Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para blogger ternyata tidak harus me-reka yang ahli di bidang teknologi informasi. Para penutur di dunia maya itu datang dari berbagai kalangan: ibu rumah tangga hingga mo-del majalah pria dewasa. Dari seorang bos pemasaran sampai kalangan wartawan. Lewat weblog, orang-orang ini menyatakan kehadirannya di dunia maya—yang tak jarang akhirnya malah mengubah hidup mereka sehari-hari. Inilah profil beberapa blogger tersebut.
Tiara Lestari: Menyulap Amarah Jadi Bisnis
Tiara Lestari, 26 tahun, begitu marah ke-tika sejumlah media massa Indonesia menukilkan jalan hidupnya secara serampangan. Maklum, model yang pernah tampil polos di majalah Playboy Spanyol, Penthouse Thailand, Belanda, dan Australia ini diberitakan ”yang tidak-tidak”, tanpa secuil pun klarifikasi dari dirinya.
Disinformasi harus di-balas dengan informasi- akurat, begitu pikir gadis Solo ini. Karena saat itu ia masih mukim di -Si-nga-pura, Tiara me-milih blog seba-gai medium paling efektif -untuk menan-dingi berita miring itu. -Lahir-lah blog bertajuk Tiara Lestari’s Personal Journal pada September 2005. ”Ternyata publik menyambut ha-ngat,” -ujar Tiara saat ditemui di sebuah kafe di Jakarta, pekan lalu.
Hingga Juli ini, tercatat 250 ribu pengunjung melongok blognya. Dan ja-nganlah heran jika sebagian besar dari mereka adalah kaum adam.
Kini, sekitar 3-5 jam sehari ia habiskan di depan Internet mengurus blognya. Di rumah mayanya itu, Tiara akan menuliskan hal-hal yang menarik hatinya atau sekadar membaca komentar yang bertaburan di sana.
Tak dinyana, ternyata da-ri blog itu pula karier Tia-ra tetap moncer di dunia hi-buran. Banyak job, dari da-lam dan luar negeri, menda-tanginya setelah proses interaksi lewat weblognya. Me-nyadari potensi yang luar bia-sa itu, sulung tiga bersau-dara ini lalu membangun beberapa blog lagi dengan keunikan masing-masing. Blog khusus bagi fans wanita, misalnya, ia deklarasikan dengan tajuk Tiara Lestari’s 4 Women Only dan Call Tia-ra Lestari. Dia juga membuat Press for Tiara Lestari un-tuk kalangan media -massa.
Kini, sebuah buku yang berisi berbagai posting awal Tiara di blognya tengah dihimpun ke dalam sebuah buku. Ah, sebuah bisnis lahir lagi dari blognya.
Hasan Aspahani: Pemicu Proses Kreatif
Bagi Hasan Aspa-hani, 35 tahun, blog adalah tempat melempar puisi-puisinya agar lekas bisa berdialog dengan pembaca. Proses interaksi itu ternyata mempengaruhi proses krea-tif penyair kelahiran Sei Raden, Kabupa-ten Kutai Kartanegara-, Kalimantan Timur, ini. ”Saya seperti selalu tertantang oleh komentar pembaca,” kata pria yang berprofesi sebagai wartawan di Batam ini.
Bagi Hasan, menulis puisi di blog semula untuk membangun kepercayaan dirinya. Maklum, ia selalu- merasa tak percaya diri untuk me-ngirimkan karyanya ke media massa ternama. Berbekal itu, ia lalu menjajal mengirim puisi-puisinya ke berba-ga-i media berwibawa- Ibu Ko-ta. Setelah berkali-ka-li mencoba, akhirnya kar-yanya bisa dimuat.
Walau sudah muncul- di media massa, blog -ti-dak- ditinggalkannya. Membuka blog sambil me-nyeruput kopi adalah sa-rapannya setiap pagi se-belum memulai hari-nya-. ”Tanpa itu, kegia-t-an sepanjang hari akan terasa asing-,” kata dia. Total, dalam sehari ia meluangkan waktu tiga jam untuk- ngeblog.
Hingga kini sudah sekitar 1.000 puisi tersimpan di blognya yang berjuluk ”Sejuta Puisi Hasan Aspahani”.
Rovicky Dwi Putrohari: Pendongeng Bencana
Pria asli Yogyakarta berusia 43- tahun ini tak pernah mengira- bakal jadi bintang dis-kusi di Universitas -Internasional Kuala Lumpur, Februari 2005 silam. Di depan ratus-an mahasiswa dan- dosen, Rovicky fasih mendedahkan si-sik-melik tsunami yang baru saja melanda Aceh dua bulan sebelumnya. Dengan bantuan komputer jinjing, penjelasannya amat memikat. Aplaus panjang menggema begitu penuturannya tuntas.
Rovicky bukan orang yang biasa diundang ke seminar. Adalah blognya yang mengangkatnya ke tingkat internasional. ”Mereka mengundang bicara lantaran blog yang saya bikin,” kata lulusan Fakultas Tek-nik Geologi UGM ini. Dengan blog bernama ”Dongeng Geologi”, nama Rovicky telanjur kondang sebagai ahli bidang gempa dan tsu-na-mi. Puncaknya adalah saat petaka tsunami melantakkan bumi Se-rambi Mekah pada akhir- 2004 itu. Posting pertamanya tentang tsunami serentak diakses 4.000 orang di jam pertama!
Hari-hari ini, ketika se-rial gempa dan tsunami melanda tanah air, blognya diserbu pengunjung. ”Setiap harinya 8.000 orang me-link blog saya,” kata pria yang bercita-cita jadi guru ini. Tak mengherankan, Do-ngeng Geologi menjadi blog pa-ling populer hari-hari ini.
Rovicky, yang sekarang bekerja sebagai pegawai di perusahaan gas dan minyak ”Amereda HESS Malaysia”, memang sudah lama menggeluti dunia maya—bahkan sebelum era blog marak. Ia pernah menjadi penanggung jawab situs Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Lalu, muncullah zaman blog yang membuka kesempatan untuk membagi ilmu-nya. ”Blog menjadi media alternatif u-ntuk menyampaikan opini,” kata pria yang lulus S-2 dari Teknik Geofisika Universitas Indonesia ini.
Enda Nasution: Rujukan Blogger Indonesia
Sejak di bangku SMP, Enda Nasution, 31 tahun, sudah biasa menulis diary. Munculnya Internet kian memacu bapak satu anak ini mencatat -setiap kegiatannya, karena di jagat maya itulah ia bisa lebih bebas menyimpan ”sejarah” pri-badi-nya. Ketika blog mulai dikenal pada awal 2000-an, Enda memindahkan kebiasaan menulis diary ke ”anak kandung” Internet itu.
Ternyata pada masa itu belum banyak orang Indonesia yang terjun sebagai blogger. Enda ingat betul blogger yang bertebaran di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta waktu itu jumlahnya masih di bawah 100 orang. ”Sehingga kami saling kenal dan akrab,” ujar lulusan ITB ini.
Dengan jam terbangnya yang panjang itu, Enda menjadi sesepuh di kalangan blogger. Iia ringan ta-ngan membantu para pemula yang ingin asyik-masyuk dengan dunia blog. Sebuah panduan untuk blogger pemula pun telah ia pajang di blognya.
Enda juga menjadi semacam ”pembaptis” bagi blogger pemula, karena banyak di antara mereka mengirim alamat blognya kepada Enda agar diumumkan kepada khalayak weblog.
Tak hanya oleh para blogger, peran Enda juga diakui dunia internasional. Kegetolannya menyuarakan kebebasan berekspresi lewat blog menarik minat Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) untuk mengundangnya dalam konferensi Freedom of Expression, di Manila, April lalu. ”Ini menunjukkan keberadaan blog sudah diakui,” kata Enda yang nyaris online 24 jam itu.
Enda kini berdomisili di Bangkok, Thailand, dan bekerja sebagai e-marketing manager perusahaan setempat. ”Tahun depan saya merencanakan balik ke Indonesia,” ujarnya. Tentu, itu tak akan mengubah posisinya di rimba weblog.
Fatih Syuhud: Duta Negara
Seorang blogger asal Irak berinisial Reed memberi inspirasi bagi banyak blogger lain untuk mengikuti jejaknya. Pada 2004, catatan harian Reed tentang invasi Amerika ke negaranya menjadi bacaan alternatif di antara semburan berita seragam dari kantor berita internasional. Integritas dan idealisme Reed dalam melaporkan peristiwa itu berbuah manis. Kantor berita Reu-ters dan The Guardian, Inggris, lalu merekrut dia menjadi pegawainya.
Adalah A. Fatih Syuhud, salah satu blogger, yang terilhami oleh kisah Reed tersebut. Warga Indonesia yang sudah 10 tahun berdomisili di New Delhi, India, ini percaya setiap indi-vidu—da-lam hal ini setiap blogger—dapat berperan se-bagai duta untuk negaranya. ”Dalam blog, kita menjadi- self-publisher,” tuturnya. Sedangkan edi-tornya adalah pembaca luas. Karena alasan itulah Fatih tak segan menceburkan dirinya ke dunia blog.
Lama-kelamaan Fatih tidak hanya si-buk dengan blognya sendiri. Kandi-dat doktor bidang sosial-budaya ini menjadi pendorong blogger Indonesia untuk menulis dalam bahasa Ing-gris. Ia, misalnya, secara periodik mengulas blogger Indonesia yang menulis dalam bahasa Inggris. ”Ini penting agar isinya mendunia,” kata pria kelahiran Malang tersebut.
Berkat dedikasinya, Fatih ditunjuk menjadi kontributor di Global Voices Online, yakni sebuah gerakan nirlaba yang didirikan Universitas Harvard. Kontributor gerakan ini adalah kalangan blogger terpilih di seluruh dunia. Selain itu, ia juga menjadi kontributor tetap di Aqoravox—mirip Global Voices—yang bermarkas di Prancis.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo