menyalahkan orang lain ketika terjadi penyimpangan dari harapan. Pada waktu masih anak-anak, mereka diajari menyalahkan meja jika kepala terantuk tepi meja. Meja pun dipukul dan dikatakan nakal. Maka, ketika besar sudah terbiasa mencari sasaran untuk dipersalahkan. Baik yang kiri maupun yang kanan. Tidak ada kemauan untuk mawas diri, barangkali kesalahan ada pada diri kita sendiri. Yang berkembang kemudian bukan masyarakat yang saling asih dan asuh, tapi masyarakat yang saling mengucilkan. Bukan the caring society, tapi the alienating society. Jika hal itu dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, lalu di mana makna manusia seutuhnya yang dijadikan tujuan pembangunan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus