Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

5 petani & Perhutani Mencari Hutan

5 wakil petani desa Patimuan mengadu ke DPR. Tanah yang mereka garap dan tempati sejak zaman Jepang mau dihutankan kembali oleh perhutani. janji Mentanha Diwijaya untuk menyelesaikan tak kunjung datang.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA orang petani dari Desa Patimuan (Kecamatan Gedungreja) Kabupaten Cilacap datang ke DPR di Jakarta Selasa akhir Oktober. Senin 6 Nopember, Jumri AS, seorang di antaranya datang lagi dengan ditemani 3 orang anggota DPRD Cilacap termasuk Wakil Ketua Djuwari. Kepada fraksi PDI di DPR Pusat mereka minta tolong, "agar keresahan yang menimpa 5000 kepala keluara petani di desa itu diatasi," sebagaimana dikatakan Djuwari kepada Aris Amiris dari TEMPO. Ceritanya, lima ribu keluarga petani itu sudah menempati seluas kira-kira 6.000 hektar tanah negara sejak zaman pendudukan Jepang. Di antaranya 4.500 hektar diolah sebagai sumber nafkah, sisanya jadi perkampungan dan sebagian masih berupa rawa. Bertahun-tahun tak ada persoalan. Tahun 1960, Pemda memungut luran Pembangunan Daerah (Ipeda) atas tanah itu. Mereka bukan saja memenuhi, bahkan gembira. Dengan dipungutnya Ipeda, hak penggarapan tanah itu terlindungi fikir mereka. Mendadak, tahun 1972 Perhutani mengaku punya hak pemilikan atas tanah tadi. Petani mengadu kepada DPRD setempat. DPRD Cilacap melaporkannya ke DPRD Jawa Tenah. Tak jelas betul instansi mana yang kemudian bertindak. Pokoknya tahun 1973 tanah menjadi milik Perhutani. Petani tak sepenuhnya ditinggalkan. Dengan syarat menyetor 8 kwintal hasil panen setiap musim, mereka boleh menggarap tanah itu terus. Saya Berjanji Ketimbang luput petani menerima. Tapi mereka terus berikhtiar agar tanah itu menjadi milik masing-masing. Sampailah kemudian dua tahun lalu, Menteri Pertanian Thoyib Hadiwijaya waktu itu ditemani Gubernur Ja-Teng Supardjo, datang ke Desa Patimuan dengan helikopter. Di depan 30 ribu penduduk desa berkata Thoyib "Saya berjanji masalah tanah ini segera akan diselesaikan." Tapi persoalan tak kunjung selesai. Sampai Thoyib sendiri tak tercantum namanya dalam susunan Kabinet Pembangunan III sekarang. Karena itu sampailah para petani dan anggota DPRD setempat di Senayan Jakarta. "Mereka berangkat tanpa sepengetahuan saya maupun Camat," kata Lurah U. Suryono kepada TEMPO. Yang pergi tanpa sepengetahuan Lurah adalah 5 petani Jumri AS, Majardi, Japawira, Sanwikrama dan Sanduri. Lurah tidak mengatakan apakah salah kalau rakyat mengadu kepada wakilnya di Jakarta. Sebelum para petani itu sampai di Jakarta, sepucuk surat sudah dilayangkannya lebih dulu 5 Oktober 1978 kepada fraksi PDI di DPR. Entah tersangkut di mana fraksi PDI tidak menerimanya. Maka petani datang langsung. "Kasus serupa pernah terjadi di Sukabumi. Masalahnya mungkin akibat perluasan perkebunan," ucap Sabam Sirait dari fraksi PDI di DPR Pusat. "Kalau anggaran yang ada dipakai membuka tanah baru, mungkin habis. Untuk itu rupanya lebih baik menekan si Polan yang tanahnya sudah dikerjakan dengan mengeksploitir kelemahan hukum yang terdapat pada rakyat," Sabam menambahkan. Kepada petani dan anggota DPRD Cilacap Sabam akhirnya bilang, DPR akan mempermasalahkan soal tanah dengan Pemerintah. Selain kasus Cilacap disebutnya juga kasus Halim 'Perdanakusuma', 'Cengkareng' dan 'Indramayu'. Sementara itu menurut sumber TEMPO di Perhutani, sejak dahulu instansi ini sudah memiliki peta-peta hutan di Pulau Jawa. Termasuk di antaranya kawasan Desa Patimuan itu. Tapi di zaman Jepang, rakyat di sekitar sana diberi izin oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk menebang kayu yang ada. Kayu-kayu ini selain dipakai untuk bahan bakar juga waktu itu diekspor ke Jepang. Sebagai balas jasa bagi rakyat penebang (karena mereka tidak diupah), pemerintah pendudukan Jepang memperkenankan rakyat disana untuk menanami hutan yang telah diambil kayunya tadi dengan padi atau tanaman perkebunan lainnya. Jika 1972 pihak Perhutani mengingatkan lagi bahwa tanah desa itu milik instansi ini, demikian sumber TEMPO, adalah dalam rangka memperbanyak areal hutan di Pulau Jawa. Sebab sebagaimana diketahui areal hutan di pulau ini hanya tinggal sekitar 22% dari luas seluruhnya. Padahal -- malahan Presiden Soeharto sendiri baru-baru ini mengajurkan -- seharusnya areal hutan itu paling sedikit 30%. "Karena Perhutani merasa kawasan desa itu miliknya, maka wilayah itulah yang diincer untuk dihutankan" ucap sumber tadi. Tapi diakui sumber itu pula bahwa hingga saat ini sebenarnya masih diteliti wilayah-wilayah mana tanah Perhutani yang boleh dihutankan kembali atau dibiarkan sebagai tanah pertanian. "Barangkali saja dari hasil penelitian itu nanti Desa Patimuan dinilai sudah cocok untuk pertanian" kata sumber itu lagi. Yang pasti disebutkan, jikapun pada akhirnya kawasan itu akan dihutankan oleh Perhutani, maka warga desa yang 5.000 KK itu tak akan ditelantarkan. "Paling tidak mereka akan ditransmigrasikan" tutur sumber tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus