BILA kekerasan kini banyak terjadi, siapakah yang menunggangi?
Alain Delon?
Mungkin saja. Atau mungkin Charles Bronson. Bintang film yang
satu, yang elok wajahnya tapi seram dingin seperti lemari es
yang mengeluarkan darah, mungkin telah jadi lambang "biar sadis,
asal cakep". Bintang film yang satu lagi, tegap, sipit, berkumis
seperti singa yang gagah tapi apak, mungkin telah jadi lambang
"biar jelek, asal sadis". Harap dicatat pula: dalam khazanah
kata-kata remaja kini, terutama di akarta, "sadis" hampir
identik dengan "hebat". Contoh: "Sadis, mek, warnanya!".
Tapi bukankah gang-gang sudah dibubarkan? Siapa lagi yang
menunggangi bila segerombolan anak muda membunuh seorang anak
muda lain di sebuah tempat pijat - dengan menusuknya
berkali-kali dan ramai-ramai? Mungkin buku komik. Di antara
buku-buku "cergam" yang dibaca, mungkin yang termasuk populer
ialah yang banyak kata-kata teriak: "Ciaaaatttt!!!", di mana
sejumlah tangan terbabat golok, atau sejumlah tubuh robek
berlobang. Dan sang jagoan pun tegak berdiri dengan caping tetap
merapat di kepala, di bawah sinar matahari sore dan pohon-pohon
meranggas: ia menang sekali gebrak. Tentu saja ini pun pengaruh
dari film Jepang, yang diteruskan Hongkong, dan disadap oleh
film macam Si Pitung. Dan siapa tahu bahwa Bruce Lee sangat
membantu ramainya kursus "seni berkelahi" di sini. Sementara itu
kita belum tahu pasti sampai sejauh mana pendidikan pelbagai
martial art yang laris itu meningkatkan budi pekerti yang
sportif dan sikap dewasa di kalangan remaja.Atau mungkin malah
secara tak disadari meneguhkan pesan film silat Hongkong dan
koboi bikinan Itali: kekerasan adalah sah, dendam tidak jahat
dan hukum boleh tunggu saja nanti.
Tentunya kita harus adil juga untuk mengakui bahwa penghalalan
dendam dan kekerasan bukan semata-mata hasil impor. "Sadisme"
itu lebih purba lagi. Dalam Kakawin Bharata-Yuddha, yang
diterjemahkan Prof. Sutjipto Wirjisuparto berdasarkan naskah
Empu Sedah dan Empu Panuluh 900 tahun yang lalu, Bhima membunuh
Dursasana dalam pertempuran. Dendamnya sampai. Bukankah dulu
Dursasana ketika Pandhawa dihinakan di pesta pertandingan dadu,
mencoba menelanjangi puteri Draupadi di depan umum? Maka Bhinna
pun minum darah musuhnya, menyudet perutnya dan menarik ususnya,
sementara korbannya itu berkelojotan menghadapi maut. Dan bila
Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, dendam dan sadisme bahkan
merupakan bagian dari sejarah kita -- jauh sebelum
pembunuhan-pembunuhan yang mengerikan di tahun 1965 dan 1966.
Yakni ketika Trunajaya ditikam oleh Amangkurat II, dan hatinya
dicincang dan dibagi-bagi untuk ditelan para bupati yang hadir
di balairung itu.
Bila kekerasan kini banyak terjadi, siapakah yang menunggangi?
Alain Delon?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini