Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu hari, beberapa puluh tahun yang lalu, ketika saya masih di sekolah dasar, kepala sekolah kami yang baru memperingati hari 10 November dengan kekhidmatan istimewa. Pak Sumadi berdiri di atas sebuah bangku. Para guru dan murid berkeliling mendengarkannya di halaman belakang gedung yang dulu gudang seorang saudagar Tionghoa.
Di panggung itu ia tak berpetuah tentang patriotisme dan heroisme; ia hanya bercerita tentang pengalamannya sendiri di Surabaya di hari pertempuran besar itu. Suaranya tak keras, tapi memukau.
Ia bercerita tentang rasa cemas yang dirasakannya dan dirasakan para pemuda segenerasinya, bahwa Republik yang belum lagi berumur empat bulan itu akan dijajah kembali. Ia bercerita tentang keputusannya meninggalkan orang tuanya di Semarang dan berangkat ke Surabaya tanpa ada harapan pulang. Ia bergabung dengan ribuan pemuda yang datang dari pelbagai pelosok Republik, bersiap di sudut-sudut kampung Surabaya. Ia bercerita tentang pertempuran yang tak seimbang, tapi dijalani dengan setengah nekat. Ia gambarkan ketakutannya menjelang tembakan pertama dan apa yang kemudian terjadi setelah ketakutan itu raib oleh api pertempuran. Dua temannya tewas setelah merobohkan tiga tentara Gurkha; seorang lagi menabrakkan diri dengan granat ke sebuah tank Inggris.
Ceritanya tanpa kesimpulan. Upacara itu diakhiri dengan paduan suara 20 murid yang membawakan beberapa lagu; salah satunya menyeru ke tanah air yang dipertahankan di Surabaya itu: "bumimu suci, angkasa kudus"—negeri yang membuat kami, pemuda, "dahaga" akan bakti.
Saya lihat Pak Sumadi menghapus air matanya.
Lalu upacara bubar dan kami kembali ke kelas. Seperti biasa. Tapi mungkin pelan-pelan yang kami dengar hari itu menyadarkan kami akan arti Indonesia yang merdeka. Dinding kelas kami yang dari kayu kasar itu dihiasi gambar yang dikirim Kementerian Pendidikan tentang tanah air yang sedang dibangun: bandar yang sibuk, stasiun kereta api yang besar, murid-murid sekolah yang rapi dan bergembira.
Dengan cara itu kami diperkenalkan kepada kematian dan kelahiran kembali, pengorbanan dan harapan. Kami tak disiapkan untuk menghadapi sinisme.
Mungkin itu sebabnya perut saya terasa agak terpilin ketika pertama kali membaca Surabaya, satu dasawarsa setelah cetakan pertamanya di tahun 1947. Karya Idroes ini sebuah mozaik kesan dan kesimpulan sang penulis tentang hari-hari gegap-gempita di sekitar 10 November 1945.
Selintas, Surabaya merekam keadaan itu: suasana yang tak menentu, tegang, dan ganas. Keberanian dan cinta tanah air menggila. Keyakinan lama roboh. Paragraf awal prosa 64 halaman ini mengejutkan karena sarkasmenya menusuk, dengan kiasan yang segar meski tak selalu tepat, tentang situasi kejiwaan saat itu:
Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar. Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mitralyur, mortir.
Setelah itu, cerita pertempuran Surabaya yang mati-matian itu ditampilkan Idroes sebagai film kelas B, antara "cowboy" dan "bandit". Pasukan Gurkha Inggris yang "hitam-hitam seperti kepala kereta api" mendarat di Surabaya. Segera mereka menghadapi para "cowboy"—pemuda Indonesia yang bersenjata. Bagi "cowboy", tentara Gurkha itu "bandit-bandit yang dibiarkan lepas dan berkuasa".
Di tengah jalan cowboy-cowboy ditahan oleh bandit-bandit d an diharuskan menyerahkan senjatanya. Bandit-bandit berteriak, sambil mengacungkan bayonetnya: "Jiwamu atau senjatamu!"
Cowboy-cowboy tidak mengangkat tangannya dan tidak pula mau memberikan senjatanya. Mereka berteriak: ambillah jiwa kami!—dan pada waktu berteriak itu mereka mulai menembak. Bandit-bandit pun menembak dan pertempuran seru terjadi.
Dengan setengah melucu, bagian cerita ini sebenarnya masih menyiratkan bagaimana para pemuda Indonesia dengan berani mempertahankan harga diri mereka. Tapi Idroes tak banyak mengisahkan harga diri dan "pertempuran seru". Perang hanya ditampilkannya dalam garis besar. Detail lebih tampak ketika ia menggambarkan tempat perempuan-perempuan mengungsi.
Mungkin karena ia hanya tahu sedikit. Waktu itu, dalam usia 24, ia tak turut di garis depan; ia jadi wartawan surat kabar Berdjoeang di Malang. Dan sebagai wartawan, ia mengambil jarak: ia tak memihak.
Tapi sebenarnya prosanya memihak: memilih sikap yang tak percaya ada pahlawan di hari itu. Catatannya adalah bersit sinisme yang menertawai manusia sebagai makhluk yang berpose. Humornya muram. Surabaya seakan-akan gema dari kalimat terkenal dalam Galileo karya Brecht: "Tak berbahagia negeri yang memerlukan pahlawan."
Tapi saya ingat Pak Sumadi. Mungkin "pahlawan" hanya konstruksi politik di negeri yang ingin menghalalkan sebuah sejarah. Pada akhirnya ia memang tokoh "kekal" yang dipoles. Tapi tindakan Pak Sumadi dan teman-temannya tak bisa hanya dilihat sebagai pose. Laku mereka menunjukkan, tindakan yang heroik bisa terjadi: kerelaan jadi tumbal buat orang banyak.
Beda antara hero dan laku heroik itu yang tak tampak oleh Idroes. Mungkin ia tak pernah mengalaminya. Yang ia lihat sosok-sosok borjuis kecil yang repot dengan keselamatan dan milik. Tilikannya pun terbiasa dengan manusia yang tak luar biasa dan agak menjengkelkan. Hegel akan menganggapnya tatapan "kacung psikologis", psychologischen Kammerdiener: orang yang tak kenal kepahlawanan karena ia memang hanya kacung.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo