Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tobang, tobang, wedange wis entek!" Teriakan ini kerap terdengar dari rumah seorang penewu—setingkat camat dalam "pemerintahan" Keraton Yogyakarta—di daerah Kretek, Bantul. Yang berteriak adalah Soewondo, dokter pribadi Jenderal Soedirman yang menyertainya bergerilya setelah Yogyakarta diserang Belanda pada 19 Desember 1948.
Hampir sepekan Soedirman dan rombongannya menetap di daerah yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Yogyakarta itu. Mereka terpaksa singgah agak lama, karena Kali Opak di sebelah timur Kretek sedang meluap. Rombongan menunggu sungai surut untuk menyeberang ke Wonosari, Gunungkidul, terus ke timur.
Tobang adalah tentara dapur. Saat itu mereka tinggal di rumah sebelah penewu. Tugas tobang adalah mempersiapkan dapur umum, memberi makan dan minum pasukan. Tapi, khusus untuk teriakan wedange wis entek atau minumannya sudah habis itu, yang bertugas menanggapinya adalah Jamaluddin, pemuda berumur 19 tahun. "Kalau sudah begitu, saya pun segera membuat teh baru," kata Jamal.
Dia ingat, selain Pak Dokter, Kapten Soepardjo Roestam selalu minta teh panas untuk Soedirman. Mungkin karena Pak Dirman sedang sakit, hingga merasa nyaman minum yang panas dan manis. Merek tehnya Sruni, teh jatah untuk semua tentara Republik. Baunya langu. Satu lagi wedang kegemaran Soedirman adalah teh tiyung, daun jeruk yang diseduh air panas. "Pakai gula pasir, warnanya merah," kata Jamal, yang kini berumur 83 tahun.
Dengan minuman itu, Soedirman mendorong obat-obatan ke kerongkongan. Di antaranya codeine, sejenis obat gangguan pernapasan. Sejak dioperasi pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah paru-paru. "Obat Pak Dirman kecil-kecil seperti kedelai," kata Jamal. Selain itu, ada kinine untuk malaria. Ada yang biru dan ada yang merah. Yang biru untuk pencegahan dan merah untuk yang parah.
Dalam hal makanan, Soedirman tak pernah pilih-pilih. Jenderal memakan makanan yang sama dengan seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba seadanya. Kadang nasi berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. "Dikasih apa saja Pak Dirman mau," ujar Jamal. Ransum untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore.
Tapi sering kali, dari tiga rantang yang dikirim, hanya satu yang habis. "Pak Dirman sering berpuasa. Karena itu, hanya habis satu rantang. Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman," kata Jamal. Selain dapur umum, penduduk sering mengirimkan makanan untuk para pejuang. "Ya, seadanya, makanan kampung. Kadang ketela, kadang tiwul. Kalau beras, jarang."
Mereka bahkan kerap kekurangan makanan. Untuk menutupi kebutuhan itu, Soedirman mengirim adik iparnya, Hanung Faeni, dan sopir pribadinya, Hainun Suhada, kembali ke Yogyakarta. Mereka ke Yogya dengan berjalan kaki untuk menyampaikan pesan Soedirman kepada istrinya, Siti Alfiah. Sebelum berangkat gerilya, Soedirman pernah berpesan akan meminta perhiasan Alfiah jika dibutuhkan. "Perhiasan itu dibarter ayam dan beras," kata Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman. Perhiasan itu di antaranya empat gelang, kalung, dan dua gelang kecil. Ibu mertua pun turut menyumbangkan perhiasan.
Dari Kretek, rombongan Soedirman melanjutkan bergerilya ke arah timur menuju Wonosari, Gunungkidul. Jamal disuruh pulang, lalu pergi ke Winoro, Imogiri, dan bergabung dengan pejuang di sana. Tapi selalu ada yang membuat teh untuk sang Jenderal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo