MISI Dirjen Migas ir Wiyarso yang kedua kali ke Tokyo, belum
juga mencapai sasarannya. Seperti diketahui ada ketekoran 480
juta dollar AS Untuk merampungkan proyek gas alam cair Arun
(Aceh) dan Bontang (KalTim). Desember yang lalu, MITI hanya
setuju memberikan separohya. Tidak sekaligus, tapi bertahap.
Yakni 170 juta dollar selama tahun fiskal 75/76 dan 76/77.
Sedang sisanya $ 70 juta - baru akan diberikan dalam tahun
fiskal 77/78 apabila Pertamina tidak berhasil menggaetnya dari
maskapai Amerika Pacific Lighting yang juga berninat membeli gas
alam Arun (TEMPO, 27 Desember 1975).
Karena masih tekor $ 240 juta, Wiyarso terbang lagi ke Tokyo
bulan lalu. Ditemani oleh Menperdag Radius Prawiro, Wiyarso
membawa saran baru. Jumlah $ 480 juta itu ditekan menjadi 460
juta. Indonesia sendiri sanggup mencari $ 90 juta. Jadi dengan
komimen MITI yang $ 170 juta itu, total jenderal $ 260 juta
dianggap sudal di kantong. Tinggal mencari $ 200 juta lagi.
Nah, kebutuhdn itulah yang disodorkan ke hadapan Menteri MITI
Toshio Komoto yang didampingi Menlu Ohira dan presdir Bank Eksim
Jepang S. Suminta.
Mengelak
Tapi kembali lagi dengan halus Jepang mengelak. Memang, Jepang
belum menolak sama sekali permintaan Indonesia. Perundingan
masih akan dilanjutkan. Entah sesudah atau sebelum sidang OPEC.
Sementara itu, Indonesia diminta memperinci beberapa data
produksi yang diperlukan untuk penyesuaian kapasitas
pabrik-pabrik konsumen LNG itu di Jepang. Juga untuk penentuan
jumlah tanker gas alam cair yang akan dicarter dari anak
perusahaan Burmah Oil, Bumah East Shipping Corporation. Dan
pada pertemuan di Tokyo itu, MITI kembali mengulangi pertanyaan,
atau saran, yang sudah dikemukakan pada Wiyarso bulan Desember
lalu: "Mengapa Indonesia tidak minta bantuan pada fihak ketiga,
yang juga berminat membeli LNG Arun?" Maksudnya, Amerika.
Pertanyaan itu tak mudah dijawab. Ketika kontrak penjualan LNG
dengan Pacific Lighting ditandatangani September 1973, anak
perusahaan SoCal itu kabarnya berjanji akan mencari kredit
komersiil dari Bank Eksim AS. Namun belakangan ini minat Amerika
tampaknya mengendor. Sebabnya macam-macam. Pertama-tama rencana
Pertamina menaikkan harga dasar (base price) penjualan LNG ke
Amerika dari $ 0,65 menjadi $ 1,25 per juta BTU British Thermal
Unit) ditolak oleh Pacific Lighting karena tidak disetujui US
Federal Power Commission. Kedua, SoCal agak ragu-ragu juga
setelah mengukur jarak Arun ke Pantai Barat AS: 8300 mil laut.
Jarak sejauh itu belum pernah ditempuh oleh tanker-tanker LNG
yang baru terbiasa hilir-mudik trayek Alaska-Jepang atau
Aljazair-Parntai Timur AS.
Selanjutnya, untuk menimbun LNG dari Arun, SoCal berniat
membangun tangki-tangki raksasa di pantai Kalifornia. Rencana
ini ditentang dengan sengitnya oleh ahli-ahli ekologi dan
Angkatan Laut AS, yang takut peristiwa matinya 40 karyawan
ketika sebuah tangki LNG meledak dekat New York (1973), terulang
kembali. Pacific Lighting juga masih harus menanti hasil
pembicaraan antara para Senator dengan US Federal Energy
Commission yang menyangkut quota maupun harga pembelian LNG yang
disetujui pemerintah AS. Pokoknya, kepastian baru dapat
diperoleh 9 bulan lagi". Begitu menurut umber Kedubes AS di
Medan Merdeka Selatan, Jakarta.
Menyadari keragu-raguan Amerika itU, Jepang tampaknya makin
memperingati lobi mereka agar harga dasar penjualan LNG ke
Jepang bisa diturunkan setingkat dengan harga Amerika. Seperti
diketahui, harga dasar $ 0,99 per juta BTU untuk Jepang sudah
"disesuaikan" menjadi $ 2,14 per juta BTU. Termasuk ongkos
transpor sebesar 30 dollar sen. Jadi jauh lebih mahal dari pada
harga untuk Amerika yang $ 1,25 per juta BTU itu, tidak termasuk
ongkos transpor. Kalau kehendak Jepang itu tercapai, bukan
tidak mungkin Jepang sekaligus bersedia mengambil oper jatah
Amerika yang 3,5 juta ton setahun. Sehingga total jenderal dari
sumur gas alam di Arun dan Badak akan terjamin persedian gas
alam cairnya sebanyak 11 juta ton setahun bagi Jepang. Kalau
tidak, kenapa Jepang minta angka-angka produksi buat
menyesuaikan kapasitas pabrik-pabrik di Jepang dan jumlah tanker
yang harus dicarter?
Jadi ada 3 pilihan yang bakal dihadapi ir Wiyarso, kalau
perundingan dengan MITI dilanjutkan lagi:
* Dengan pinjaman $ 170 juta dari MITI, plus $ 90 juta yang mau
dicari Indonesia sendiri, proyek Bontang dan separo kapasitas
Arun (yang khusus untuk Jepang) sudah bisa dirampungkam Tapi
berarti baru 2 tahun lagi Indonesia dapat mengekspor 7,5 juta
ton LNG ke Jepang dengan harga $ 2,14 per juta BTU. Atau $ 51
lebih per metric ton LNG. Maka penghasilan Indonesia setelah 20
tahun sekurang-kurangnya akan mencapai $ 7 65 milyar. Sedang
modal berjumlah $ ,640 milyar akan kembali dalam 3,5 tahun.
Sisanya dapat dipakai untuk mencicil hutang-hutang pada IGGI dan
kreditor-kreditor Pertamina.
* Pilihan kedua, komitmen penjualan 7,5 juta ton LNG pada Jepang
diteruskan. Di samping itu, jatah Pacif1c Lighting yang 3,5 juta
ton/tahun juga dilego ke Jepang, tapi tetap dengan harga Jepang.
Untuk itu Indonesia sebaiknya mencari sendiri sumber pinjaman $
200 juta lagi di luar Jepang untuk membangun proyek Arun sampai
rampung. Maka dalam 20 tahun bisa dijala sekurang-kurangnya $
11,22 milyar.Modal pembangunan proyek Arun dan Badak yang sudah
naik menjadi $ 1,66 milyar akan luas dalam 3,5 tahun juga.
* Pilihan terakhir: menjual seluruh produksi LN yang 11 juta
ton setahun itu kepada Jepang, tapi dengan harga Amerika
(sekitar $ 36 per metric ton termasuk ongkos transpor. Setelah
20 tahun penghasilan minimal hanya akan mencapai $ 7,92 milyar -
sedikit di atas alternatif pertama. Sementara modal baru
terpulang dalam 4 tahun lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini