JANGAN heran, di kota Lhokseumawe di Aceh (Utara) itu WTS sedang
berkembang biak. Tapi jangan pula dilupakan, ini berkaitan erat
dengan mulai mengalirnya gas alam cair (LNG) di Arun itu. Karena
itu tak perlu cepat-cepat menuduh sebutan serambi Mekah bagi
daerah ini dengan sendirinya telah ternodai.
"Dulu ada WTS lokal yang berkeliaran di Pasar Gambir dan stasiun
kereta api, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari," kata
seorang petugas di Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara yang
membawahi kota Lhokseumawe. Tapi akhir-akhir ini jari tangan dan
kaki rupanya tak cukup lagi untuk menghitung jumlah
wanita-wanita itu.
Sensus tak dikabarkan pernah ada. Kalaupun ada, hasilnya tentu
akan kurang meyakinkan. Sebab, seperti dikatakan pejabat dinas
sosial pula, tak sedikiI gadis-gadis dan 'nyonya-nyonya atau
janda' setempat pun yang cari duit dengan menjual diri.
Prakteknya di kamar hotel atau rumah-rumah biasa. Yang pasti WTS
profesionil yang praktek di kedai-kedai minum di daerah Sawang
Keupeula saja jumlahnya tak kurang dari 40 orang.
Samiah
Terletak di jalur Lhokseumawe Medan, kawasan Sawang Keupeula
memang sudah sejak lama dikenal sebagai daerah mesum. Bisa
diduga, penyebabnya tak lain bapak-bapak supir yang mungkin
'lesu' di jalan. Tapi, bermula di Sawang Keupeula, warung
remang-remang kini menjalar pula ke beberapasu sudut kota yang
lain. Yang menyolok sampai pula warung itu ada yang berdiri di
dekat kantor bupati sendiri, denga bangunan berdinding terpas,
lantai tanah dan atap daun rumbia.
Samiah, seorang bekas WTS di Medan dan kini jadi germo di satu
pondok d Sawang Keupeula mengakui akhir-akhi] ini ia sibuk.
Semula ia hanya menyedia kan tempat gituan di warungnya yang
kecil di sudut Jalan Cunda di bilangar kota. Belakangan ia
merasa harus mendirikan pondok khusus di Sawang Keupeula itu.
Siapa peminat-peminatnya tentu saja bukan urusan Samiah untuk
mengeceknya. Tapi ia yakin betul yang banyak berkunjung katanya
orang-orang dari proyek Arun.
Kalau bupati atau walikota di berbagai kota di daerah lain
dikabarkan suka menindaknya, disini usaha seperti itu belum
terlihat. Tapi, akan halnya WTS itu sendiri bila satu waktu
diusir, pada waktu lain akan kembali pula. Maklum, khususnya
orang-orang dari proyek Arun dikenal para WTS sebagai bukan saja
'kehausan' bahkan banyak duit. Entah benar entah tidak, Mini
misalnya, seorang WTS yang dulu diasuh Samiah tapi kini telah
berdiri sendiri semenjak punya langganan seorang Jepang, mengaku
tiap bulan punya penghasilan lebih dari Rp 100 ribu.
Dan Bupati Aceh Utara M. Ali pun berkata: "Kita perlu suatu pola
untuk menanggulangi WTS-WTS ini." Pola yang bagaimana, rupanya
masih tersimpan di dalam kepala sang bupati. Ali berbicara soal
pola itu tak lama setelah bulan lalu ia menggusur warung
remangmang yang ada di dekat kantornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini