AKHIR 1973, Pertamina menaksir pembangunan kedua proyek LNG
Badak dan Arun akan menghabiskan US$ 1,2 milyar. Seluruh
kebutuhan modal itu sudah diperoleh dari Jepang. Yang $ 200 juta
untuk prasarana dari OECF (Overseas Economic Cooperation Fund)
berupa pinjaman lunak: masa pengembalian 25 tahun, bunga 3%
setahun, masa tenggang 7 tahun.
Modal pembangunan kedua pabrik LNG itu diperoleh dari konsortium
Bank Eksim Jepang.Menurut data buku The Indonesian petroleum
Industry oleh Sritua Ari, jumlahnya tidak sampai $ 1 milyar,
tapi cuma S 898 juta: $ 375 untuk membangun pabrik LNG Bontang,
dan $ 523 untuk proyek -LNG Arun. Duit itu dipinjam oleh JILCO
(Japan-Indonesia LNG Company), yakni perusahaan pengimpor LNG
yang dibentuk oleh Nissio-Iwai dan ke-5 konsumen LNG di Jepang
(Chubu Electric Power Co, Kansai Electric Power Co, Kyushu
Electric Power Co, Nippon Steel Corporation dan Osaka Gas
Company). Padahal menurut Bechtel, taksiran biaya proyek Badak
tadinya $ 430 juta, dan Arun $ 570 juta.
Ternyata setelah pembangunan proyek Badak dan Arun berjalan
hampir 2 tahun, Pertamina dan Migas mengabarkan adanya
pelampauan (overrun) sebanyak $ 480 juta. Di bagian mana terjadi
ketekoran itu'? "Pembangunan prasarana berjalan lancar, tanpa
overun", begitu keterangan Toshio Aoki kepala perwakilan OECF
di Jakarta. Berarti tak ayal lagi pembangunan kedua pabrik LNG
itulah yang mengalami kekurangan dana. Atau hampir 50% dari
biaya pembangunan pabrik yang tadinya $ 1 milyar.
Hal ini memang dibenarkan oleh orang-orang Bechtel Inc.
maskapai Amerika yang dipercayai sebagai kontraktor utama kedua
proyek pencair gas alam itu. Tanggal 19 Agustus 1975, Bechtel
minta tambahan $ 114 juta pada Pertamina buat menombok
kekurangan dana bagi proyek Bontan. Sedang untuk Arun, mereka
minta tambahan $ 200 juta. Jadi total taunbahan yang diminta
Bechtel $ 311 juta. Mengapa angka itu berbeda jauh dengan
angka $ 460 juta yang dicari ir Wiyarso ke Jepang, bagi Bechtel
juga merupakan tanda tanya.
Tapi kenapa sampai terjadi kenaikan biaya sebanyak $ 314 juta
itu? 'Untuk menggalakkan kenaikan harga di pasaran dunia, sejak
pagi-pagi kami sudah'memesan seluruh peralatan yang dibutuhkan
untuk proyek Arun dan Bontang", ujar seorang pegawai Bechtel
yang dihubungi TEMPO. Berabenya, pembayaran Pertamina lewat
tahapan tiap kali $ 100 juta kadang-kadang terlambat. Sehingga
pengangkutan dari pelabuhan asal ke lokasi proyek pun sering
terlambat. "Kami harus membayar denda karena kelambatan itu",
kata sumber tadi. Tapi yang lebih banyak lagi adalah pengeluaran
yang "tidak ada hubungan langsung dengan proyek". Serta
pengeluaran ekstra karena "rotasi tenaga asing yang terlalu
sering". Mengapa? "Tenaga-tenaga asing yang sering tidak disukai
oleh client (Pertamina)". tutur sumber TEMPO itu. Akibatnya,
"mereka dianggap tidak bisa bekerja sama dengan pejabat-pejabat
Pertamina sehingga cepat disuruh pulang.
Walhasil, karena permintaan tambahan biaya untuk Bontang dan
Arun belum dikabulkan, Bechetel memutuskan untuk memusatkan
kerjanya pada proyek Bontang saja. Maka kontrakor itu pun
memindahkan seluruh alat-alat berat, material dan tenaga
asingnya dari Arun ke Bontang. Banyak buruh harian di Aceh
terpaksa diberhentikan, karena proyek Arun sementara ditunda.
Kesibukan ini membuat seluruh pekerjaan di Bontang pun tertunda
6 bulan. Adapun proyek Arun yang mestinya mulai mengekspor LNG
tahun 1978, mau tidak mau akan tertunda 2 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini