Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metamorfosis kecebong? Apakah yang muncul dalam pikiran? Dari binatang kecil menyerupai ikan dan berenang-renang di kolam lalu menjadi amfibi berkaki empat dan kalau berjalan melompat-lompat? Bukan. Ini bukan soal hewan, melainkan sebuah fenomena gerakan sosial virtual yang muncul dalam pemilihan presiden 2014 dan tahun politik 2018. Pelabelan dari kubu seberang yang awalnya dialami sebagai pelecehan, ejekan, atau sindiran itu belakangan diklaim sebagai nama kubu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecebong dan kampret adalah dua julukan untuk dua kubu yang bersaing dalam pemilihan presiden 2014 dan berlanjut hingga sekarang. Pendukung Prabowo Subianto memberikan julukan kecebong, cebong, atau cebonger kepada pendukung Joko Widodo. Selain kecebong, ada julukan Jokodok, akronim dari Jokowi dan kodok, yang masih turunan dari kecebong. Sedangkan kampret atau kampreter merupakan pelesetan dari KMPsingkatan dari Koalisi Merah Putihyang oleh pendukung Jokowi disematkan sebagai julukan bagi pendukung Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjulukan kubu dalam suatu persaingan pemilihan pemimpin, konflik sosial, atau perang tampaknya merupakan gejala yang umum. Julukan diberikan kepada kubu seberang dan berfungsi sebagai label sekaligus citra dari lawan. Karena itu, penjulukan sekaligus mempertajam pemisahan sosial. Dalam konflik Ambon (1999), misalnya, julukan Kelompok Putih bertanda ikat kepala berwarna putih disematkan untuk orang Islam, sedangkan Kelompok Merah dengan ikat kepala merah untuk orang Kristen. Ikat kepala berwarna merah dan putih itu muncul secara kompak dan spontan sejak peristiwa Batu Merah.
Label berikut yang beredar adalah Acang dan Obet: Acang (Hasan) untuk muslim dan Obet (Robert) label orang Kristen. Kedua julukan ini lahir dari iklan perdamaian yang menampilkan dua anak yang menginginkan Maluku damai, bernama Acang dan Obet. Musikus Franky Sahilatua menyusun konsep iklan tersebut sesuai dengan pengalaman kakeknya, bernama Robert Sahilatua, yang hidup rukun dengan Hasan di Ambon. Saat dia menyusun konsep iklan bertema perdamaian itu, nama Acang dan Obet terlintas. Nyatanya, julukan Acang dan Obet kemudian dieksploitasi menjadi label-label baru bagi kelompok yang berkonflik. Franky juga menciptakan lagu tentang Acang dan Obet, yang menyerukan persaudaraan dan perdamaian di Maluku.
Penjulukan dalam konteks pemilihan presiden merupakan bagian dari perang psikis untuk menjatuhkan mental sekaligus membangun citra negatif kubu seberang. Label disematkan untuk melecehkan, mengejek, mengolok-olok, bahkan merundung. Label kecebong dan kampret tampak sejalan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menggunakan nama-nama hewan saat memaki, mengejek, atau menghina.
Julukan-julukan tersebut tentu saja tak muncul dalam narasi-narasi berita media massa resmi, baik media cetak, radio, maupun televisi. Di lingkaran petinggi partai pun julukan ini tidak digunakan dalam percakapan formal, kecuali sebagai kritik atau sindiran. Salah seorang politikus yang mengkritik program kereta cepat Jakarta-Bandung memelesetkan kecebong sebagai akronim dari kereta api cepat bohong-bohongan. Artinya, proyek tersebut dijalankan hanya demi kepentingan pengembang, bukan rakyat. Seorang politikus senior dari kubu seberang Jokowi mengatakan, Kita ini cuma ditantang oleh kecebong! Julukan-julukan tersebut beredar setiap hari dalam interaksi media sosial sebagai media pergaulan. Dan karena terikat konteks pemilihan presiden, sifatnya sementara. Suatu ketika, julukan-julukan itu akan hilang bila tokoh yang menjadi sumber penanda surut dari percaturan politik.
Label kecebong sebenarnya muncul dari kegemaran Jokowi memelihara kecebong dan kodok. Oleh pendukung Prabowo, hobi ini dijadikan label pendukung Jokowi. Citra yang tergambar dari label ini adalah kampungan, bodoh, dan mengurusi yang tak berguna. Di sisi lain, meski Prabowo gemar memelihara kuda, kubunya tidak dijuluki dengan nama hewan peliharaannya itu. Pendukung Jokowi memilih memanjangkan singkatan KMP menjadi kampret.
Awalnya, julukan kecebong membuat pendukung Jokowi tersinggung. Dalam perang psikis, kemarahan itulah yang justru disasar kubu seberang. Waktu yang relatif panjang tampaknya menjadi guru yang baik. Belakangan, para kecebong bermetamorfosis menerima label tersebut dengan bangga dan menjadikannya humor. Semua jadi kecebong pada akhirnya! Itu meme yang beredar di media sosial saat merespons seorang anggota tim sukses atau anggota kubu seberang yang merapat ke kubu Jokowi. Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, bahkan memanfaatkan label kecebong sebagai logo bisnis kaus Sang Javas miliknya dan Anda bisa membelinya lewat Tokopedia.
Rainy M.P. Hutabarat
Penulis cerita pendek, pekerja media
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo