Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Grup usaha Nursalim pingsan dan kini asetnya dikuasai pemerintah lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tak hanya itu. Seperti beberapa konglomerat lain pada era Orde Baru, dia kini harus menghadapi tuntutan mahkamah berkaitan dengan penggunaan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pada kenyataannya, seperti banyak rekannya, Nursalim memang sempat menikmati pesta fasilitas pemerintah yang makmur, lewat istilah "luhur" bernama BLBI tadi, melalui bank yang dimiliki grupnya, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Nursalim adalah salah satu "anak kandung" kebijakan liberalisasi perbankan dan konglomerasi bisnis Orde Baru. Lewat bank-bank yang dimilikinya, para konglomerat bisa menangguk dana masyarakatdari tabungan dan deposito. Dan pemerintah menjamin segalanya. Jika mereka kekurangan modal, pemerintah mengucurkan bantuan likuiditas; jika terjadi rush, pemerintah menalangi dan menjamin uang para penabung serta deposan; dan jika mereka bangkrut, pemerintah akan menguasainya meski dengan nilai aset yang sudah terkebiri jauh.
Menjadi bankir di Indonesia adalah sebuah kemewahan besar. Melalui bank yang dimilikinya, konglomerat bisa memakai uang masyarakat (baik tabungan, deposito, maupun BLBI) untuk kepentingan grup usahanya. Ada aturan ketat, memang, tentang berapa yang bisa dipakai. Namun, dalam kultur yang korup di Indonesia, "semua bisa diatur".
Mengadopsi konsep "bebas tanpa tanggung jawab", liberalisasi perbankan memberikan sumbangan besar pada krisis yang terjadi sekarangkrisis yang harus ditanggung oleh rakyat kebanyakan dan para pembayar pajak. Namun, sejauh ini, hanya sedikit konglomerat dan pejabat yang dimintai pertanggungjawabannya. Dan Nursalim adalah satu dari yang sedikit itu.
Semula, Presiden Abdurrahman Wahid sempat mencoba membelanya dengan mengatakan bahwa usaha Nursalim memberikan devisa besar lewat ekspor serta menghidupi banyak pekerja. Namun, ketika posisi politiknya meluncur ke titik nadir menyusul memorandum DPR, Abdurrahman tampaknya memutuskan Nursalim bisa menjadi "pion" yang siap dikorbankan untuk mengurangi derajat serangan musuh-musuhnya. Berbaring sakit, kini Nursalim menghadapi ancaman penahanan dari Kejaksaan Agung.
Sudah dua pekan dia terbaring di ruang perawatan sangat mewah, nomor 427, dengan tarif sekitar Rp 2 juta per hari, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Arteri kanan jantungnya mengalami penyempitan 90 persen dan yang kiri menyempit 70 persen. Tapi banyak pihak curiga atas kebenaran sakitnya laki-laki 59 tahun kelahiran Lampung ituyakni sekadar sebagai cara untuk berkelit dari penahanan.
Pendiri Grup Gadjah Tunggal itu ditunggu penyidik Kejaksaan Agung untuk kasus tindak pidana korupsi sebesar Rp 10,09 triliun. Apabila proses peradilan nanti membuktikan Nursalim bersalah, titik ini bisa menjadi akhir perjalanan pria yang punya nama lain Liem Tjoen Ho itu.
Nursalim yang dikenal sebagai raja udang itu memiliki sejarah panjang usaha yang ulet. Meskipun gagal meraih gelar sarjana ekonomi dari Watford College of Technology, London, karena harus pulang ketika ayahnya meninggal dunia (1965), anak kedua dari empat bersaudara itu justru menemukan hokinya ketika harus merawat perusahaan ayahnya yang bergerak di bidang perdagangan karet. Ayahnya meninggalkan perusahaan yang sudah berkembang. Pada 1950-an saja, perusahaan itu sudah mengekspor ke Amerika Serikat.
Setelah Nursalim sekeluarga hijrah ke Jakarta (1969), usaha di bawah bendera PT Gadjah Tunggal itu maju pesat. Dari usaha pembuatan ban sepeda dan becak, perusahaan Nursalim berkembang memproduksi ban sepeda motor, lalu ban mobil komersial. Pada akhir 1980-an, Gadjah Tunggal melakukan ekspansi ke berbagai sektor usaha, dari perbankan hingga tambak udang.
Bagi Nursalim, semua yang dia dapatkan layak dipertahankan. Nursalim merasa bahwa semua usahanya selama ini memang menyerap ribuan tenaga kerja dan keberhasilannya bukanlah berkat fasilitas penguasa, termasuk dari Presiden Abdurrahman Wahid.
Berikut ini adalah petikan wawancaranya dengan Wenseslaus Manggut dari TEMPO. Sebagian wawancara dilakukan di kamar rumah sakit, Rabu pekan lalu, sebagian lagi merupakan hasil wawancara di Hotel Shangri-La, Jakarta, beberapa bulan lalu.
Anda terserang penyakit apa lagi?
Ini kan penyakit lama. Saya telah menjalani operasi jantung di Jepang beberapa kali. Jadi, kesehatan saya memang agak rawan.
Bagaimana perasaan Anda setelah dikenai status tahanan?
Kalau ditanya perasaan atau keadaan, ya, memang seperti ini keadaannya. Anda bayangkan saja bagaimana keadaan seseorang yang sedang sakit yang tiba-tiba ditahan. Mana keadaan di luar tidak menentu lagi. Semuanya jadi serba susah.
Tidak menentu bagaimana?
Saya ini mempunyai usaha yang memiliki sekian ribu tenaga kerja. Bagaimana nasib mereka jika saya sakit dan ditahan begini? Bagaimana nasib anak-istri mereka?
Memang selama ini Anda memperhatikan mereka?
O iya, dong. Saya bekerja sama dengan masyarakat kecil dari kalangan petani. Dengan usaha bersama itu, siapa tahu mereka bisa berkembang. Mereka bisa menjadi pengusaha kecil yang ulet dan siapa tahu bisa berkembang menjadi pengusaha besar. Tapi, kalau keadaan saya begini terus, ya, bagaimana keadaan mereka?
Anda menerima penahanan ini?
Saya menghargai proses hukum yang dilakukan pemerintah atas diri saya. Saya ini bahkan sudah tiga kali dicekal oleh pemerintah. Saya menerima semuanya. (Suaranya meninggi. Istrinya mengelus-elus dadanya dan meminta Nursalim tidak berbicara dengan nada keras.)
Ada tidak berusaha berobat ke luar negeri lagi?
Saya ingin berobat ke luar negeri. Tapi, kalau ditahan seperti ini, mau bagaimana lagi? Malah nanti saya diberitakan macam-macam lagi. Dituduh menggelapkan uanglah, dituduh pura-pura sakitlah. Pokoknya, bikin saya tambah pusing.
Anda pernah diberi gelar oleh Presiden Abdurrahman sebagai tokoh penggerak ekspor?
Usaha kami memang berorientasi ekspor. Bahkan, hasil tambak udang Dipasena (kini dikuasai BPPN), di Lampung, 100 persen kami ekspor ke Amerika, Eropa, dan wilayah Asia lainnya. Hasil PT GT Petrochem Industries (kini dikuasai BPPN) 94 persen kami ekspor. Walaupun dalam keadaan tidak berproduksi penuh, tahun ini dari tambak yang ada di Lampung dan Palembang itu kami menargetkan ekspor senilai US$ 400 juta. Bahkan, tahun depan, kami menargetkan ekspor senilai US$ 1 miliar lebih.
Sedekat apa hubungan Anda dengan Presiden Abdurrahman?
Tentunya kami mengenal beliau karena beliau adalah tokoh nasional dan sekarang menjadi presiden. Terakhir kali kami bertemu dengan beliau pada 14 Juli 2000, saat beliau mengunjungi tambak Dipasena.
Kabarnya, Anda pernah memberikan obat tradisional untuk pengobatan Presiden?
Ah, siapa bilang? Itu isu sajalah. Saya sendiri sakitan terus, kok, dan tidak pernah menggunakan obat plasenta itu.
Presiden Abdurrahman pernah minta agar proses hukum atas Anda ditunda?
Kurang jelas bagi saya apa maksud dari penundaan itu. Sedangkan pada saat itu kami tidak beperkara di pengadilan dan kami telah menandatangani perjanjian pembayaran utang dengan aset. Jadi, seharusnya tidak ada lagi proses hukum.
Tapi Anda pasti senang dengan pernyataan Presiden yang minta penundaan itu?
Saya tidak terlalu memperhatikan pernyataan-pernyataan itu. Menurut pengertian saya, pernyataan beliau disampaikan dengan tujuan agar masyarakat mengerti bahwa para pengusaha ini bergerak di bidang industri berorientasi ekspor dan padat karya, yang dapat menunjang pemulihan ekonomi negara kita pada masa sulit ini. Mungkin karena cara penyampaiannya, timbul berbagai persepsi yang berbeda di masyarakat.
Anda ditahan saat posisi politik Presiden terdesak. Anda merasa kasus ini dipolitisasi?
Saya tidak mengerti mengenai masalah politik dan saya tidak pernah mengaitkan diri saya dengan urusan politik.
Anda diberitakan menyalahgunakan BLBI?
Kami tidak pernah menyalahgunakan BLBI. Bahkan, masalah BLBI itu telah kami selesaikan melalui BPPN.
Anda pernah mengatakan bahwa soal BLBI itu sudah final. Maksudnya?
Kami telah menyelesaikan kewajiban BLBI, termasuk bunga dan dendanya, dengan cara pembayaran tunai dan penyerahan aset yang ditandatangani 21 September 1998. Nah, dalam perjanjian itu, disyaratkan bahwa utang kami yang Rp 28,5 triliun harus dibayar cash sejumlah Rp 1 triliun dan sisanya lewat penyerahan aset. Uang Rp 1 triliun itu sudah kami serahkan dan aset juga sudah diserahkan. Karena uang dan aset sudah diserahkan, dibuat closing agreement pada 25 Mei 1999.
Jadi, closing agreement itu dibuat setelah perjanjian itu dipenuhi. Perjanjian ditandatangani oleh kami sebagai pemegang saham BDNI, pemerintah yang diwakili oleh BPPN dan Menteri Keuangan serta direstui oleh Presiden, Jaksa Agung, dan IMF. Perjanjian itu bersifat mengikat. Dan di situ jelas tertera bahwa utang telah dilunasi secara keseluruhan. Dan karena telah lunas, kami diberi release and discharge. Jadi, bagi kami, sudah tidak ada masalah lagi.
Soal dana Rp 1 triliun itu benar sudah Anda serahkan?
Sudah kami serahkan.
Kabarnya, soal penyerahan aset itu, Anda berlaku curang? Artinya, aset yang diserahkan kurang dari beban utang Anda.
Untuk menutupi utang Rp 27,5 triliun, sejumlah aset sudah kami serahkan. Dan perlu diketahui bahwa aset-aset yang kami serahkan itu adalah aset gemuk, seperti PT Dipasena, yang merupakan perusahaan tambak udang terbesar di dunia.
Tapi Dipasena kan sudah tidak berproduksi lagi?
Tambak Dipasena itu merupakan tambak terbesar di seluruh dunia. Semua kegiatannya terpadu, dari pembibitan sampai ekspor ke mancanegara. Produk udangnya bermutu tinggi.
Tapi, menurut pemerintah, kini nilai Dipasena sudah menurun?
Mana ada perusahaan yang harganya mahal dalam masa krisis seperti ini? Jika kita menghitung nilai semua infrastuktur yang ada di Dipasena, total nilai Dipasena itu sekitar US$ 600 juta. Dan Dipasena itu masih menghidupi sekitar 300 jiwa.
Petani Dipasena pernah mogok kerja. Anda rugi, dong?
Ya, memang rugi terus. Untuk Dipasena yang berada di wilayah Lampung, kami rugi sekitar Rp 20 miliar per bulan. Uang sejumlah Rp 20 miliar itu digunakan untuk menjaga dan merawat peralatan yang ada, untuk biaya operasi sekolah teknik yang ada di sana, dan untuk pengeluaran membeli sembako bagi para pengelola tambak itu.
Bila Anda sebaik itu, mengapa para petambak itu mogok?
Ada yang memprovokasilah. Ada pihak dari luar yang menghasut para petambak itu. Bahkan, ada petambak yang diancam apabila tidak ikut demo atau mogok. Ini berbeda dengan para petambak yang ada di wilayah Sumatra Selatan. Mereka melawan para provokator. Dan karena karyawan dan petambaknya melawan, para provokator itu tidak berani. Sampai sekarang, tambak di wilayah Palembang itu masih beroperasi 100 persen.
Siapa sih provokatornya?
Tidak perlu saya sebutkanlah.
Bagaimana soal penjarahan udang itu?
Memang ada penjarahan juga. Tapi itu tidak dilakukan oleh petambak kami. Kalau ada yang ikut menjarah, itu karena mereka melihat adanya suatu kesempatan saja. Petambak pada umumnya baik. Saya sangat dekat dengan mereka. Bahkan, ada petambak yang menamai anaknya sama dengan nama saya, yaitu Sjamsul Nursalim. Karena sangat dekat dengan mereka, saya berani berada di tengah mereka saat aksi demo yang berbuntut penculikan saya itu. Jadi, soal penjarahan, mereka tidak ikutlah.
Bagaimana status Anda di Dipasena?
Dipasena sudah 100 persen milik pemerintah lewat BPPN. Kami hanya pelaksana manajemen. Ya, saya ini karyawannya BPPN-lah. Kalau Dipasena untung, ya, untungnya buat pemerintah.
Anda ingin kembali memiliki Dipasena?
Sekarang kan Dipasena itu milik pemerintah. Kami hanya mengelolanya. Tapi, kalau pemerintah memberikan kesempatan kepada kami untuk memiliki kembali itu Dipasena, why not? Pasti saya terima. Toh, ini adalah usaha keluarga yang kami mulai dari bawah.
Anda pernah memberikan bantuan dalam uang dolar kepada petambak Dipasena. Kok, bisa?
Kami memang memberikan pinjamanannya dalam bentuk dolar, untuk membantu para petambak itu. Pertimbangannya, bunga dolar hanya 8 persen, sedangkan bunga pinjaman rupiah sekitar 20 persen.
Jika nantinya terbukti bersalah, siapkah Anda tinggal di lembaga pemasyarakatan?
Jika masih terdapat hukum dan keadilan di negara kita, kami yakin kebenaran akan terwujud. Saya telah bekerja hampir 40 tahun. Usaha saya bergerak di berbagai bidang industri dan pertambakan dengan teknologi yang tinggi dan padat karya. Saya juga mendidik hampir 2.000 siswa di Politeknik Gadjah Tunggal dan ratusan sarjana M.B.A. Kalau dengan iktikad baik saya masih juga diperlakukan demikian, saya pasrah kepada Tuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo