Sebuah ”krisis” tengah menghantam International Crisis Group (ICG), lembaga dunia yang banyak memberikan advokasi untuk pemecahan krisis nasional dan internasional, seperti konflik di Aceh dan Papua. Problem itu muncul pekan lalu di Jakarta—bukan di markas besar ICG di Brussels, Belgia.
Sidney Jones, Direktur ICG sejak tahun 2000, yang berkantor di Menara Thamrin lantai 14, hampir pasti tak akan memperoleh perpanjangan izin kerja dari Departemen Tenaga Kerja. Perempuan asal Amerika Serikat itu mengakui sulitnya memperoleh perpanjangan izin sejak Februari silam. ”(Izin itu) ditolak. Saya mendengar dari staf Departemen Tenaga Kerja,” ujar Jones.
Apa kesalahan Sidney Jones di mata pemerintah? ”Dia bukan sekadar social worker. Sidney banyak melakukan ceramah yang memasuki koridor politik, hak asasi manusia, atau militer, yang berpotensi memecah belah masyarakat,” ujar seorang anggota Komisi Pertahanan-Keamanan DPR yang hadir dalam acara rapat kerja dengan Badan Intelijen Negara (BIN), Selasa pekan lalu.
Dalam rapat yang tertutup bagi pers tersebut, salah satu agenda yang dibahas adalah mengevaluasi pelaksanaan pemilu legislatif, kondisi pascapemilu, dan persiapan pemilu presiden. Nah, pada topik yang terakhir inilah disebut-sebut nama sejumlah organisasi non-pemerintah dan individu yang diprediksi akan mengganggu kelancaran pemilu 5 Juli. Dari 20 nama yang beredar di Senayan, antara lain Elsham (Papua), Sidney Jones, dan Max Lane, aktivis Partai Demokrat Sosial Australia, yang juga penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris.
Khusus tentang ICG, Kepala BIN A.M. Hendropriyono menyatakan tidak semua laporan yang dibuat oleh lembaga yang memiliki 13 kantor cabang di seluruh dunia itu akurat. ”Ada juga yang tidak betul. Ini membuat citra buruk bagi Indonesia. Pekerjaan kita akhirnya cuma menjawab pertanyaan-pertanyaan internasional tentang laporan yang tidak benar itu,” katanya. Kritik tentang ketidakakuratan laporan ICG juga muncul dari Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda.
Selama ini ICG dikenal memahami detail informasi tentang peta daerah konflik seperti Aceh, Ambon, dan Papua. Namun yang membuat nama Sidney Jones berkibar kencang adalah informasi eksklusif, sekaligus sensitif, tentang Jamaah Islamiyah (JI), yang sering dibicarakannya secara blakblakan, mendalam, tanpa ditutup-tutupi.
Dalam laporan tentang bagaimana JI beroperasi, misalnya—sebuah dokumen berkode Asia Report No. 43 yang diterbitkan pada 11 Desember 2002—ICG memaparkan adanya kaitan misterius antara orang Aceh yang dekat dengan JI dan pihak intelijen militer Indonesia dalam peristiwa bom malam Natal di Medan, Sumatera Utara. Meski tidak menyimpulkan bahwa intelijen militer Indonesia telah bekerja sama dengan JI, keduanya dikaitkan karena sama-sama menentang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sebagian bahan yang dipakai Jones untuk laporan kasus bom Medan diambil dari hasil investigasi Majalah TEMPO beberapa waktu setelah tragedi itu terjadi.
Pada bagian rekomendasi dalam laporan itu, ICG menyarankan perlunya pemerintah Indonesia menempuh tiga langkah penyelesaian. Di antaranya adalah memperkuat kemampuan dan koordinasi intelijen dengan titik berat pada Polri ketimbang pada Badan Intelijen Nasional atau TNI.
Rekomendasi yang lebih tajam berada di butir ketiga, dengan mendorong pemerintah agar ”memberikan perhatian lebih serius terhadap korupsi di kalangan polisi, tentara, serta dinas imigrasi, khususnya sehubungan dengan perdagangan senjata dan bahan peledak”.
Presiden dan Direktur Eksekutif ICG, Gareth Evans, yang juga mantan Menteri Luar Negeri Australia, menyesalkan bila Sidney Jones harus diusir dari Indonesia. ”Saya kira pemerintah Indonesia harus memperhitungkan benar. Ini akan lebih memperburuk citra Indonesia ketimbang citra ICG,” ujarnya seperti dikutip radio Australia, ABC.
ICG sendiri sebetulnya sudah dua kali menyurati Hendropriyono untuk mendapat penjelasan. ”Tapi hingga sekarang belum ditanggapi,” kata Jones.
Sejauh ini Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim, Hari Sabarno, menyatakan belum menanggapi usul tidak diperpanjangnya izin tinggal bagi Jones. Alasan Hari, masalah ini belum disampaikan dalam rapat koordinasi bidang politik dan keamanan. ”Sebaiknya DPR yang memberikan rekomendasi secara resmi,” katanya.
Bak gayung bersambut, Yasril Ananta Baharuddin dari Fraksi Golkar di Komisi Pertahanan DPR menegaskan, kebijakan untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang izin tinggal seorang warga asing adalah hak pemerintah yang bersangkutan. ”Apakah kalau kita misalnya tak mendapat izin tinggal atau visa masuk ke Amerika Serikat, lantas kita menganggapnya sebagai masalah politik? Jangan semua hal dibesar-besarkan, dong,” katanya.
Untuk sementara Sidney Jones memang harus meninggalkan Indonesia paling lambat 10 Juni nanti. Setelah itu, rencananya, dia akan mencari izin tinggal lagi dari perwakilan Indonesia di luar negeri. Jadi, sementara waktu, adios, Kawan Sidney.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini