Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

WTS, Tak Cukup Dengan Jari

Berbarengan dengan pembangunan proyek lng Arun, kini di Lhokseumawe berkembang pula WTS. Peminatnya kebanyakan orang-orang dari proyek Arun sendiri.(kt)

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGAN heran, di kota Lhokseumawe di Aceh (Utara) itu WTS sedang berkembang biak. Tapi jangan pula dilupakan, ini berkaitan erat dengan mulai mengalirnya gas alam cair (LNG) di Arun itu. Karena itu tak perlu cepat-cepat menuduh sebutan serambi Mekah bagi daerah ini dengan sendirinya telah ternodai. "Dulu ada WTS lokal yang berkeliaran di Pasar Gambir dan stasiun kereta api, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari," kata seorang petugas di Dinas Sosial Kabupaten Aceh Utara yang membawahi kota Lhokseumawe. Tapi akhir-akhir ini jari tangan dan kaki rupanya tak cukup lagi untuk menghitung jumlah wanita-wanita itu. Sensus tak dikabarkan pernah ada. Kalaupun ada, hasilnya tentu akan kurang meyakinkan. Sebab, seperti dikatakan pejabat dinas sosial pula, tak sedikiI gadis-gadis dan 'nyonya-nyonya atau janda' setempat pun yang cari duit dengan menjual diri. Prakteknya di kamar hotel atau rumah-rumah biasa. Yang pasti WTS profesionil yang praktek di kedai-kedai minum di daerah Sawang Keupeula saja jumlahnya tak kurang dari 40 orang. Samiah Terletak di jalur Lhokseumawe Medan, kawasan Sawang Keupeula memang sudah sejak lama dikenal sebagai daerah mesum. Bisa diduga, penyebabnya tak lain bapak-bapak supir yang mungkin 'lesu' di jalan. Tapi, bermula di Sawang Keupeula, warung remang-remang kini menjalar pula ke beberapasu sudut kota yang lain. Yang menyolok sampai pula warung itu ada yang berdiri di dekat kantor bupati sendiri, denga bangunan berdinding terpas, lantai tanah dan atap daun rumbia. Samiah, seorang bekas WTS di Medan dan kini jadi germo di satu pondok d Sawang Keupeula mengakui akhir-akhi] ini ia sibuk. Semula ia hanya menyedia kan tempat gituan di warungnya yang kecil di sudut Jalan Cunda di bilangar kota. Belakangan ia merasa harus mendirikan pondok khusus di Sawang Keupeula itu. Siapa peminat-peminatnya tentu saja bukan urusan Samiah untuk mengeceknya. Tapi ia yakin betul yang banyak berkunjung katanya orang-orang dari proyek Arun. Kalau bupati atau walikota di berbagai kota di daerah lain dikabarkan suka menindaknya, disini usaha seperti itu belum terlihat. Tapi, akan halnya WTS itu sendiri bila satu waktu diusir, pada waktu lain akan kembali pula. Maklum, khususnya orang-orang dari proyek Arun dikenal para WTS sebagai bukan saja 'kehausan' bahkan banyak duit. Entah benar entah tidak, Mini misalnya, seorang WTS yang dulu diasuh Samiah tapi kini telah berdiri sendiri semenjak punya langganan seorang Jepang, mengaku tiap bulan punya penghasilan lebih dari Rp 100 ribu. Dan Bupati Aceh Utara M. Ali pun berkata: "Kita perlu suatu pola untuk menanggulangi WTS-WTS ini." Pola yang bagaimana, rupanya masih tersimpan di dalam kepala sang bupati. Ali berbicara soal pola itu tak lama setelah bulan lalu ia menggusur warung remangmang yang ada di dekat kantornya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus