Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISOROT lampu terang di Jakarta Convention Center, Jakarta Selatan, tidak seperti biasanya, Jenderal Purnawirawan Wiranto berdiri dengan wajah keruh. Dagunya tegak terangkat, senyumnya "mahal" hari itu. Selasa malam dua pekan lalu itu, terlihat benar calon presiden Partai Golkar ini sedang tak riang hati.
Maka, di depan ratusan kader Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)?yang sedang mengadakan rapat pimpinan nasional?bekas orang nomor satu Angkatan Bersenjata ini lantas saja curhat?mengucurkan isi hatinya yang tengah gundah. Kata Wiranto, ada pejabat yang sibuk menggalang aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa pada 12 Mei lalu untuk memojokkan dirinya melalui isu pelanggaran hak asasi manusia dan antimiliter. "Rapat persiapan aksi juga dilakukan di rumahnya," ungkap Wiranto.
Ungkapan Wiranto membuat kader organisasi massa onderbouw Partai Golkar itu tersentak. Ruangan itu tiba-tiba menjadi senyap. Beberapa petinggi Partai Golkar yang saat itu hadir berpandangan. Siapakah tokoh pejabat yang dimaksud Wiranto? Sang jenderal pensiunan rupanya enggan menyebut secara terbuka.
Belakangan, nama pejabat yang tidak dibuka Wiranto tersebut terkuak ketika sebuah risalah pertemuan mendadak beredar di kalangan wartawan malam itu. Isi dokumen yang lebih mirip selebaran itu menguraikan hasil pertemuan di rumah dinas Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea di Kompleks Widya Chandra, Jakarta Selatan, Kamis, 6 Mei lalu. Yang hadir cukup banyak, 43 orang utusan dari 26 kelompok mahasiswa.
Sebagai tuan rumah, Jacob membuka pertemuan itu pada pukul 22.00. Karena pembicaraan menghangat, ia menyerahkan pertemuan itu kepada mahasiswa. "Rencana kalian rumuskan dan atur sendiri. Tugas saya hanya menyediakan dana yang diperlukan," begitulah dikabarkan sang Menteri memberikan "petunjuk".
Rencana yang dibahas adalah aksi mahasiswa pada 12 Mei 2004. Waktu dan lokasi aksi sudah ditentukan, pukul 13.00 di Bundaran Hotel Indonesia menuju Gedung MPR-DPR. Peserta yang harus disiapkan 5.000 orang dengan menggunakan 156 metromini. Sebuah posko aksi disiapkan di Jalan Otto Iskandar Dinata V, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Semua aksi ini membutuhkan biaya tak kurang dari Rp 410 juta. Setiap kelompok membutuhkan dana sekitar Rp 16 juta.
Isu sentral yang akan digulirkan adalah penolakan atas Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Agum Gumelar sebagai calon presiden dan wakil presiden dari kalangan eks militer. Wiranto juga akan dipersoalkan karena diduga bertanggung jawab terhadap sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia seperti kasus Trisakti, Semanggi, dan Timor Timur.
Terungkapnya pertemuan itu mau tak mau memantik reaksi. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Agung Laksono percaya bahwa cerita pertemuan itu benar adanya. Menurut dia, pertemuan itu sengaja dibuat untuk menyerang calon presiden partainya. "Tindakan ini bisa dikategorikan black propaganda atau kampanye negatif. Ini tak mendidik rakyat," katanya.
Jacob sendiri mengaku bertemu dengan para mahasiswa itu di rumah dinasnya pada 6 Mei lalu, seperti tertulis dalam risalah. Namun salah satu ketua PDI Perjuangan ini membantah kalau dikatakan pertemuan itu membicarakan demo antimiliter. "Kalau mereka (mahasiswa) membicarakan, saya tidak tahu," ujarnya.
Hari itu, kata Jacob, ia memang tidak masuk kantor. Ia berniat menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan. Namun, sejak pagi, rumah dinasnya sudah kedatangan banyak tamu. Siapa yang datang, Jacob mengaku tak ingat. "Suasananya kayak open house Lebaran atau tahun baru," ujarnya.
Menjelang malam, Jacob mengaku bertemu dengan para mahasiswa. Itu pun, kata dia, tak lebih dari lima menit. "Silakan, 'kalian' ada rencana apa, perlu bantuan apa. Ada yang minta (uang) kepada saya, saya kasih. Tapi, untuk apa, saya tidak tahu," ujarnya.
Hasyim Rahayaan, Koordinator Forum Mahasiswa Kawasan Indonesia Timur (Format), yang hadir dalam pertemuan itu, juga menampik tudingan Golkar. Menurut dia, pertemuan itu sama sekali tak membahas aksi anti-calon presiden dari militer. Ia bercerita, malam itu hadir wakil elemen mahasiswa dari Gerakan Muda Nahdlatul Ulama, Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama, Famred, Komunitas, Format, dan sejumlah perguruan tinggi swasta di Jakarta. "Mereka datang tak diundang, tapi datang sendiri. Pak Jacob sendiri cuma sebentar," kata mahasiswa Universitas Islam Az-Zahra Jakarta ini.
Dalam pertemuan itu, mereka sepakat membentuk tim sembilan untuk merumuskan rencana aksi. Tim sembilan meminta Jacob memfasilitasi gerakan anti-Orde Baru dan antimiliter dengan anggaran Rp 410 juta. Namun Jakob menolak memberikan dana itu karena hal itu dianggap keluar dari koridor. "Jacob hanya memberi uang lima juta sebagai transportasi semua mahasiswa yang hadir malam itu," kata Hasyim, anggota tim sembilan.
Meyakini Menteri Jacob bakal mengucurkan dana, tim sembilan ini akhirnya bertemu lagi di Hotel Mega, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Mei. Rupanya, pertemuan di kamar 210 itu hanya menghasilkan aksi saling tuding soal besaran dana dan bocornya isi pertemuan di rumah Jacob. Perselisihan itu berujung pada baku hantam di antara anggota tim sembilan.
Hasyim sendiri menduga, berita seolah-olah Jacob menyokong gerakan antimiliter ini disebarkan mahasiswa yang kecewa karena tak mendapat dana dari Jacob. Hasyim ogah menyebut siapa yang dia maksud. Yang jelas, memang tak semua aktivis yang hadir bersepakat mengunci rapat bibirnya soal pertemuan itu. Sebab, kata Supriyanto, salah seorang yang hadir, aktivis mahasiswa yang datang dalam pertemuan di rumah Jacob amatlah beragam dan dengan pemikiran yang berbeda-beda. Ini terbukti, ketika mereka menyusun rencana aksi, bentuknya berbeda-beda. "Kami juga tidak terlalu kenal siapa saja mereka. Kalau ada cerita keluar, bisa saja," ujarnya.
Supriyanto tak salah. Sepekan setelah pertemuan itu, Wiranto menerima sepucuk laporan tertulis dari sejumlah mahasiswa. Isinya risalah rapat plus absensi pertemuan. "Kami juga punya data dan rekaman lengkap pembicaraan itu. Siapa yang memberikan, tak etis jika saya ungkapkan," kata Slamet Effendy Yusuf, ketua tim sukses Wiranto-Salahuddin Wahid.
Sebagai mantan aktivis, Slamet mengaku cukup punya jaringan di kalangan aktivis. "Biar jelek-jelek begini, saya bekas aktivis. Teman saya banyak yang mendukung perjuangan kami. Saya tersinggung kalau anak-anak muda ditukangi dan diduitin untuk kepentingan politik tertentu. Biarkan mereka tetap menjalankan gerakan moral," ujarnya.
Golkar sedang berhitung untuk tidak tinggal diam. Kini tim advokasi Partai Golkar dan Wiranto tengah mempelajari sejumlah bukti dan dokumen untuk menyeret Jacob ke muka pengadilan. "Kami tengah mengumpulkan buktinya. Kita tunggu saja. Kalau sudah ada bukti konkret, kami akan mengambil langkah hukum yang diperlukan. Kami tak mau asal ngomong," kata Slamet mengancam.
PDI Perjuangan sendiri mempersilakan Wiranto dan Golkar menempuh jalur hukum. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung, jika benar aksi itu digalang oleh Jacob, tindakan tersebut tak bisa dibenarkan. "Itu bukan agenda PDIP. Sebab, kami sudah meminta kepada anggota untuk tidak melakukan kampanye yang negatif dalam pemilu presiden," ujarnya.
Dalam pengamatan Munir, Direktur Imparsial, sebenarnya praktek black propaganda sudah biasa dilakukan semua tim sukses calon presiden. "Jadi, bohong saja kalau itu hanya terjadi pada Mega atau Wiranto. Semua calon melakukan hal yang sama," ujarnya.
Tapi apa yang baru dengan kampanye hitam dan propaganda negatif? Bukankah itu senjata ampuh Orde Baru untuk melemahkan lawan-lawan politiknya? Soalnya tinggal adakah Partai Golkar, yang kali ini menjadi korban, punya bukti kuat dan serius membawa urusan ini ke pengadilan.
Widiarsi Agustina, Sunariah (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo