Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan kekejaman

Kecenderungan anak muda untuk berlaku sadis pada saat ini dianggap sebagai akibat film silat dan film koboi. sadisme sudah disebut dalam kakawin bharata-yudha dan babad tanah jawi. (fk)

8 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA kekerasan kini banyak terjadi, siapakah yang menunggangi? Alain Delon? Mungkin saja. Atau mungkin Charles Bronson. Bintang film yang satu, yang elok wajahnya tapi seram dingin seperti lemari es yang mengeluarkan darah, mungkin telah jadi lambang "biar sadis, asal cakep". Bintang film yang satu lagi, tegap, sipit, berkumis seperti singa yang gagah tapi apak, mungkin telah jadi lambang "biar jelek, asal sadis". Harap dicatat pula: dalam khazanah kata-kata remaja kini, terutama di akarta, "sadis" hampir identik dengan "hebat". Contoh: "Sadis, mek, warnanya!". Tapi bukankah gang-gang sudah dibubarkan? Siapa lagi yang menunggangi bila segerombolan anak muda membunuh seorang anak muda lain di sebuah tempat pijat - dengan menusuknya berkali-kali dan ramai-ramai? Mungkin buku komik. Di antara buku-buku "cergam" yang dibaca, mungkin yang termasuk populer ialah yang banyak kata-kata teriak: "Ciaaaatttt!!!", di mana sejumlah tangan terbabat golok, atau sejumlah tubuh robek berlobang. Dan sang jagoan pun tegak berdiri dengan caping tetap merapat di kepala, di bawah sinar matahari sore dan pohon-pohon meranggas: ia menang sekali gebrak. Tentu saja ini pun pengaruh dari film Jepang, yang diteruskan Hongkong, dan disadap oleh film macam Si Pitung. Dan siapa tahu bahwa Bruce Lee sangat membantu ramainya kursus "seni berkelahi" di sini. Sementara itu kita belum tahu pasti sampai sejauh mana pendidikan pelbagai martial art yang laris itu meningkatkan budi pekerti yang sportif dan sikap dewasa di kalangan remaja.Atau mungkin malah secara tak disadari meneguhkan pesan film silat Hongkong dan koboi bikinan Itali: kekerasan adalah sah, dendam tidak jahat dan hukum boleh tunggu saja nanti. Tentunya kita harus adil juga untuk mengakui bahwa penghalalan dendam dan kekerasan bukan semata-mata hasil impor. "Sadisme" itu lebih purba lagi. Dalam Kakawin Bharata-Yuddha, yang diterjemahkan Prof. Sutjipto Wirjisuparto berdasarkan naskah Empu Sedah dan Empu Panuluh 900 tahun yang lalu, Bhima membunuh Dursasana dalam pertempuran. Dendamnya sampai. Bukankah dulu Dursasana ketika Pandhawa dihinakan di pesta pertandingan dadu, mencoba menelanjangi puteri Draupadi di depan umum? Maka Bhinna pun minum darah musuhnya, menyudet perutnya dan menarik ususnya, sementara korbannya itu berkelojotan menghadapi maut. Dan bila Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, dendam dan sadisme bahkan merupakan bagian dari sejarah kita -- jauh sebelum pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di tahun 1965 dan 1966. Yakni ketika Trunajaya ditikam oleh Amangkurat II, dan hatinya dicincang dan dibagi-bagi untuk ditelan para bupati yang hadir di balairung itu. Bila kekerasan kini banyak terjadi, siapakah yang menunggangi? Alain Delon?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus