Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laksana Tri Handoko menilai kemandekan dunia riset Indonesia disebabkan oleh lembaga riset yang terpisah-pisah.
BRIN mengintegrasikan LIPI, BPPT, LAPAN, Batan, dan lembaga riset kementerian.
Peleburan lembaga riset pemerintah dikatakan tidak mengganggu riset strategis, termasuk vaksin Merah Putih.
PEMBENTUKAN Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) seperti tak bisa terlepas dari polemik. Dibentuk pada 2019, badan ini dikukuhkan lewat Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 sebagai lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden—sebelumnya, riset menjadi domain Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. BRIN menggabungkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, serta lembaga riset di 74 kementerian dan lembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kritik pertama muncul saat Presiden Joko Widodo mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN pada Oktober lalu. Sebagai presiden periode 2001-2004 sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan—partai terbesar sekaligus pendukung utama pemerintah, penunjukan itu dinilai lebih bernuansa politis ketimbang sains dan akademis. Polemik terkini mencuat setelah sekelompok peneliti non-pegawai negeri di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman akan kehilangan pekerjaan akibat peleburan lembaga tersebut ke BRIN per awal tahun ini. Sejumlah akademikus menilai badan super tersebut malah akan memundurkan dunia riset Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, membantah rentetan tudingan tersebut. Kepada wartawan Tempo, Indri Maulidar, Friski Riana, dan Budiarti Putri, fisikawan tersebut menyatakan keterserakan lembaga menjadi penyebab utama kemandekan riset Indonesia. "Periset harus banyak, tapi lembaga riset pemerintah tak perlu banyak," katanya, kemarin.
Laksana Tri Handoko (kiri), Jakarta, 3 Januari 2022. brin.go.id
Apa perlunya integrasi lembaga riset?
Ada dua problem fundamental riset kita. Pertama, riset didominasi pemerintah. Belanja riset nasional 80 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalau mengikuti standar UNESCO, badan keilmuan PBB, seharusnya pemerintah 20 persen, sisanya swasta dan industri. Kita terbalik. Kedua, sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran riset otomatis merupakan sumber daya pemerintah. Ini tercecer di mana-mana. Ada di LIPI, Batan, dan lainnya, termasuk di 74 kementerian/lembaga.
Bukankah semakin banyak periset semakin baik?
Karena kecil-kecil, sulit untuk berkompetisi. Padahal kompetisi riset itu secara global. Bagaimana kita bisa bersaing di bidang nanoteknologi dengan Singapura? Riset nanoteknologi mereka dijalankan oleh 40 doktor (PhD) dan postdoctoral. Di Indonesia, riset nanoteknologi dijalankan oleh tujuh orang yang belum semuanya PhD. Dua puluh tahun reformasi, riset kita tidak bergerak ke mana-mana. Budaya riset juga tidak berjalan. Riset tidak perlu berjalan di semua tempat, tapi butuh center of excellence (pusat kajian).
Jawabannya lewat pengintegrasian lembaga riset di BRIN?
Itu yang dipecahkan dengan pembentukan BRIN. Periset perlu banyak, tapi lembaga riset pemerintah tidak harus banyak.
Bagaimana BRIN mendorong peran riset swasta?
Yang harus banyak itu lembaga riset non-pemerintah. Ini akan menciptakan ekonomi berbasis riset berkesinambungan. Pusat riset itu yang membuat nilai tambah konkret terhadap ekonomi yang punya diferensiasi dan daya saing. Konteksnya di situ. Riset yang dilakukan pemerintah yang tingkat advance dan tak mungkin dimasuki swasta. Riset itu mahal. Yang jelas high risk, high cost, pemerintah harus masuk.
Sebagai superbody, ada kekhawatiran BRIN menjadi birokratis dan kehilangan fleksibilitas yang dibutuhkan dunia penelitian. Bagaimana tanggapan Anda?
Fleksibilitas bukan dilihat dari ukuran lembaga, melainkan proses manajemen internal. Kelurahan itu lembaga kecil, tapi penuh birokrasi. Organisasi riset kami hanya akan berfokus pada riset. Tidak mengurusi layanan administrasi. Mereka juga tidak mengurus laboratorium karena sudah diurus deputi infrastruktur.
Mengapa peneliti BRIN harus pegawai negeri?
Tidak. Pegawai negeri itu hanya peneliti inti. Selain itu, kami punya banyak skema. Justru yang inti jumlahnya sedikit, yang banyak adalah yang turnover-nya tinggi, dari mahasiswa S-2, S-3, postdoctoral, visiting researcher, hingga profesor. Setelah 10-15 tahun, BRIN punya jejaring kuat dan bisa kembali ke kampus. Tahun ini, kami akan menerima 500 periset S-3 dengan skema PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Mengapa Anda menyatakan Eijkman banyak masalah?
Masalah paling krusial sejak Eijkman diaktifkan kembali oleh pemerintah pada 1992 adalah soal status. Eijkman merupakan proyek di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Mereka bukan lembaga resmi. Karena itu, tidak bisa diangkat menjadi peneliti. Kasihan, rata-rata pendapatan mereka Rp 6-7 juta. Seharusnya bisa dapat Rp 20 juta. Mereka pernah komplain ke saya agar bisa diangkat dan mendapat hak-hak finansial sebagai peneliti. Setelah dilantik pada 4 Mei lalu, saya langsung datangi Eijkman dan bilang mereka akan dilembagakan. Formalitas integrasinya bersamaan dengan eks BPPT dan LIPI pada 1 September lalu sehingga sudah bisa saya angkat sebagai peneliti.
Opsi bagi mereka apa saja?
Ada seleksi aparatur sipil negara pada Oktober 2021. Semua peserta S-3 diterima pada Desember lalu. Tidak ada masalah. Bagi yang belum S-3, bisa ikut penelitian sebagai asisten riset. Status mereka sebagai mahasiswa aktif. Sebelumnya, ada anak yang sudah sepuluh tahun menjadi pegawai honorer. Kontrak per tahun. Padahal tiga tahun bisa menjadi doktor dan bisa riset di tempat yang sama sehingga masa depan lebih pasti.
Masalahnya, tidak semudah itu bisa melanjutkan studi.
Ini uang negara berdasarkan skema yang disetujui Kementerian Keuangan. Saya tidak bisa memaksa mereka yang tidak mau. Bagaimana dengan mereka yang lebih baik? Masak, tidak dapat kesempatan. Sekarang saya bisa menarik diaspora. Kita masih kekurangan tenaga.
Berapa perkiraan kehilangan produktivitas akibat penyesuaian kerja para peneliti di sistem baru di BRIN?
Tidak ada hubungannya. Periset bekerja di grup riset. Selama laboratorium mereka berjalan, ya, mereka bekerja. Yang menjadi kesusahan teman-teman adalah saat mengurus layanan karena ada perubahan yang cukup signifikan. Dulu dipegang pusat riset, sekarang pindah ke deputi. Tapi itu bukan soal riset.
Apa dampak peleburan ini ke riset strategis, seperti vaksin Merah Putih?
Justru akan semakin kuat. Penggabungan peneliti Eijkman dan LIPI akan membuat penelitian lebih kuat. Begitu juga riset drone. Dulu ditangani BPPT, sekarang di pusat penerbangan BRIN yang banyak diisi eks pegawai LAPAN.
Termasuk pemeriksaan whole genome sequencing untuk mendeteksi virus corona varian Omicron?
Itu dikerjakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Porsi mereka yang terbesar. Mereka dibantu Cibinong (LIPI) dan Eijkman. Digabung saja sehingga kapasitas besar dan murah. Dulu satu sampel butuh Rp 37 juta, sekarang bisa Rp 700 ribuan. Kasihan Kemenkes kalau mahal-mahal.
Mengapa BRIN dipimpin Megawati sebagai ketua dewan pengarah?
Sederhana, karena BRIN sebagai pemegang kebijakan dan juga eksekusi. BRIN menjadi satu-satunya badan riset pemerintah dan sifatnya lintas kementerian. Di negara lain, lembaga pembuat kebijakan riset ada dewan pengarahnya. Mereka bukan periset, tapi untuk memastikan kerja kami didukung dari berbagai aspek. BRIN butuh dukungan politik. Anggaran, misalnya, diatur DPR, dan DPR adalah entitas politik. Untuk politik, Ibu Mega yang paling kuat. [ ]
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo