Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perjalanan tiga pekan mengikuti International Visitor Leadership Program mengunjungi berbagai kota di Amerika Serikat.
Menemui komunitas marginal dan orang-orang berorientasi seksual berbeda yang beraktivitas untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan serta kebijakan yang lebih inklusif.
Mereka, termasuk muslim dan orang Yahudi, menggalang empati dan solidaritas untuk korban di Palestina.
pADA suatu siang yang gerah di tengah musim panas, Janan Najeeb, warga keturunan Palestina, antusias mengisahkan berbagai protes menentang perang di Gaza yang menewaskan puluhan ribu manusia. Di kantornya, Milwaukee Muslim Women’s Coalition di Kota Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin, Amerika Serikat, perempuan yang lahir di Yerusalem ini mengecam kebrutalan militer Israel terhadap warga Palestina dalam konflik yang memanas 11 bulan terakhir. “Banyak orang yang bersolidaritas dan menolak genosida, bukan hanya orang Palestina dan Arab,” kata Najeeb saat ditemui pada Selasa sore waktu Amerika, 27 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo menjumpai Najeeb bersama tujuh peserta program kepemimpinan pengunjung internasional atau International Visitor Leadership Program yang digelar Departemen Luar Negeri Amerika Serikat selama tiga pekan dengan tema menjaga toleransi beragama. Najeeb adalah salah satu penggerak Wisconsin Coalition for Justice in Palestine, gerakan kolektif beranggota 60 organisasi yang menuntut pemimpin politik mengambil tindakan menuju gencatan senjata permanen di Gaza. Kegiatan mereka terus berlangsung di tengah berbagai upaya pemerintah Amerika Serikat memediasi perundingan Israel dan Hamas untuk menghentikan perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi itu juga aktif menyebarkan brosur berisi tuntutan gencatan senjata serta pembukaan akses pengiriman bantuan air, makanan, dan obat-obatan untuk korban perang Gaza. Selain itu, mereka menyerukan pemerintah Amerika menghentikan bantuan kepada Israel dengan mendesak media massa memberitakan konflik Gaza secara adil dan akurat.
Ibu lima anak itu memobilisasi dukungan di semua penjuru Negara Bagian Wisconsin untuk mewujudkan keadilan, hak asasi manusia, dan perdamaian bagi rakyat Palestina. Najeeb yang pindah ke Amerika dari Palestina saat masih bocah menjadi pendiri dan Direktur Eksekutif Milwaukee Muslim Women’s Coalition, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada pemahaman tentang Islam dan perempuan muslim selama 30 tahun lebih. Organisasinya banyak tampil dalam upaya membangun dialog antar-agama dan mempromosikan perdamaian. Najeeb pernah memimpin salat dan membacakan ayat Al-Quran tentang keberagaman. Kiprahnya dalam membangun toleransi antar-agama banyak ditulis media massa.
Demonstrasi menentang perang Gaza di depan gedung kepresidenan Amerika Serikat atau White House di Washington, DC, Amerika Serikat, Ahad, 11 Agustus 2024. Tempo/Shinta Maharani
Dia menyebutkan protes besar terhadap perang Gaza terus berlangsung di seluruh Amerika Serikat dengan melibatkan ribuan demonstran, seperti di New York dan Chicago. Unjuk rasa yang melibatkan mahasiswa juga terjadi di berbagai kampus, seperti University of Wisconsin-Milwaukee.
Mahasiswa bahkan berhari-hari berkemah di kampus dan mendesak rektorat kampus menyerukan gencatan senjata Israel-Hamas. Sebagian pengunjuk rasa adalah orang Yahudi Amerika. Najeeb pernah memimpin seruan untuk keadilan Palestina bersama para pemimpin muslim di Balai Kota Milwaukee pada 9 November 2023. “Penumpasan etnis di Palestina tak boleh dibiarkan,” tuturnya.
Dalam Wisconsin Muslim Journal, jurnal yang Najeeb bentuk, terlihat foto Najeeb sedang berorasi di hadapan ratusan demonstran yang mengangkat poster menuntut gencatan senjata dan dihentikannya perang di Gaza. Foto itu dilengkapi artikel berjudul “From the Sea to the River, Palestine Will Live Forever”.
Protes menentang perang Gaza tidak hanya melibatkan kalangan muslim di Milwaukee, tapi juga komunitas Yahudi dan umat Kristen. Sekutu terkuat koalisi keadilan untuk Palestina berasal dari kalangan Yahudi yang tergabung dalam Jewish Voice for Peace-Milwaukee yang berafiliasi dengan Jewish Voice for Peace secara nasional, organisasi anti-Zionis Yahudi progresif terbesar di dunia.
Demonstrasi menentang perang Gaza di depan Gedung Kepresidenan Amerika Serikat atau White House di Washington DC, Amerika Serikat, Ahad, 11 Agustus 2024. Tempo/Shinta Maharani
Mereka mengorganisasi gerakan akar rumput multiras, lintas kelas, dan antargenerasi Yahudi Amerika untuk bersolidaritas dengan perjuangan kemerdekaan Palestina. Kelompok ini terlibat dalam berbagai demonstrasi bersama Wisconsin Coalition for Justice in Palestine. “Hilangnya nyawa orang Israel tidak dapat membenarkan genosida terhadap orang Palestina,” ujar salah satu pendiri Jewish Voice for Peace-Milwaukee, Lorraine Halinka Malcoe, seperti dikutip dalam Wisconsin Muslim Journal.
Jewish Voice for Peace dikenal sangat vokal menentang genosida terhadap warga Palestina dan pengiriman senjata kepada militer Israel. Dalam berbagai unjuk rasa dan jumpa pers, mereka menyatakan Israel tidak mewakili semua orang Yahudi. Berbagai protes dan kampanye daring organisasi ini dalam situsnya menampilkan poster bertulisan seruan Yahudi melawan apartheid.
Mereka menekankan bahwa sikap anti-Zionis bukanlah antisemitisme. Pengeboman terhadap warga Palestina tidak bisa dibenarkan dan kritik terhadap Israel tidak ada hubungannya dengan antisemitisme. Yudaisme berbeda dengan zionisme karena menentang keras kebijakan Israel terhadap Palestina.
Najeeb menjelaskan, dukungan kalangan Yahudi terhadap warga Palestina di Gaza sangat berarti. Di Milwaukee, muslim hidup bersama dengan orang Yahudi dan Kristen sebagai saudara. Milwaukee Muslim Women’s Coalition punya anggota dan pegawai dari kalangan Yahudi dan Kristen. Najeeb bersahabat dengan sejumlah pemimpin Yahudi serta pemuka umat Kristen Protestan dan Katolik.
Warga Amerika Serikat keturunan Palestina, Janan Najeeb, yang juga anggota Wisconsin Coalition for Justice in Palestine, di kantornya, Milwaukee Muslim Women’s Coalition, di Kota Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin, Amerika Serikat, Rabu, 28 Agustus 2024. Tempo/Shinta Maharani
Mereka memahami bahwa peperangan di Gaza bukanlah perang antar-agama, melainkan konflik politik. Najeeb juga menentang kekejaman Hamas yang menyerang wilayah Israel pada 7 Oktober 2023 dan menewaskan ribuan orang serta menyandera ratusan warga sipil Israel.
Najeeb menambahkan, serangan kelompok ekstremis Al-Qaidah terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 di New York yang menewaskan ribuan orang menyisakan trauma bagi warga Amerika. Selain itu, serangan tersebut membawa dampak serius, yakni islamofobia. Tapi umat Kristen dan Yahudi di Milwaukee bahu-membahu melawan islamofobia dan memberikan dukungan kepada kaum muslim. Najeeb mencontohkan, setelah serangan 11 September 2001, banyak pemimpin Kristen yang menghubungi dia dan anggota komunitasnya karena khawatir akan keselamatan mereka.
Umat Islam di Milwaukee sangat beragam. Mereka terdiri atas dua kelompok utama. Yang pertama adalah orang Arab yang datang dari banyak negara di Timur Tengah dan Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh). Ada juga muslim dari kelompok etnis Rohingya, Myanmar, yang mengungsi. Mayoritas warga Arab di Milwaukee adalah orang Palestina dan sebagian besar muslim Asia Selatan berasal dari Pakistan.
Mereka mewakili Islam Sunni dan Syiah. Komunitas muslim makin tumbuh dan berkembang, sebagian besar imigran. Setidaknya ada 15 ribu muslim dari 577.222 populasi penduduk Kota Milwaukee.
Warga Amerika Serikat keturunan Palestina, Janan Najeeb, yang juga anggota Wisconsin Coalition for Justice in Palestine, di kantornya, Milwaukee Muslim Women’s Coalition, di Kota Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin, Amerika Serikat, Rabu, 28 Agustus 2024. Tempo/Shinta Maharani
Komunitas muslim juga tumbuh dan berkembang pesat di kawasan metropolitan Detroit di Negara Bagian Michigan. Di kota inilah konsentrasi muslim terbesar Amerika berada. Kebanyakan berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, dan Eropa.
Komunitas muslim di kota ini muncul ketika pendatang muslim dari Timur Tengah menjadi karyawan pabrik mobil terbesar, Ford, pada awal abad ke-20. Penduduk Dearborn sebagian besar keturunan Arab dan mayoritas beragama Islam.
Tempo menyusuri Dearborn, berjarak tempuh sekitar 15 menit dari pusat Kota Detroit. Banyak restoran Arab dan papan iklan yang menggunakan bahasa Inggris dan Arab. Dari pinggiran Dearborn, Tempo dan rombongan peserta International Visitor Leadership Program bertemu dengan aktivis kebebasan sipil American Civil Liberties Union of Michigan dan tokoh-tokoh muslim yang berfokus pada kebebasan beragama, termasuk mengunjungi Fordson High School, sekolah yang berdiri di tengah komunitas Arab terbesar.
Mayoritas siswa dan guru Fordson High School keturunan Arab. Salah satu guru bahasa Inggris sekolah tersebut, Diana Mansour, adalah keturunan Libanon dan Palestina. Perempuan ini lahir di Amerika setelah orang tuanya pindah dari Palestina untuk bekerja di Negeri Abang Sam.
Bendera Palestina dikibarkan di depan Gedung Putih selama protes terhadap serangan Israel di Rafah yang telah menewaskan puluhan orang di Washington, DC, Amerika Serikat, 28 Mei 2024. NurPhoto/Allison Bailey
Mansour menyebutkan semua siswa dan guru di sekolah negeri ini memegang prinsip penghormatan terhadap keberagaman. Dia mengungkapkan, konflik Israel-Hamas tidak mempengaruhi hubungan orang Yahudi dengan muslim di Fordson High School. “Tidak jadi isu di sekolah kami,” katanya.
Menurut dia, lingkungan sekolah dihuni komunitas Arab yang beragam, bukan hanya yang beragama Islam. Ada pula keturunan Arab yang beragama Kristen. Sekolah tersebut juga mempekerjakan kalangan Yahudi. Warga Dearborn selama ini menjaga hubungan baik antar-umat dengan prinsip menghormati keberagaman dan saling berempati.
Gerakan sosial mendukung warga Palestina juga meluas di kalangan organisasi antiperang, pemimpin agama, aktivis Yahudi, dan kampus-kampus di Michigan. Menurut staf pengacara senior American Civil Liberties Union of Michigan, Phil Mayor, protes terhadap Israel tersebut merupakan demonstrasi terbesar kedua setelah unjuk rasa menentang perang Vietnam pada 1965.
Salah satu protes terbesar dan terpanas, menurut Mayor, adalah unjuk rasa di University of Michigan. Mahasiswa berkemah berhari-hari di kampus. Sejumlah media massa memberitakan polisi menangkap beberapa demonstran dan menembakkan gas air mata dengan alasan guna menciptakan rasa aman bagi semua orang dan agar pemrotes tidak melanggar hak orang lain di kampus.
Pengunjuk rasa berkumpul di luar Gedung Putih saat Presiden Joe Biden akan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Kamis, 25 Juli 2024. Sipa USA/Aaron Schwartz
Mayor menegaskan, banyak mahasiswa Yahudi yang marah menyaksikan tragedi kemanusiaan di Gaza. American Civil Liberties Union of Michigan telah menulis surat kepada kampus dan polisi setempat. “Demonstrasi hak setiap orang dan dilindungi konstitusi,” tutur Mayor.
Di Washington, DC, ibu kota Amerika Serikat, demonstrasi menentang perang Gaza juga terjadi di depan kantor kepresidenan Amerika Serikat, White House atau Gedung Putih. Berbagai spanduk dan poster menentang perang dan genosida di Gaza terpasang di sana. Salah satunya berbunyi “Zionism is genocide, Yehudi rejects Zionism”. Seorang laki-laki sepuh terlihat duduk di kursi roda membelakangi poster-poster itu dan berbicara kepada turis tentang protes tersebut. Area protes ini juga pernah digunakan demonstran untuk menentang perang Vietnam pada 1965.
Tempo juga bertandang ke US Holocaust Memorial Museum atau Museum Peringatan Holocaust Amerika di Washington, yang berdiri untuk membantu pemimpin, warga negara, dan penyintas Holocaust menghadapi kebencian dan antisemitisme yang merusak martabat manusia. Selepas melihat koleksi museum yang menggambarkan genosida terhadap jutaan orang Yahudi selama Perang Dunia II oleh Nazi, Tempo bertemu dengan Alfred Münzer, seorang penyintas Holocaust yang selamat setelah menjadi target pembunuhan Nazi.
Münzer anak bungsu dari tiga bersaudara keluarga Simcha dan Gisele Münzer, imigran Yahudi dari Polandia, yang menetap di Belanda. Dua kakaknya tewas di kamp Auschwitz pada 1944 berdasarkan catatan Palang Merah Internasional. Ayah dan ibunya sempat berada di kamp konsentrasi sebelum dibebaskan. Kini Münzer yang berusia 82 tahun telah pensiun sebagai dokter paru dan menetap di Washington.
Demonstrasi menentang perang Gaza di depan gedung kepresidenan Amerika Serikat atau White House di Washington, DC, Amerika Serikat, Ahad, 11 Agustus 2024. Tempo/Shinta Maharani
Menggunakan alat bantu pendengaran di usia sepuhnya, Münzer menceritakan kisah mengharukan tentang Mima Saïna, pengasuh asal Jawa dan keluarga Indonesia yang menyelamatkannya di Belanda. Mima yang tak bisa berbahasa Belanda suatu hari menyembunyikan Münzer yang berumur delapan bulan ketika tentara Nazi menyambangi rumah Tole Madna, keluarga asal Indonesia. Mima adalah pekerja rumah tangga keluarga Tole Madna. “Mima berhati emas karena menyelamatkan nyawa dan merawat saya,” tutur Münzer.
Ihwal perang Gaza, Münzer menyatakan hal itu merupakan tragedi kemanusiaan. Serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 juga sama-sama buruk dan membawa luka bagi para penyintas Holocaust. Dia mengungkapkan, protes dan solidaritas bersama menentang perang Gaza sangat penting untuk mewujudkan perdamaian.
Bukan hanya aktivis, mahasiswa, dan penyintas Holocaust, pemimpin agama di Kota Orlando, Negara Bagian Florida, pun menentang perang Gaza. Pemuka agama dan sejumlah organisasi lintas agama di Balai Kota Orlando menyatakan upaya menjaga hubungan baik antar-pemeluk agama dan mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga sipil. Mereka berasal dari perwakilan Kristen, Islam, dan Yahudi.
Dosen filsafat, agama, studi budaya, dan humaniora University of Central Florida, Christy Flanagan-Feddon, mengajak orang terus berempati terhadap korban perang di Gaza. Perang berkepanjangan itu, menurut dia, sangat kompleks dan sensitif karena menyangkut perebutan wilayah dan konflik politik. “Konflik Gaza bukan soal identitas agama,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo