Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya
Di Channel News Asia televisi Singapura, seorang pengamat mengatakan, ”Masyarakat Indonesia mungkin akan memaafkan (forgive) kesalahan Pak Harto tetapi tidak melupakannya (forget).”
Dalam praktek pergaulan, memaafkan dan melupakan seperti kucing-kucingan. Seseorang mungkin memaafkan, karena dia dapat melupakan kesalahan yang terjadi atas dasar kemanusiaan. Tetapi mungkin sekali dia memaksakan untuk memberikan maaf, untuk menyudahi perkara, tetapi belum tentu bisa menghapus apa yang sudah terjadi, apalagi kalau ditegaskan tidak bisa.
Dengan melupakan, seseorang praktis seperti memaafkan sebuah kesalahan, meskipun atau padahal, belum tentu begitu maksudnya. Mungkin ia sama sekali tak bisa memaafkan, jadi lebih baik melupakan saja, seakan-akan semua itu tidak pernah terjadi, sehingga ia bebas, tidak lagi terbebani.
Memaafkan mengandung rasa mengampuni, tetapi tidak menjanjikan untuk bersedia menganggap itu tak pernah terjadi. Tetap menuliskannya dalam sejarah, namun tidak lagi dengan luapan emosi yang normal. Peristiwa tersebut dilirihkan, dikendurkan, digemboskan, dikerjain agar tak mampu menyentuh perasaan lagi.
Melupakan adalah seperti membatalkan kejadian. Tak hanya menghapus dari kenangan tetapi juga mengeluarkan hal tersebut dari sejarah. Tapi, di pihak lain, melupakan tak pernah mengampuni, tapi hanya ingin melenyapkan. Jadi memaafkan tak selamanya berarti melupakan. Namun melupakan, bila tak ada pernyataan secara formal, sebenarnya secara diam-diam memaafkan.
Memaafkan dan melupakan adalah upaya mengganggu, membelokkan, dan kemudian membatalkan apa yang sudah terjadi. Semuanya dilakukan demi menjaga harmoni yang hendak dipelihara sebagai aturan hidup bersama. Karena hidup adalah sebuah bebrayatan, hubungan kekeluargaan. Masyarakat adalah sebuah peguyuban.
Dalam peguyuban, individu bukan lagi pribadi, tetapi satu paket dengan orang lain. Melindungi diri berarti juga melindungi orang lain. Setiap orang berkewajiban melindungi hak orang lain yang adalah keluarganya. Dan sebagai konsekuensinya, hak seseorang tidak dijaga dan diperjuangkan oleh masing-masing, tetapi oleh orang lain.
Kita mengenal asas gotong-royong. Bahkan disepakati sebagai perasan dari kelima sila Pancasila. Bergotong-royong berarti mengangkat dan memboyong segala sesuatu bersama-sama. Kesalahan pribadi pun diangkat dan diboyong, sehingga tidak lagi menjadi tanggungan individu tapi tanggungan bersama. Dan karena sudah dikeroyok bersama, apa yang salah dilupakan sumber sebenarnya. Individu pun boleh merasa bahwa ia sudah dimaafkan.
Ini cocok dengan sifat bangsa kita yang terkenal dan kita banggakan sebagai gampang memaafkan dan mudah melupakan. Berbagai kejadian dalam sejarah juga sudah membuktikan bangsa Indonesia dengan gampang memaafkan dan melupakan. Apakah itu menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang memiliki rasa kasih sayang yang tinggi? Bangsa yang menempatkan kemanusiaan sebagai primadona? Atau itu pertanda bahwa kita tidak memiliki kesadaran sejarah?
Apakah kita bangsa yang terlalu mudah memberikan reinterpretasi dan reposisi terhadap segala sesuatu yang sudah terjadi. Di satu pihak reinterpretasi dan reposisi adalah kiat unggul yang mengandung tujuan untuk selalu memperbarui diri sehingga tetap aktual hingga selaras dengan zaman. Tetapi di belahan yang lain, keduanya juga bisa jadi racun yang membelokkan kita menjadi bangsa yang dengan mudah mengubah arti segala-galanya demi tujuan yang mau dicapai. Walhasil menghalalkan cara demi acara.
Dengan mudah kita telah membongkar bangunan-bangunan bersejarah, misalnya, dan menggantinya dengan monumen baru untuk mal, tanpa ada perasaan rugi, risi, apalagi bersalah. Tujuan yang ada dalam agenda kita yang menjadi utama. Usaha untuk menyelamatkan warisan sejarah berupa dokumen, prasasti, benda penemuan arkeologi pun jadi tak perlu, padahal harganya tak ternilai.
Dokumentasi tak diurus. Gedung arsip negara dan museum terbengkalai. Kita selalu mau melihat ke depan sambil melupakan masa lalu. Pada ujung-ujungnya, sejarah pun kita tulis berkali-kali kembali. Bukan untuk lebih mencocokkannya dengan fakta, tetapi lebih meyesuaikannya dengan kebutuhan kita yang ada di depan mata.
Kita tak peduli akan kehilangan sejarah. Karena sejarah setiap kali dapat ditulis lagi menurut kemauan kita. Sejarah adalah kita sendiri. Peduli amat kalau itu membuat kita kehilangan karakter.
Memaafkan dan melupakan dengan demikian mengandung arti yang berbeda lagi. Memaafkan berarti berpura-pura menerima yang salah tidak sebagai kesalahan. Dan melupakan berarti memotong semua yang tidak kita perlukan meskipun itu adalah fakta. Memaafkan dan melupakan dengan begitu jadi tindakan berbohong, menolak kehidupan nyata, untuk menjelmakan apa yang kita inginkan.
Baik memaafkan maupun melupakan bertemu sebagai tindakan yang sama-sama membelajarkan kita jadi penipu. Membohongi diri sendiri, gemar cipoa pada orang lain. Mengingkari sejarah, dan yang paling parah: tak bermoral.
Apakah memaafkan dan melupakan masih bisa disebut sebagai perbuatan yang terpuji, kalau ujungya sudah membuat manusia menjadi tak sehat jiwanya?
Nanyang, Singapura, 29 Januari 2008
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo