Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosiolog Imam Prasodjo terkejut. Saat sedang menunggu rekaman talk show Ada Aa Gym?acara yang menghadirkan Imam dan calon presiden Partai Golkar Wiranto di stasiun RCTI?dua pekan lalu, tiba-tiba ia dipanggil Edi Pribadi, produser acara itu. "Pak Wiranto tidak menghendaki Mas Imam di acara ini," kata Edi.
Beberapa menit lagi acara yang dipandu pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid, K.H. Abdullah Gymnastiar, itu akan dimulai. Imam, yang tak tahu dari mana larangan itu berasal, tiba-tiba nekat ketika melihat Wiranto masuk ke ruang tunggu VIP. Dosen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia itu duduk di samping sang kandidat presiden dan bertanya blakblakan. "Benarkah Pak Wiranto tidak comfortable jika saya ikut acara ini?" tanya Imam. Wiranto menjawab, "O, enggak benar itu." Berkali-kali ia mengulang bantahan itu untuk meyakinkan Imam. Mendengar jawaban Wiranto, Imam segera menemui Edi dan Wakil Pemimpin Redaksi RCTI Atmadji Sumarkidjo. "Terus saja, enggak masalah," katanya. Imam pun tampil ke depan.
Yang sewot adalah Mayjen (Purn.) Asman Akhir Nasution, bekas Direktur Utama PT Telkom yang kini adalah salah satu anggota tim sukses Wiranto. Ternyata dari dialah larangan itu berasal?entah apa alasannya. Melihat Imam tetap maju, A.A. Nasution meradang kepada kru RCTI. "Saya sempat mendengar (dia marah)," kata Rasyidin, sekretaris Aa Gym, yang ada di sana saat itu.
Padahal sebelumnya sudah dijelaskan oleh pihak RCTI bahwa acara ini bukan siaran langsung. "Kalau ada yang enggak berkenan, kan, bisa diedit," ujar Edi. Terbukti, ketika rekaman itu diputar kembali, tak ada komplain sama sekali dari Wiranto. Ketika ditanyai, A.A. Nasution panjang-lebar menjelaskan duduk persoalannya. Sayang, sama sekali ia tak mau dikutip.
Insiden Imam Prasodjo ini lalu beredar dari satu pesan pendek (SMS) ke pesan pendek lainnya dengan berbagai bumbu. Lalu tiba-tiba orang terenyak: inikah yang terjadi jika kita berurusan dengan kandidat presiden bekas militer yang dikelilingi juga oleh banyak bekas jenderal?
Ketika Wiranto menang dalam konvensi Golkar dan Susilo Bambang Yudhoyono?bekas Kepala Sosial Politik TNI?dipastikan mendaftar menjadi calon presiden, "hantu" pemerintahan bergaya militer tiba-tiba membayang: kebebasan berpendapat diberangus, pemerintah berperan sebagai komandan. Di samping Wiranto dan Yudhoyono, kandidat lainnya adalah bekas Komandan Komando Pasukan Khusus Agum Gumelar, yang akan mendampingi Hamzah Haz, sebagai wakil presiden.
Tampilnya tiga nama eks Cilangkap itulah yang menyebabkan gerakan anti-presiden militer tiba-tiba merebak. Adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono yang dalam rapat tertutup dengan DPR Selasa pekan lalu mengungkap adanya pihak yang menghendaki pemilihan presiden kacau. Salah satunya dengan cara menggalang reaksi negatif masyarakat internasional terhadap calon presiden yang dinilai melanggar hak asasi manusia. Meski tak eksplisit, tak sulit menduga bahwa calon presiden yang dimaksud Hendro adalah Jenderal (Purn.) Wiranto, yang memang kerap dituding bertanggung jawab atas pelbagai kasus pelanggaran hak asasi.
Kata Yasril Ananta Baharuddin dari Fraksi Golkar, saat itu BIN membeberkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri yang diduga bisa mengganggu keamanan. "Kurang-lebih ada 20, antara lain Direktur International Crisis Group (ICG) Sidney Jones dan Lembaga Studi Hak Asasi Manusia dan Advokasi Masyarakat," kata Yasril (lihat Adios Sidney Jones).
Di lapangan, gerakan anti-presiden militer memang terjadi. Yang terbaru adalah munculnya Gerakan Baru Indonesia (GBI), yang dideklarasikan dua pekan lalu. Gerakan ini adalah wadah aktivis mahasiswa 1998 dan sejumlah aktivis LSM, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tak kurang dari artis Wanda Hamidah dan Gugun Gondrong pun muncul di antara aktivis LSM dalam acara deklarasi itu. "Gerakan Baru Indonesia menolak calon presiden militer," kata salah seorang perwakilan GBI, Togi Simanjuntak.
Di Malang, Jawa Timur, aksi penolakan calon presiden purnawirawan dimulai dua pekan lalu. Aksi-aksi itu diwarnai pembakaran boneka berbaju loreng di Alun-alun Kota Malang. Di Jawa Tengah, penolakan calon presiden bekas militer diusung Aliansi Prodem Semarang. Menurut Robertus Belarminus, Ketua Presidium Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), isu yang mereka usung tidak semata-mata menolak calon presiden dari tokoh militer, tapi juga menolak militerisme. "Jadi, tidak hanya menolak tokoh TNI, kami juga menolak tokoh sipil yang melakukan praktek militerisme," ujarnya kepada wartawan TEMPO Sohirin.
Di Yogyakarta, aksi serupa digelar Front Aksi Mahasiswa Jogja (FAMJ). "Militer masih menjadi sosok menakutkan jika menjadi pemimpin bangsa," kata Koordinator FAMJ Achmad Rifqi Ilmu. Salah satu alasannya, militer bukan sosok yang demokratis meski orang seperti Wiranto, Yudhoyono, dan Agum Gumelar kini bukan lagi militer aktif. "Cap bahwa SBY (panggilan Yudhoyono) adalah TNI reformis belum cukup meyakinkan kami," ujar Rifqi kepada Heru C.N. dari TEMPO.
Di Surabaya, demo Front Demokratik Rakyat Bersatu (FDRB) bahkan berakhir dengan jebolnya pintu gerbang Gedung Negara Grahadi, tempat Gubernur Jawa Timur menerima tamu.
Aksi anti-calon presiden bekas jenderal ini mau tak mau menguntungkan kandidat sipil. Bahkan sejumlah aksi mahasiswa disebut-sebut disponsori politisi partai yang mengusung presiden nonmiliter. Yang sudah banyak disebut media massa adalah keterlibatan pengurus PDI Perjuangan dan Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea dalam aksi mahasiswa?sesuatu yang dibantah Jacob (lihat Wiranto, Jacob, dan Propaganda Hitam).
Kelompok Forum Kota (Forkot) juga disebut-sebut dibiayai PDI Perjuangan. Namun aktivis Forkot, Adian Napitupulu, membantah keras berita itu meski ia tak menolak pernah ditawari masuk Mega Center. "Kalau gua kenal dengan banyak orang PDIP sejak dulu sih iya, tapi kita tidak masuk ke partai itu," ujarnya kepada Nunuy Nurhayati dari Tempo News Room.
Ketua YLBHI Munarman pun tak menutup kemungkinan bahwa GBI telah dimanfaatkan tim sukses Mega. Namun ia menegaskan bahwa agenda mereka meliputi empat hal, yakni anti-militerisme, anti-korupsi, anti-Orde Baru, dan anti-imperialisme. "Simbiosis mungkin iya, asalkan jangan mengganggu empat agenda itu," ujarnya.
Meski menolak tudingan bahwa aksi mereka disokong kubu Banteng, juru bicara FDRB, Rudy Asiko, menyadari bahwa kampanye anti-militerisme dan anti-Orde Baru akan menguntungkan posisi Mega-Hasyim. Tapi, menurut dia, ini adalah bagian dari strategi gerakan. "Ketika di sana ada musuh yang lebih besar, musuh yang lebih besar itu yang harus dilawan (bersama)," katanya.
Kubu Wiranto menyadari "serangan" di balik gerakan anti-calon presiden militer semacam itu. Maklum, calon presiden yang satu inilah yang paling banyak disorot masa lalunya. Ia dituding bertanggung jawab atas kerusuhan Mei, kasus Semanggi I dan II, serta kerusuhan pasca-jajak pendapat di Timor Timur pada 1999. "Tampaknya, Teuku Umar (kediaman Megawati) mencoba menerapkan strategi yang memenangkan PDIP pada 1999 dulu," ujar Komaruddin, salah seorang anggota tim sukses Wiranto. Maksudnya, PDI Perjuangan sedang berusaha menggalang sentimen anti-militer dan anti-Orde Baru untuk pemilu 5 Juli nanti.
Menurut Slamet Effendy Yusuf, ketua tim sukses Wiranto-Salahuddin Wahid, pihaknya sedang mengumpulkan bukti mengenai upaya pihak PDI Perjuangan membeking mahasiswa untuk menggelar kampanye negatif terhadap Wiranto. Ia bahkan mengaku punya data dan rekaman pembicaraan lengkap pertemuan di rumah Jacob Nuwa Wea pada 6 Mei lalu.
Tim sukses PDIP membantah tudingan bahwa mereka membiayai demo-demo itu. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung, para pemimpin pusat PDIP telah melarang anggotanya melakukan kampanye negatif dalam pemilu presiden. "Kami sudah meminta siapa pun yang mendukung Mega-Hasyim melakukan kampanye secara cerdas, elegan, dan tidak melakukan kampanye negatif," ujarnya kepada Deddy Sinaga dari Tempo News Room. Sayang, ia enggan mengomentari kasus Jacob.
Meski tidak serepot Wiranto dalam menangkal isu hak asasi manusia, Yudhoyono pun diterpa banyak isu miring, seperti soal dukungan kelompok nonmuslim dan Amerika Serikat terhadap dirinya. Juga soal adanya uang konglomerat hitam di kubu tim suksesnya. Yudhoyono bahkan harus tampil sendiri meluruskan berbagai tuduhan itu. Karena itu, tim sukses Yudhoyono menganggap gerilya anti-calon presiden militer ini sudah tidak murni. "Ini bagian dari black propaganda," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Max Sopacua.
Dari Cilangkap, tak ada reaksi yang berlebihan. "TNI tidak akan tersinggung pada kampanye semacam itu. TNI telah menegaskan untuk tidak memihak salah satu kandidat. Silakan saja mereka berkampanye (anti-presiden militer), toh para kandidat itu bukan anggota TNI lagi," kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin.
Tak seperti kedua saingannya, wakil presiden dari Partai Persatuan Pembangunan, Agum Gumelar, tampak paling aman dari gempuran. "Kita tidak perlu apriori ataupun frontal menghadapi yang tidak setuju pada figur militer," kata Abu Hasan Sazili, anggota tim sukses pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar.
Sulit memang menjaga gerakan anti-calon presiden militer bisa berjalan murni tanpa tudingan disusupi kepentingan calon presiden sipil. Anti kepada yang satu sangat mungkin diterjemahkan sebagai pro kepada yang lain. Fakta bahwa calon presiden sipil pun memiliki tim sukses yang berasal dari korps baju hijau juga bisa melemahkan gerakan ini (lihat Old Soldier Never Dies...).
Karena itu, Imam Prasodjo menilai sikap militeristislah yang seharusnya ditolak?sikap yang bisa menjangkiti bekas militer ataupun politisi sipil. Imam tidak terlalu yakin kampanye antimiliter, baik yang murni maupun yang dibiayai kandidat presiden lain, akan efektif.
Karena itu, kubu Wiranto percaya diri, meski diguncang berbagai aksi, perolehan suara mereka tak akan terpengaruh. Kata Slamet, perolehan suara Golkar, yang digempur setengah mati, justru meningkat dalam pemilu legislatif lalu. Saat ini, kata Slamet, yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang mengatasi kesulitan hidup. "Yang dibutuhkan pemimpin yang menawarkan solusi terhadap problem bangsa, bukan orang yang memproduksi isu, memelihara dendam, dan memelihara prasangka," katanya.
Penelitian yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan International Foundation for Election Systems (IFES) malah menunjukkan, dibandingkan dengan kandidat lain, justru Susilo Bambang Yudhoyono yang dari korps militerlah yang diminati publik. Kata peneliti LSI, Saiful Mujani, beberapa waktu lalu, pilihan ini disebabkan oleh jatuhnya kepercayaan publik kepada politisi sipil dan faktor kuatnya figur Yudhoyono. Fakta ini dibenarkan Munir dari LSM Imparsial. "Rata-rata politisi sipil memang masih bergantung pada dukungan militer," katanya.
Karena itu, ada yang menyarankan, daripada berkampanye anti-presiden militer, lebih baik mengurai dosa dan latar belakang para kandidat, baik sipil maupun militer, agar jelas di mata calon pemilih. Selanjutnya, biarlah publik yang mengambil keputusan.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Sudrajat, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo