Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat Direktur Jenderal -Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot kepada kepala dinas energi provinsi di seluruh Indonesia menggegerkan para pebisnis sektor pertambangan. Layang bertanggal 7 Februari 2019 itu berisi penetapan kuota produksi batu bara provinsi untuk tahun ini. Sejumlah daerah mengalami pemangkasan jatah yang cukup signifikan.
Provinsi Kalimantan Timur, misalnya, mendapat alokasi produksi 33,28 juta ton tahun ini, hampir setengah dari realisasi tahun lalu yang mencapai 69,64 juta ton. Begitu pula Kalimantan Selatan, yang kuotanya dipangkas menjadi 32,18 juta ton, jauh di bawah realisasi penambangan tahun lalu sebanyak 78,05 juta ton. Nasib serupa menimpa Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara. “Dipotong karena DMO tidak memenuhi. Itu aja,” kata Bambang kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
DMO atau domestic market obligation adalah kewajiban perusahaan tambang memasok hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketentuan mengenai hal itu termuat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 3 huruf c aturan itu menyebutkan bahwa ketersediaan mineral dan batu bara sebagai bahan baku sumber energi dalam negeri bertujuan mendukung pembangunan nasional.
Komposisi Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batu Bara 2018
Kementerian Energi mengatur lebih lanjut ketentuan tersebut, antara lain tentang volume dan harga. Tahun ini, Kementerian menetapkan DMO batu bara nasional sebesar 26,12 persen dari target produksi 489,12 juta ton. Jumlah itu meningkat dibanding tahun lalu, yakni 25 persen dari produksi 485 juta ton.
Pemerintah mengidentifikasi sejumlah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) berstatus produksi tak memenuhi kewajiban DMO. “Malah ada yang tidak menjual untuk DMO sama sekali,” Bambang menambahkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 23 K/30/MEM/2018, perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan DMO dikenai sanksi berupa pemotongan produksi tahun 2019 serta pengurangan kuota ekspor.
Sanksi dijatuhkan melalui surat yang dilayangkan kepada para kepala dinas energi. Kontan saja hal ini memicu keresahan di kalangan pengusaha pemegang IUP. Mereka khawatir kuota produksi yang merosot drastis itu akan berdampak pada perusahaan. Padahal mereka telah memiliki rencana kerja dan anggaran perusahaan yang dibuat pada akhir tahun lalu. Beragam reaksi muncul dalam pembicaraan internal para pelaku usaha.
Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mencoba melakukan mediasi. Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli mengatakan organisasi ini akan menginisiasi diskusi dengan Kementerian Energi, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, serta dinas energi di daerah untuk mencari solusi atas persoalan tersebut. Tujuannya: iklim usaha pertambangan lebih bergairah dan tetap memberikan kontribusi yang optimal bagi negara.
Apalagi, menurut Indonesian Mining Association (IMA), pendapatan negara terbesar berasal dari industri pertambangan. Selama 2018, realisasi penerimaan negara bukan pajak dari sektor ini mencapai Rp 46,6 triliun. Jumlah itu meningkat dibanding penerimaan 2017, yang sebesar Rp 37 triliun.
Perhapi juga berencana membahas masalah ini dengan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, IMA, dan para pelaku usaha batu bara lain. Dari situ diharapkan ada usul sistem yang sudah mempertimbangkan segala aspek.
PERHIMPUNAN Ahli Pertambangan Indonesia mafhum bahwa kebijakan memasok kebutuhan dalam negeri wajib dipenuhi. Ketidakmampuan menyelesaikannya pada tahun lalu akan berdampak terhadap kegiatan penambangan pada tahun berikutnya. Sebab, kuota produksi ditetapkan sebesar empat kali realisasi DMO tahun sebelumnya.
Menurut Rizal Kasli, pemerintah telah mensosialisasi peraturan yang diberlakukan mulai Januari 2019 itu. Tapi, masalahnya, pemerintah tidak mengadakan pembahasan komprehensif dengan melibatkan pelaku usaha untuk mendapat masukan yang riil di lapangan, termasuk dalam mencari keseimbangan perspektif antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku industri. “Seharusnya ada diskusi yang lebih komprehensif dan tajam sebelum kebijakan diputuskan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia mengatakan pada dasarnya perusahaan ingin memenuhi kewajiban memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi sederet persoalan menghadang. Selain masalah spesifikasi batu bara yang tak cocok dengan kebutuhan, sulit mencari pasar dalam negeri.
Pemerintah sebenarnya membuka peluang melalui mekanisme transfer kuota. Dalam hal ini, perusahaan yang telah menyelesaikan kewajiban DMO dan masih memiliki batu bara yang sesuai dengan kebutuhan domestik diizinkan menjual stoknya untuk memenuhi kuota kewajiban perusahaan lain. Cara ini dilakukan secara bisnis antarperusahaan.
Namun, menurut Hendra, tidak mudah merealisasi transfer kuota. Perusahaan yang memiliki stok menawarkan batu bara dengan harga tinggi. Perusahaan menetapkan angka koefisien pengali yang tinggi sehingga harga produk menjadi mahal.
Bagi perusahaan, kesempatan bisa menjual mahal itu digunakan untuk menutup kerugian saat harus berjualan murah di dalam negeri ketika harga ekspor sedang bagus beberapa waktu lalu. Sebaliknya, pemegang izin usaha pertambangan yang hendak membeli untuk memenuhi kewajiban DMO akan buntung dua kali. Sebab, kewajibannya memenuhi pasar domestik—ke pembangkit Perusahaan Listrik Negara, pembangkit swasta, atau pembeli domestik lain—dipatok dengan harga lebih murah ketimbang harga beli ke perusahaan yang menjual transfer kuota.
Salah satu perusahaan yang banyak menjual batu baranya untuk transfer kuota adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Perusahaan tambang batu bara milik negara ini merealisasi transfer kuota hingga 2.681.650 ton pada tahun lalu. Sekretaris Perusahaan Suherman menyebutkan perseroan memperkirakan kelebihan DMO yang bisa ditransfer tahun ini mencapai 6,5-7 ton. Tapi, menurut dia, mekanisme ini tidak serta-merta lebih menguntungkan PTBA dibanding ekspor. “Tergantung indeks batu bara sebagai acuan harga,” ucapnya. Soal harga yang dinilai kemahalan, Suherman tak bisa menjawab. “Wah, saya enggak tahu itu.”
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada Februari 2019 sebesar US$ 91,80 per ton. Angka itu turun tipis 0,66 persen ketimbang bulan sebelumnya, US$ 92,41 per ton. Tren HBA tercatat terus menurun sejak Agustus 2018, yang sebelumnya mencapai US$ 107,83 per ton. Harga patokan itu berlaku untuk produk dengan spesifikasi di atas 6.000 kalori. Artinya, harga acuan produk berkalori rendah akan berada di bawah itu.
Seorang pebisnis batu bara di Kalimantan Timur bercerita, karena mekanisme transfer kuota mahal, perusahaannya terpaksa mencampur batu baranya yang berkalori rendah dengan produk perusahaan lain yang berkalori tinggi. Pilihan ini pun, menurut dia, tidak mudah. Sebab, pemilik produk berkalori tinggi itu rata-rata perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan batu bara yang telah menjalin kontrak jangka panjang dengan pembeli, selain, tentu saja, harga yang mereka tawarkan lebih mahal.
Masih Jauh dari Realisasi
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Akademikus Universitas Kutai Kartanegara, Sundek Hariyadi, menyarankan pemerintah semestinya menerapkan good -mining practice dengan membuat kebijakan yang bersifat jangka menengah atau panjang. Keputusan tentang kuota yang baru keluar Februari tentu merepotkan perusahaan yang telah merancang rencana kerja dan anggaran sejak akhir tahun lalu. “Ini rantainya panjang. Perubahan rencana produksi, berkaitan dengan bujet, tenaga kerja, alat berat yang mesti disediakan, dan banyak hal lain,” tuturnya.
Saat ini, ia mengamati perusahaan masih melakukan kegiatan sesuai dengan rencana. Belum ada pemangkasan produksi untuk menyesuaikan diri dengan alokasi kuota yang diperoleh perusahaan. Biasanya, kata Sundek, dinas energi provinsi mengevaluasi rencana kerja anggaran dan biaya pada pertengahan tahun. Bila produksi telah melampaui target, pemerintah akan mengeremnya. “Kalau itu terjadi, dampaknya akan sangat kentara. Ada potensi pemutusan hubungan kerja besar-besaran.”
Ia bercerita, sebuah perusahaan di Kalimantan Utara yang merencanakan produksi sebesar 1 juta ton setahun tiba-tiba sekarang mendapat alokasi produksi 130 ribu ton saja. Padahal perusahaan telah mengeluarkan investasi untuk menyiapkan produksi seturut rencana. Ini belum bicara tentang IUP yang sebelumnya berstatus eksplorasi, yang kini memasuki tahap produksi. Perusahaan kategori ini telah menyiapkan rencana kerja teknis, lingkungan, dan lain-lain. Tapi sekarang ada pembatasan kuota produksi.
Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Ridwan Hisjam menilai pemerintah berusaha menjalankan regulasi yang telah dibuat secara konsisten demi keberpihakan pada kebutuhan nasional. Sebab, bila tidak demikian, pemerintah akan diprotes perusahaan-perusahaan yang telah memenuhi aturan DMO, baik yang berproduksi langsung maupun melalui transfer kuota. “Ini pilihan sulit bagi pemerintah apabila tidak konsisten.”
Bagi Kementerian Energi, kebijakan mengenai DMO tak bisa ditawar lagi. “Ya, pokoknya kalau tidak memenuhi DMO seharusnya kuota produksi tahun berikutnya malah nol. Udah, itu aja,” kata Bambang Gatot.
RETNO SULISTYOWATI, DIAZ PRASONGKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo