DALAM dunia seni rupa yang didominasi seni lukis, diselenggarakannya pameran patung bisa dianggap sebagai seling- an yang menyegarkan. Pengunjung tak hanya menatap bidang dua dimensi, tapi bisa menikmati dengan mengelilingi karya yang dipamerkan, misalnya. Dengan kata lain, kesadaran akan ruang, sentuhan "benda" di sekitar kita, lebih mudah terjadinya. Coba saja kunjungi pameran patung yang diberi judul "Nafas Kayu" di Gedung Pameran Seni Rupa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Gambir, Jakarta, sampai Sabtu pekan ini. Sejumlah karya dari kayu dan lempengan tembaga, antara lain, seolah menarik pengunjung untuk mendekat, menjauh, menyamping untuk menemukan imaji keseluruhan dan sudut pandang yang tepat. Hal yang lain dalam pameran berdua ini, Edith Ratna Soerjosoejarso dan Bernauli Pulungan, karya yang dipamerkan punya dua kecenderungan berbeda. Yakni, kecenderungan merepresentasikan realitas alam, dan yang menjadi realitas itu sendiri. Edith, lulusan Seni Rupa ITB tahun 1972, seperti tidak menghendaki patung-patungnya merepresentasikan suatu objek. Judul-judul karyanya sendiri sudah mencerminkan itu: Continuity atau Dialogue. Karya dari kayu yang seperti suluran melingkar dan membelit (Continuity) atau bentuk seperti bola didukung sebongkah kayu bervolume yang permukaannya lengkung (Dialogue), di ruang pameran, menjadi wujud itu sendiri yang membentuk suasana di sekitarnya. Bila saja ada judul patung yang menyarankan representasi objek, itu lebih sebagai simbol. Misalnya, Yoni dan Lingga, patung dua balok yang menekan sebuah objek, dan objek yang ditekan itu lalu bergelombang -- suasana menekan itulah yang lebih tampil daripada imaji lingga dan yoni. Dengan kata lain, dalam bahasa seni patung, Edith lebih menggarap masalah massa, volume, ruang, rongga, barik, dan lain-lain. Ia tak membentuk sesuatu menjadi mirip, atau secara asosiatif mengingatkan pada -- apalagi sengaja membuat replika dari -- realitas. Tentunya bisa saja Edith bertolak dari bentuk realitas. Tapi, dalam proses penciptaannya, elemen-elemen seperti yang sudah disebutkan itulah yang ia garap. Hasilnya itu tadi: sebuah suasana. Bisa jadi itu sesuatu yang terasa hadir bertumpuk (konstruktif), yang seimbang dan harmonis. Atau, sebentuk volume yang seolah terlihat kembang- kempis seperti bernapas. Atau, bentuk-bentuk yang saling menekan, saling memutar, atau saling menarik. Itulah (kembang-kempis, saling memutar, saling menarik, dan lain-lain) yang menimbulkan empati pada penonton. Tapi memang tak semua karya Edith mengundang empati, memberi kesan kekayaan bentuk. Beberapa karya masih terasa sebagai bahan, sebagai kayu. Lalu, apa yang muncul dalam diri kita saat berhadapan dengan karya Edith? Tentunya imaji atau kesan antara orang yang satu dan yang lain berbeda-beda. Yang satu bisa saja mendapat kesan, setelah melihat keseluruhan karya Edith, "... haruskah kehidupan manusia dalam alam semesta dilihat sebagai yang utama ...?" tulis Jim Supangkat dalam katalogus pameran. Yang lain bisa saja bilang, ia menemukan pengalaman estetis ketika melihat patung Edith dan itu membuatnya menikmati bentuk-bentuk di sekeliling hidupnya. Ia tak lagi hanya melihat fungsi pada meja atau pot bunga, tapi juga bentuk meja dan pot itu sendiri. Dan itu memperkaya hidupnya, membuatnya lebih peka terhadap bentuk-bentuk di sekelilingnya. Sementara Edith adalah "pencipta bentuk", Bernauli Pulungan, 43 tahun, bisa disebut sebagai "pengembang bentuk". Lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 1981 ini terasa mirip pematung Bali tradisional dalam hal-hal tertentu, terutama tentang bagaimana ia melihat bahan. Ia tak mencoba memaksakan bentuk yang ada dalam kepalanya dan kemudian mengubah sama sekali bahan (kebanyakan kayu, memang) itu. Ia mengikuti imaji yang tercipta dari bahan, lalu lahirlah karya patungnya. Atau, jika satu bahan dirasakan oleh Bernauli memerlukan tambahan sesuatu, ia akan membentuk sesuatu itu dan kemudian menambahkannya pada bahan semula. Tentu saja, dua hal itu tak lalu dipadukan begitu saja. Ada penggarapan di sana-sini yang menyebabkan dua hal tadi menyatu. Tampaknya, pematung yang sangat pro pelestarian lingkungan hidup ini memang ingin menjaga kesan alam dalam karya-karyanya. Lebih dari itu, ia beranggapan bahwa alamlah pendorong semangat penciptaannya. Dari semangat seperti ini, lahirlah karya-karya patung yang mengalir, meliuk, sebagaimana bentuk-bentuk pada benda yang tumbuh di alam raya. Hal ini dapat ditemukan di hampir semua karyanya, misalnya Massa, Pohon, Siklus, dan Habitat. Ia mencampurkan lempengan tembaga pada kayu, atau mencampur tembaga, besi, dan kayu. Tujuan akhirnya: menciptakan bentuk-bentuk figuratif atau terkesan figuratif. Dan tentu saja beberapa karya Bernauli mencitrakan protes terhadap perusakan lingkungan hidup. Lihat misalnya Petani. Patung ini menggambarkan sesosok petani yang berdiri terpaku, dengan dua bola golf bertengger persis di kakinya. Lapangan golf, tempat mereka yang berkecukupan berekreasi, pelan-pelan merambat dan merebut lahan petani. Itulah! Atau Exodus, yang menggambarkan sekelompok gajah mencari tempat perlindungan karena ruang geraknya kian sempit dibabat industri. Ini juga tersirat pada patung penggembala itik yang tampak kebingungan ke mana hendak membawa itik-itiknya. Mau ke Mana, judul patung dari bahan lempengan tembaga berlapis emas ini, memang mengharukan. Karya ini tiba-tiba saja mengingatkan kita pada pemandangan di pinggiran Jakarta: seekor tupai melompat dan meluncur di kabel telepon, putus asa mencari pohon. Edith mengaku emosinya bisa lebih lepas setelah ia mematung dengan bahan kayu. Tapi tak semua patungnya mencerminkan sentuhan emosi itu. Beberapa torsonya lebih memunculkan perhitungan rasional (soal keseimbangan, kontras, dan lain- lain). Adapun Bernauli, hampir semua karyanya menyiratkan sentuhan emosi. Terlepas dari soal teknis, bila kita masih percaya bahwa karya seni menjadi berharga karena memberikan pengalaman batin, bila ukurannya adalah ini, karya-karya Bernauli tampaknya lebih menyentuh.S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini